Pertemuan di “Perbatasan”

TRANSINDONESIA.CO – Awam menyangka perbatasan hanya batas antar wilayah. Tapal garis geografis. Baik darat, laut pun udara. Yang musti dikawal dan dijaga. Dipermolek dan diperkokoh. Kedaulatan nation state jadi alasannya.

Kini, arus pergerakan manusia yang mengglobal dan super cepat. Dengan rute penerbangan yang ligat. Rute traffic yang ramai dan padat. Angkasa seakan sempit. Sebab itu, kua-administratif, kawasan international airport pun menjadi “perbatasan” antar negara. Keramaian adalah warganya. Pejabat imigrasi adalah penjaganya dan “showcase” citra negara. Pedagang dan kedai kopi ada dimana ada ramai warga. Tak hirau asal-muasal nation state. Benarlah postulat yang baru saja patik buat: “Dimana ada manusia di situ ada kedai”, meniru asas hukum: Dimana ada manusia disitu ada hukum. Ubi sociates ibi ius.

Separo hari, Ahad (15/7/2019), kami melakukan “airport meeting” di “perbatasan”. SHIA pun tak hanya pangkalan udara. Tak hanya terminal pertemuan. Tak cuma jejeran kedai belaka. SHIA adalah “perbatasan” yang mempertemukan warga penjuru dunia. Airport menjadi “kota” dunia. Airport city nama sebuah ikon pembangunan kota baru.

Ide “airport meeting” ini datang dari pak Dr. Ismar, arsitek dan urban planner dari Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM) yang minta bertemu dengan The Housing and Urban Development Institute (HUD Institute). Jumpa “perbatasan”. Gagasan bisa cepat kita terbangkan. Gayung bersambut. Air mengucur. Urang minang warga Malaysia asal Maninjau yang ramah dan bestari ini, tampak larut dalam dialog yang mengalir cair dan sambutan bergizi. Silih berganti. Saya, pak Zulfi Syarif Koto (Ketum HUD Institute) dan pak Ade Armansyah sumringah bertukar ujar dan lancar berbagi ceritera. Semua insinyur town planner, hanya saya saja lawyer.

Dengan mata yang tersenyum, kami bergairah mengujarkan public housing, Transit Oriented Development (TOD), town planning, dan kelas jauh. Ujaran makin gurih karena regukan kopi tetes. Plus kinyam pecel madiun & lontong cap gomeh. Sesekali gurauan keren berkeluaran. Ikhwal kosa kata Melayu lama: “bertungkus lumus”, telisik dimana jejak akhir Hang Tuah: Bintan atawa Melaka?, dan mengenang nasihat inyiek buya HAMKA. Ada juga cerita muzium buya di Sungai Batang. Dikubak istilah Oramahi, yang rupanya singkatan orang matur hilir. Saya pun ingat nama Hasan Ashari Oramahi, dulu pembaca ‘Dunia Dalam Berita’ TVRI.

Gak terasa nyaris 3 jam. Entah berapa banyak pesawat take off & landing dari balik tingkap kaca yang patik lirik. Percakapan ikhwal housing and urban development (HUD) melintas ke sana ke mari. Beyond architecture. Beyond town planning. Beyond the law. Acap melintasi “perbatasan” ragam disiplin ilmu.

Pun demikian patik sempat mengasikan buku “Ayat-Ayat Perumahan Rakyat” (AAPR). Pak Ismar senyum lebar menggamit buku jingga AAPR. Satu untuk Encik Ismar. Satu untuk ‘SErAMBI’, katanya menyebut satu kelompok kajian milik UKM, sembari menyiapkan pena meminta tandatangan beta. Esok pagi AAPR tiba jadi koleksi pustaka UKM sana.

Ahad siang ini, saya pun sumringah di “perbatasan” bersama kolega HUD Institute yang surplus semangat. Sampai di rumah jelang masuk petang, semangat “perbatasan” milik patik masih menjulang. Tapi penat musti dilipat. Tenaga musti disimpan. Senin besok hari pertama anak sekolah. Patik janji menghantar “intan payong” ke perbatasan pagar gaba-gaba SMA 36. Imbauan simpatik Anis Baswedan. Tabik!  [Muhammad Joni]

Share
Leave a comment