TRANSINDONESIA.CO – Oleh: KH Abdullah Gymnastiar
Salah satu kekuatan seorang pemimpin adalah kemampuannya dalam berkomunikasi. Rasulullah SAW merupakan sosok pemimpin dengan kemampuan berkomunikasi yang tiada duanya. Beliau mampu menjelaskan Islam dengan sangat brilian, baik kepada pihak luar maupun kepada umat Islam sendiri. Kepada pihak luar, Rasulullah SAW menjelaskan bagaimana bagus dan indahnya Islam. Adapun terhadap umat Islam, beliau bisa memotivasi dan membangun sinergi.
Komunikasi di sini adalah kata-kata. Adapun kata-kata atau kalimat yang baik itu adalah kalimat yang bukan untuk kepentingan pribadi atau kalimat yang tersimpan maksud lain di baliknya. “Kata-kata atau kalimat yang diucapkan harus benar-benar tulus demi kemaslahatan.”
Sebab, apabila kita sudah disibukkan dengan kepentingan pribadi atau lainnya, perkataan kita akan melemah dengan sendirinya.
Ambil contoh, seorang pimpinan ditanya oleh karyawannya yang bertugas menyiapkan air minum apakah dia sedang berpuasa sunnah Senin-Kamis ataukah tidak. Kemudian dijawab oleh pimpinan dengan bahasa yang bagus, sesuai kaidah EYD, dan dalil yang komplit Akan tetapi, penjelasan itu malah terkesan berbelit-belit bagi karyawannya, sehingga justru membuatnya semakin bingung.
Mengapa? Karena daIiI-dalil yang disebutkan itu hanya untuk kepentingan dirinya supaya tetap dipandang saleh, walaupun pada Senin itu dia sedang tidak berpuasa.
DaliI-dalil yang sekadar dalih seperti ini tidak ada di hati Rasulullah SAW. Beliau bicara hanya untuk kemaslahatan, lillahi ta’ala. Bukan untuk pencitraan atau supaya dianggap fasih. Beliau bicara hanya untuk kemaslahatan, dan cukup. ltulah rahasianya.
Kita terkadang lebih suka ja’im (jaga image). Ketika berbicara ingin kelihatan pintar, mendalam, dan berpengalaman. Ada kalanya lebih dari separuh kata-kata yang diucapkan menggunakan bahasa Inggris dan susunan kalimatnya rapi sesuai dengan tata bahasa Indonesia. Menyebut semua judul buku yang pernah dibaca pada catatan di cover belakangnya. Atau, bisa juga menerangkan tempat-tempat bersejarah serinci dan semirip mungkin dengan yang pernah didengar dari radio.
Penjelasan seperti itu sebetulnya hanya buat kita sendiri saja.Tidak untuk dipuji, dikagumi dan dihormati.
Akibat lebih jauhnya adalah menjadikan kita terbiasa untuk berbohong. Dan, hal ini sangat buruk. Lebih bahaya lagi, Allah mengetahui semua yang kita lakukan dan kita ucapkan.
Jadi, menjadi penceramah itu mudah. Tapi belum tentu diridhai Allah Ta’ala. Bicaralah apa adanya saja.Tanpa ada keperluan pribadi atau kepentingan tertentu. Baik keinginan dipuji dan dikagumi maupun dihormati dan ditakuti. Cukup apa adanya saja.
“Sehebat apapun ajakan kebaikan, niscaya tidak akan berdampak apapun apabila kebaikan tidak tampak pada penyerunya.”
[Pimpinan Pondok Pesantren Daarut Tauhiid]