Komisi III DPR dan Menhub Sepakat Penerbitan Regident Tetap Kewenangan Polri
TRANSINDONESIA.CO – Sejumlah pihak mulai dari pemerintah melalui Kementerian Perhubungan, Komisi III DPR hingga pemerhati masalah kebijakan lalu lintas, menilai dan sepakat wacana pemindahan wewenang penerbitan Regident (SIM, STNK, dan BPKB) dari kepolisian kepada Kementerian Perhubungan (Kemenhub) belum ada urgensinya.
Mereka menganggap layanan SIM, STNK dan BPKB sudah final.
Anggota Komisi III DPR RI, Nasir Djamil mengatakan banyak opini yang menyebut perpindahan kewenangan itu masih bersifat personal dan cenderung ego sektoral.
“Saya belum melihat urgensi adanya perpindahan kewenangan itu. Apalagi pendapat-pendapat soal perpindahan kewenangan itu masih bersifat personal dan cenderung ego sektoral,” kata Nasir Djamil di Jakarta, Rabu (5/2/2020).
Ia menyarankan, sebaiknya evaluasi terhadap kinerja Polri dalam menerbitkan SIM, STNK, dan BPKB diserahkan sepenuhnya kepada Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN dan RB).
“Jadi diserahkan saja ke Kementerian PAN dan RB untuk mengevaluasi hal itu, jika ada pihak yang menilai bahwa kepolisian tidak profesional mengelola dan menerbitkan SIM, STNK dan BPKB,” ungkapnya.
Menurut anggota DPR RI asal Dapil Aceh 2 tersebut, kewenangan dalam menerbitkan SIM, STNK dan BPKB masih sangat relevan berada dibawah Korps Bhayangkara.
“Dalam pandangan saya, kewenangan itu masih relevan dilakukan oleh kepolisian.
apalagi sekarang sudah ada Penerimaan Negara Bukan Pajak atau PNBP. Ini telah mengatur dan mengoptimalkan penerimaan negara bukan pajak dari SIM, STNK dan BPKB,” katanya.
Nasir menghimbau, agar semua stakeholder terkait lebih memperkuat integritas dan meningkatkan kualitas pengelolaan SIM, STNK dan BPKB, bukan justru memindahkannya ke Kemenhub.
“Justru yang harus kita semua lakukan adalah memperkuat integritas dan kualitas pengelolaan SIM, STNK dan BPKB, bukan memindahkannya ke Kemenhub,” ujarnya.
Sementara, Menteri Perhubungan, Budi Karya Sumadi menegaskan sebaiknya kewenangan menerbitkan SIM, STNK dan BPKB tetap berada di tangan Polri.
“Berkaitan dengan SIM, STNK, dan BPKB menurut saya polri sudah melakukannya dengan sangat baik,” katanya.
Hal itu menurut Budi, karena Kemenhub tidak memiliki lembaga hingga ke daerah-daerah.
“Kalau kami yang menerbitkan pasti ada kendala. Sebab kemenhub itu tidak ada lembaga di daerah-daerah,” katanya.
Menurut Budi, secara hierarkis di daerah, kepolisian lebih terstruktur dengan baik dibandingkan dengan kementeriannya.
“Perhubungan itukan hanya dinas. Dinas itukan di bawah gubernur, sedangkan polisi kan punya Kapolda, bahkan Kapolres. Jadi secara hierarkis, polisi lebih memungkinkan mengelola itu dibandingkan kami, dan sekarang sudah berjalan baik,” ujarnya.
Budi mengaku, pihaknya lebih baik berbagi pekerjaan dengan Polri dibandingkan harus mengambil tugas dan tanggung jawab Korps Baju Coklat tersebut.
“Paling kami ingin diberikan kewenangan di dua tempat saja, yakni di jembatan timbang dan terminal bus. Artinya di kedua tempat tersebut kewenangan kami sama dengan pihak kepolisian,” katanya.
Hal tersebut, kata Budi, dikarenakan pihaknya tidak ingin merepotkan pihak kepolisian dalam hal penegakkan hukum.
“Karena kita ingin ada penegakan hukum di mana kita tidak perlu bantuan dari kepolisian di kedua tempat itu saja,” katanya.
Hal senada dikatakan Ketua Presidium Indonesia Traffic Watch (ITW) Edison Siahaan.
Edison mendesak DPR RI menghentikan rencana revisi kewenangan Polri dalam layanan penerbitan SIM, STNK dan BPKB yang diatur dalam UU No 22 tahun 2009 tentang lalu lintas dan angkutan jalan.
Apabila tidak ingin dituding tidak memiliki pengetahuan yang komprehensif tentang UU tersebut.
