Danau Toba Tak Kikis Pesona
TRANSINDONESIA.CO – Entah mengidam, entah rindu kekasih. Saya sengaja minta jepretan foto tubuh Danau Toba dari aras Tigaras, di tubir danau menghadap Tanjung Unta. Hendak menjadikannya menu “sarapan” pagi. Bersama setangkup puisi. Haah? “Jangan kau bilang aku senget ya. Kau kena somasi 100 rupiah”.
Sudah lama kali patik percaya, keindahan itu nutrisi bagi jiwa. Selera makan akan “pangsan” jika menu di pinggan dan talam centang perenang. Seni makan bangkrut, ketika juadah datang tanpa riasan.
Jiwa dan keindahan itu sejoli. Tak terberaikan. Seperti potongan syair Johann Wolfgang von Goethe ini: ‘Timur dan Barat berpilin/Tak terceraikan lagi’.
Alam indah itu bergizi bagi tenaga pembangkit kreasi. Perkakas gerinda menajamkan visi. Tajamnya bisa mengiris-iris air mengalir. Ya.., mengiris-iris air mengalir! Bukan mengiris mangga, yang ibu muda biasa mengidam asam manisnya. Jangan bilang aku pedau.
Caranya? Iris-iris fotonya atau, jadikan balok es krim atau es lilin? Mengirisnya dengan visi tajam. Bukan menghunus pisau berkilau macam orang pedau subsider sasau.
Kembali ke Danau Toba. “Menengoknya tak bosan-bosan, boss”.
Jangan heran jika selalu menyisakan penasaran. Penasaran alasan terus bahagia. Einstein menjadi penemu karena penasaran. Idemditto titik api pemantik yang tak pernah padam. Hal ikhwal padam dan pokok sengon lagi jadi trending topic dalam perbincangan gelap, malap, maupun terang.
Karib saya Bakhtiar Sinaga @sinagabaktiar, Ketua KAHMI Simalungun, tak ingkar mengirimkan foto. Ori dari beberapa sudut bidik aduhai Tigaras dan penatapan yang diberi nama ‘Salsabila Hills’. Wow. Destinasi yang cantik permanen, sejak zaman raja-raja, tak pernah kikis pesona. Seperti perkariban aku dan bang Tiar, sejak buta aksara ilmu hukum subsider KUHPidana dan KUHPerdata dan terlibat semangat “yakusa” makan “nasi umat” di musholla FH USU pun markas “Alimbas”, di Jalan Adinegoro 15 Medan.
Tak pernah puas. Terus memandang molek tiap lekuknya, aku menjadikannya kitab keindahan. Tak pernah padam sukaria dari bola mata sampai pori-pori jantung dan mitokondria, aku menjadikannya kekasih. Kekurangan kata-kata untuk pesonanya. Jikalau diibaratkan kamus leksika dan pabrik kata-kata, dia adalah puisi dari perkumpulan puisi ‘Buah Rindu’ karya raja penyair Tengku Amir Hamzah, yang berasal dari Tanjungpura, dulu Ibunegeri Kesulthanan Langkat. Itu nama kota kelahiranku.
Rhapsody Danau Toba ini adalah defenisi sepotong sriwedhari di bumi yang turun dari langit. Langit yang dicipta 7 lapis, kokoh, kuat dan indah skala ruhaniah itu, tak sanggup ditembus bintang mencecah bumi. Kecuali karena hanya KuasaNYA.
Menjelang aras Tigaras tak kalah indah, hamparan kebun teh Sidamanik menggoda selera anda memutik wangi pucuk mudanya. Kalau destinasi wisata perlu ibukota, “Danau Toba sajalah. Sidamanik kedai tehnya”.
Kalau hendak mereguk rhapsody yang paling aseli sampai ke pori-pori dan mitokondria destinasi Danau Toba juncto Tigaras subsider ‘Salsabila Hills’, jamgan segan japri-lah bang Bakhiar, @baktiarsinaga –alamat akun IG-nya. Siapkan waktu dan penasaran anda banyak-banyak, Bang Tiar punya se-danau alkisah yang paling asyik dan lebih eksotik dari narasi jontik alakadarnya ini.
Aku tak tahan lagi hendak ke sana, hendak membujok segala rajok jiwa, lantaran kota tanpa cahaya. Menatap kekasih, sambil melahap es krim bentuk lilin. Taring-taringku tajam mengiris-irisnya. Menjilati legit tubuhnya, dengan bola mata yang tersenyum. (Muhammad Joni, Advokat)