Budaya Kepemimpinan Sunda
TRANSINDONESIA.CO – Nilai-nilai kepemimpinan dalam budaya Sunda di pengaruhi oleh lingkungan geografis tempat tinggalnya. Kondisi geografis ini menentukan sistem sosial dan sistem mata pencaharian hidup orang-orang Sunda. Ada suatu ungkapan dalam masyarakat Sunda yakni, “ulah sok parasea bisi pajauh huma” yang artinya “jangan saling bertengkar agar tidak berjauhan rumah”.
Nilai-nilai kepemimpinan yang melekat dalam budaya Sunda adalah berpedoman pada kebenaran, berkerja sesuai dengan tugasnya, melakukan kebajikan, dan memelihara kesejahteraan.
Dalam penjabaran selanjutnya, nilai-nilai ini dinyatakan dalam sikap-sikap seorang pemimpin yang:
1. teu adigung kamagungan (tidak sombong)
2. titih-rintih, tara kajurug ku nafsu (tertib, tidak pernah terdorong nafsu)
3. sacangreud pageuh, sagolek pangkek, henteu ganti pileumpangeun (kukuh pendirian)
4. leber wawanen peneh ( keberanian yang diimbangi dengan kepandaian)
5. loba socana rimbil cepilna (pandai membaca keadaan dan mendengar keluh kesah rakyatnya)
6. kudu boga pikir rangkepan (waspada)
7. kudu jadi gunung pananggeuhan (harus menjadi andalan bagi rakyat)
Kesederhanaan konsep kepemimpinan dan figur pemimpin dalam nilai-nilai adat Sunda bersumber dari pandangan hidup orang Sunda yang berusaha mengambil jalan tengah (siger tengah), yang diartikan sebagai tingkah laku atau tindakan yang seimbang dan berkecukupan, tidak kekurangan atau tidak berlebihan.
Pandangan ini bisa mengandung aspek positif sekaligus aspek negatif. Positifnya, pandangan hidup ini menyebabkan orang Sunda tidak menonjolkan diri, tetapi negatifnya, sikap seperti ini dapat diartikan sebagai orang yang tidak berani mengambil resiko dalam mempertahankan sesuatu.
Pada masa sekarang, terdapat beberapa nilai atau norma yang berkembang di masyarakat Sunda yang mungkin dapat dikategorikan sebagai pandangan mereka terhadap masalah politik dan pemerintahan. Nilai-nilai budaya lokal banyak mengandung muatan moralitas meski tidak dinyatakan secara eksplisit.
Moralitas tersebut tidak hanya tergambar dari relasi sosial antarmanusia, antarelit dan
massa, tapi juga antara manusia dengan lingkungan alamnya. Sistem nilai budaya Sunda mengenal adanya ”ramalan” atau uga sebagai salah satu media transfer nilai-nilai budaya antar generasi.
Interpretasi simbolik terhadap uga mengungkapkan bahwa perubahan sosial atau politik pada masa yang akan datang terjadi sesuai dengan yang telah diperkirakan oleh para leluhur.
Artinya, perubahan zaman berikut tantangannya sesungguhnya telah diperkirakan sebelumnya, perubahan adalah suatu keniscayaan yang tidak dapat dihindari. Karena itu, sebagai bekal untuk menghadapi tantangan perubahan zaman, maka nilai-nilai budaya lokal hendaknya menjadi acuan moral (moral guidance)
dalam sikap hidup sehari-hari.
Nilai-nilai yang menjadi acuan moral tersebut dapat berbentuk semboyan, nasehat atau peribahasa yang berkembang dari mulut ke mulut, sehingga baik secara langsung maupun tidak langsung dijadikan semacam pedoman atau ukuran dalam menilai suatu tindakan atau perbuatan masyarakat maupun elit penguasa.
Adapun nasehat atau peribahasa yang berdimensi politik tersebut antara lain cageur, bageur, bener, pinter, siger tengah, leuleus jeujeur liat tali, laukna beunang caina herang, bengkung ngariung bongkok ngaronyok, tiis ceuli herang panon, landung kandungan laer aisan, pindah cai pindah tampian, kawas kujang dua pangadekna, legok tapak genteng kadek, dll.
Keseluruhan nilai-nilai yang berfungsi menjadi acuan moral, mengandung makna strategi dalam menghadapi suatu permasalahan. Misalnya dalam menghadapi konflik, situasi kondisi yang harus dilakukan adalah tiis ceuli herang panon (aman tentram).
Salah satu konsep budaya lokal Jawa Barat yang mempunyai nuansa nasional maupun global adalah silih asah, silih asih, silih asuh, suatu konsep yang sarat dengan nilai-nilai demokratis, moralitas yang baik, dan solidaritas sosial. Dikenal pula istilah ”Katumarimaan” (menerima kenyataan sambil memanfaatkannya dengan maksimal), rangkaian ungkapan ”cageur, bageur, bener, pinter, singer” (sehat, baik, benar, pandai, terampil) dan urutan ”prak,pek,pok” (kerjakan, laksanakan, ucapkan).
Konsep-konsep lokal ini sangat sesuai dengan konsep global bahwa pendidikan merupakan sarana untuk membangun keberhasilan suatu bangsa. Hidup berkembangnya demokrasi dalam
masyarakat bergantung pada taraf kecerdasan dan kualitas pendidikannya. Oleh karena itulah perubahan sosial dalam suatu masyarakat harus dilakukan secara bertahap. **
Penulis: H. Syahrir, SE.,M.I.Pol akrab disapa Kang Cecep [Anggota DPRD Provinsi Jawa Barat]