Memelihara Anak Macan

TRANSINDONESIA.CO – Memelihara binatang buas dapat di artikan menabur bom waktu, menyiapkan perangkap di masa depan. Bisa juga dimaknai mencari masalah di masa depan.  Macan tatkala mash kecil memang penurut, mudah dikendalikan. Tatkala sudah besar, naluri kebinatanganya bisa muncul dan menerkam tuannya.

Binatang buas bukan untuk dipelihara, mereka tidak mengenal balas budi dan tidak mengenal setia. Bila lapar naluri kebinatangannya muncul, apa yang ada di depannya dihajar juga.

Analogi ini bisa juga diartikan bermain api terbakar, bermain air basah. Menggunakan atau bekerja sama dengan kaum preman atau mafia atau kaum yang berada di ranah tukang bikin ribut atau pelaku-pelaku ilegal atau penggemar kebencian dan provokator, konflik ini sama saja memelihara anak macan.

Sedikit gesekan ngancam dari ngambek, mengundurkan diri sampai menjebak dan memfitnah, bahkan membocorkan rahasia bisa dilakukan. Mereka, prinsipnya kebagian sumber daya apalagi dekat dengan yang punya kuasa. Gaya mereka melampaui raja.

Semena-mena, tiada lagi hormat dengan yang tua, merasa serba tahu dan serba bisa. Apa yang dirasa tidak nyaman langsung mengerang dan mengaum menunjukkan taringnya. “Aku piaraan ndoro awas macam-macam kulaporkan”.

Jangan sekali-kali mengajari hal keliru kepada kaum-kaum itu, mereka akan menerkam kita. Menjelek-jelekan setidaknya. Tidak disambut hangat marah, tidak dianggap tersinggung, gaya preman feodal menjadi andalannya. “Awas ….. ini proposal segera penuhi, kalau tidak kami gembosi…” ancam mengancam terus dilakukan.

Memelihara anak macan ini memang lucu, menghibur bahkan dianggap mainan. Mereka di papan atas memang lucu, manut menyenangkan. Di tengah dan di bawah menerkam-nerkam, mengancam-ancam. Dari akan mengauditlah, melapor ke sanalah dan kesinilah, menulis di mediapun dilakukan.

Anak macan memang bukan anak kucing yang jinak dan berabad-abad silam sudah menjadi binatang kesayangan. Pawang macan pun bisa diklethaknya tak peduli yang memberinya makan setiap hari.

Tak ada lagi balas budi, tak ada lagi empati. Yang ada hanyalah menuntut ingin dipahami, ingin diistimewakan walau masih ompong dan tak berkompetensi.

Preman tetaplah preman. Mencakar, mengancam sampai menelan. Itulah kebanggaanya. Mereka bukan kaum pembangun dan tiada peduli dengan empati pada hidup maupun kehidupan. Yang penting “menang di sini senang di sana dapat uang”.[Chryshnanda DL]

Share
Leave a comment