“Kewenangan tersebut sudah final di tangan Polri,” kata Edison.
Semangat dan gairah sejumlah anggota komisi V DPR RI melakukan revisi UU no 22 tahun 2009 tentang lalu lintas dan angkutan jalan ditandai dengan upaya memasukkannya dalam Prolegnas 2020 menurut Edison hanya sesaat saja.
“Sehingga mengundang kecurigaan ada udang dibalik batu. Apalagi pasal yang akan direvisi sangat jauh dari problem lalu lintas dan angkutan jalan yang seharusnya juga menjadi tanggungjawab para anggota DPR RI,” kata dia.
Karenanya kata Edison, ITW mempertanyakan urgensi dan manfaat merevisi kewenangan Polri dalam penerbitan Surat Izin Mengemudi (SIM) Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK), dan Buku Pemilik Kendaraan Bermotor (BPKB), menjadi kewenangan Kementerian Perhubungan.
“Keinginan DPR RI justru bukti ketidakpahamannya tentang UU no 22 tahun 2009, atau ada pesan dari pihak atau kelompok tertentu.UU No 22 tahun 2009 melibatkan beberapa kementerian diantaranya Kemenhub, PU dan Polri,” katanya.
Maka UU No 22 tahun 2009, kata Edison, menjadi rujukan untuk membangun koordinasi antar instansi menjadi sinergi dalam upaya mewujudkan amanat undang-undang sekaligus chek and balance.
“Masing-masing kementerian memiliki kewenangan sesuai dengan tufoksi. Polri yang memiliki kewenangan memelihara ketertiban dan keamanan masyarakat (Kamtibmas) begitu juga peran Polri dalam UU No 22 tahun 2009 yaitu mewujudkan keamanan, keselamatan, ketertiban dan kelancaran lalu lintas (Kamseltibcarlantas),” katanya.
Untuk melaksanakan fungsi itu, kata Edison, tentu dibutuhkan registrasi dan identifikasi orang maupun kendaraan yang digunakan sebagai sarana transportasi.
“SIM adalah bukti legalitas yang diberikan negara kepada warganya, bahwa pemegang SIM itu sudah memiliki kompetensi menggunakan kendaraan di jalan raya dan memahami tentang keselamatan dirinya maupun orang lain,” kata Edison.
Sehingga Polri menurutnya telah melakukan registrasi identitas pemilik SIM melalui proses sesuai aturan yang berlaku. “Selain bukti kompetensi, SIM juga terkait dengan proses hukum,” kata dia.
Pengungkapan kasus menurut Edison lebih mudah apabila pelakunya melibatkan seorang yang telah memiliki SIM.
“Sama halnya dengan penerbitan BPKB yang merupakan identitas kendaraan yang dicatat dalam buku registrasi Polri. Selain tanda kepemilikan yang sah, juga menjadi penting dalam proses penegakan hukum,” ujar Edison.
“Bom Bali yang sangat dahsyat itu terungkap hanya karena nomor rangka kendaraan yang sudah diregistrasi oleh Polri. Tidak ada yang tahu apabila Polri tidak memiliki nomor rangka dan mesin kendaraan yang tentu juga tertera identitas pemiliknya,” katanya.
Karenanya ia mempertanyakan, apakah DPR RI sudah memahami maksud dan tujuan yang jauh lebih penting seperti yang diamanatkan UU No 22 tahun 2009.
“Sedangkan STNK, bukanlah sepenuhnya kewenangan Polri. Polri hanya memastikan identitas kendaraan dan pemiliknya sesuai dengan yang tercatat di buku register. Sehingga hak kepemilikan menjadi sah,” kata dia.
Bahkan kata dia sudah banyak kasus yang diungkap Polri berdasarkan identitas kendaraan yang tertera dalam buku registrasi.
“Sementara berapa jumlahnya dan bagaimana serta disimpan dimana Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) , sepenuhnya adalah kewenangan Pemprov,” katanya.
Ia kemudian mempertanyakan apakah komisi V DPR RI sudah melakukan penelitian sehingga memiliki gambaran kesulitan apa yang muncul untuk memenuhi pendapatan daerah dari sektor PKB, apabila Polri tidak ikut dalam proses penerbitan dan perpanjangan masa berlaku STNK.
Karenanya kata Edison, ITW mendesak agar Komisi V DPR RI mengurungkan niat dan menolak apabila ada permintaan untuk revisi itu.
“Sebab tidak sebanding dengan manfaat untuk mewujudkan Kamtibmas yang merupakan kepentingan bangsa dan negara,” kata Edison. [eso]