Merajut Persatuan Pasca Pemilu

TRANSINDONESIA.CO – Persatuan dan keutuhan bangsa mutlak dipelihara dan dijaga agar Negara Kesatun Republik Indonesia (NKRI) tetap abadi. Pembangunan dan kemajuan teknologi menjadi tak berarti, apabila persatuan terancam.

Karena itu, semua aktivitas hingga kepentingan politik yang potensi memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa harus dihentikan dan ditindak secara hukum yang berlaku.

Memasuki masa kampanye hingga jelang Pemilu serentak pada 17 April 2019. Imbauan agar tetap menjaga persatuan terus dikumandangkan. Sayangnya, seruan para tokoh itu hanya seperti gema suara dipadang pasir. Kurang mendapat perhatian publik

Ironisnya, upaya menjaga dan memelihara persatuan ditengah semakin memanasnya hubungan antar warga negara. Justru ada elit melontarkan pernyataan yang potensi memicu timbulnya kecurigaan antar masyarakat. Seakan tidak peduli, meskipun pernyataannya melukai hati dan perasaan kelompok lain karena dituding akan merubah dasar negara.

Tak dapat dipungkiri, secara kasat mata rakyat Indonesia kini terbelah. Dua kelompok masing-masing sama kuat maupun jumlahnya berhadap-hadapan dan siap bertempur untuk memenangkan Capres yang didukungnya. Posisi kedua kelompok masyarakat itu, seperti kumpulan jerami yang siap terbakar, apabila disundut dengan korek api.

Pesta demokrasi yang diharapkan berlangsung meriah dan menyenangkan, berubah tegang dan memanas. Sementara belum tampak sosok yang dapat merajut persatuan yang mulai tersobek. Keriuhan perbedaan yang potensi memicu perpecahan juga marak di dunia maya dan media sosial (medsos). Beragam analisis yang tidak dapat dipertanggungjawabkan bersiliweran di grup-grup WhatsApp dan media sosial lainnya. Tulisan-tulisan yang berpihak dan beraroma fitnah dan hoax bebas dan beredar luas di tengah-tengah masyarakat. Membuat publik semakin bingung dan terganggu karena sulit membedakan antara informasi yang benar dan yang hoax.

Pengumuman hasil lembaga survey juga turut memanaskan situasi membuat denyut kecemasan dan kekhawatiran publik semakin kencang. Pemilu serentak 17 April 2019 kehilangan makna pesta demokrasi yang menggembirakan. Perbedaan yang dikumandangkan tak lagi sebatas pilihan politik, tetapi sudah menyentuh ideologi.

Panggung-panggung dan ruang kampanye bukan lagi sepenuhnya menjadi arena menyampaikan visi dan misi serta gagasan. Tetapi digunakan untuk menunjukkan kehebatan kelompoknya dan melontarkan kesiapan menerima tantangan kelompok lawan politik. Para pendukung diajak untuk siap berperang melawan pihak lain yang bukan pendukungnya.

Panggung kampanye seharusnya tempat merajut persatuan dengan menggunakan kata kita. Tetapi justru digunakan memperuncing perbedaan dengan meneriakkan kata kami. Seakan tidak memahami, siapapun kelak yang memimpin bangsa dan NKRI adalah pemimpin kita seluruh bangsa Indonesia.

Mencermati kondisi dan situasi selama proses pesta demokrasi berlangsung. Dibutuhkan waktu untuk merajut perbedaan yang kini berada di bibir jurang perpecahan. Diperlukan upaya-upaya yang secara langsung dapat menyentuh dan membangkitkan rasa persatuan dan kesatuan sebagai wujud dari Bhineka Tunggal Ika yang tetap berada dalam bingkai NKRI.

Sosok pemimpin yang piawai merajut kembali persatuan dan kesatuan serta memahami sejarah bangsa sangat dibutuhkan. Untuk itu, seluruh bangsa Indonesia hendaknya menggunakan haknya pada Pemilu 17 April 2019 dengan berlandaskan demi keutuhan bangsa.

Sehingga pasca pemilu kita memiliki sosok pemimpin yang memiliki integritas dan pemimpin yang kuat, tegas, cerdas berwawasan luas serta pro rakyat. Serta berjanji membuat kebijakan hanya berdasarkan kebutuhan rakyat yang sesuai kemampuan negara.

Kemudian memastikan kebijakan yang dibuat memberikan kesejahteraan dan rasa keadilan masyarakat. Persatuan dan kesatuan serta keutuhan akan kembali terjalin dengan penuh kehangatan, bila kesejahteraan dan keadilan tumbuh semarak disekitarnya.[Edison Siahaan –  Pemerhati Pemilu]

Share
Leave a comment