TRANSINDONESIA.CO – Pernah dengar selebriti internasional Angelina Jolie dan Brad Pitt memiliki anak hasil adopsi? Diwartakan, Jolie mengadopsi salah satu buah hatinya, Pax, dari sebuah panti asuhan di Vietnam. Bocah itu bernama Tam Binh.
Kabar lain, Jolie dan Brad Pitt dilanda prahara perkawinan, Pitt meminta hak asuh gabungan. Ada soal hukum yang tak bisa diabaikan. Itu salah satu lika liku adopsi anak antar negara. Apa kabar lika liku hukum intercountry adoption di Indonesia?
Pengangkatan anak atau adopsi bukan ihwal belas kasihan dan kepedulian sosial semata. Adopsi anak adalah masalah hukum. Bahkan kepatuhan hukum yang ketat. Dengan ancaman sanksi pidana.
Adopsi anak secara yuridis formal merupakan perbuatan hukum yang mengubah atau mengalihkan hak dan status legal seorang anak. Bergesernya tanggunggjawab hukum. Dari lingkungan kekuasaan orangtua biologis atau wali yang sah, atau orang lain yang bertanggungjawab kepada lingkungan keluarga orangtua angkat. Dengan penetapan atau putusan pengadilan.
Dalam UU 23/2002 tentang Perlindungan Anak, persyaratan adopsi anak ketat. Syarat materil dan formil eksplisit dan prosedur yang pasti.
Bayangkan, dengan UU 23/2002 mengatur syarat, kriteria dan prosedur adopsi (pasal 39, 40), bukan dengan aturan teknis bersifat beleidsregel.
UU 23/2002 mengatur kewajiban/tanggungjawab Pemerintah cq. Kementerian Sosial melakukan bimbingan (counseling), pengawasan (supervision, controlling) atas adopsi anak (Pasal 41). Tak hanya mengatur tetapi fasilitatif: membimbing dan mengawasi.
Ditegaskan pula PP No. 54/2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak yang mengatur prinsip pengangkatan anak: seagama antara anak dengan orangtua angkat (Pasal 3); untuk kepentingan terbaik bagi anak (Pasal 2); tidak memutuskan hubungan darah dengan orangtua kandungnya (Pasal 4); sebagai upaya terakhir (pasal 5); dan wajib memberitahukan asal usul anak (Pasal 6).
2 Tahap, Jangan Sungsang
Tak hanya anak domestik, juga acapkali terjadi adopsi anak antar negara (intercountry adoption). Ada prosedur yang berurutan dalam 2 (dua) tahap. Pertama: Ijin Menteri Sosial; Ketua: Putusan Pengadilan Negeri (PN).
Namun dalam banyak kasus, permohonan kepada PN berwenang diajukan pemohon tanpa dilengkapi dengan Ijin Menteri Sosial. Kurang syarat materil.
Pembaca, ini contoh prosedur intercountry adoption yang “sungsang”. Acapkali Ijin Menteri Sosial diajukan setelah terbitnya putusan PN. Akibatnya? Prosedur itu cacat hukum.
Dalam praktek, beberapa Negara seperti USA tidak mengijinkan pemberian visa masuk apabila tanpa adanya Ijin Menteri Sosial, kendatipun mengantongi putusan PN.
Dalam kasus lain, permohonan Ijin Menteri Sosial tidak dilengkapi dengan dokumen sebagai orang asing yang menetap dalam waktu lama. Tidak adanya KITAS.
Padahal, de facto calon orangtua angkat (pemohon) sudah tinggal di Indonesia lebih dari syarat yang ditentukan. Mungkin hanya bolak balik saja di Indonesia.
Kasus menarik, pemohon calon orangtua angkat (COTA) lebih dulu mengasuh anak. Sebelum permohonan kepada Menteri Sosial, seakan dilakukan “private adoption”. Mungkin karena terlampau sayang, lalai, atau ketidaktahuan?
Kerap pula COTA mengajukan tidak melalui yayasan pengangkatan anak yang memiliki Ijin Menteri Sosial. Akibatnya? Prosedur adopsi diulang guna memenuhi syarat mutlak melalui lembaga/yayasan berijin.
Tersebab itu, prosedur adopsi anak tidak boleh “sungsang”, dan abai syarat formil dan materil. Namun, lepas dari kepatuhan hukum, keadaan sedemikian menyisakan implikasi yang rumit dan dilematis.
Suasana menyentuh haru, dramatis, berbalut alasan insaniawi dan Indonesiawi. Pada si anak yang imut, hati telah terpaut, namun ironi terluput regulasi.
Cermati contoh kasus berikut ini yang menarik dan rumit. Apabila ijin Menteri Sosial tidak diberikan karena syarat tidak terpenuhi, karena tidak seagama, dan/atau sudah memiliki anak.
Namun secara sosial-ekonomi orangtua biologis si anak sudah tidak sanggup dan tidak lagi mengasuh anak.
Sebaliknya secara psikologis, hubungan anak dengan COTA sudah terlanjur dekat. Sudah erat ikatan emosi-psikologis. Terlanjur cinta.
Soal lain? Dalam kasus tertentu bisa jadi COTA sudah mengubah nama dan identitas anak. Diajukan kepada Menteri Sosial cq tim pertimbangan pengangkatan anak (Tim PIPA) dengan nama barunya, melekatkan nama keluarga/orangtua angkatnya.
Hal ini memiliki implikasi hukum. Sebab, sebelum melewati 2 tahap adopasi anak, belum ada perubahan status hukum anak. Apalagi, bisa berbenturan dengan ranjau-ranjau hukum pemalsuan identitas anak.
Adakalanya COTA beristrikan perempuan WNI yang tinggal di Indonesia atau di luar negeri. Atau, COTA beristrikan perempuan eks WNI (lahir, lama tinggal di Indonesia dan memiliki kerabat di Indonesia), namun statusnya WNA. Bukan lagi WNI.
Bisa terjadi, sebelumnya COTA dalam waktu yang cukup lama pernah bekerja dan tinggal di Indonesia. Namun pada saat memohonkan adopsi, sudah pindah, kembali ke negerinya dan tidak lagi berdomisili di Indonesia.
Tak jarang pula, anak yang hendak diadopsi berasal dari Yayasan yang tidak memiliki ijin karena menyerahkan langsung kepada COTA akan tetapi memakai jalur yayasan berijin. Terkesan hanya menjustifikasi proses adopsi saja.
Tata Lembaga
Lebih lanjut, permohonan ke PN diajukan tidak langsung, tetapi melalui yayasan atau lembaga tidak berwenang. Padahal, wewenang yayasan atau lembaga tidak termasuk litigasi permohonan adopsi anak di PN. Untuk apa? Menghindari conflict of interest tatacara adopsi anak antar negara.
Artinya, acap kali yayasan atau lembaga pengangkatan anak memasuki wilayah proses litigasi untuk memperoleh putusan pengadilan.
Untuk memperkuat mekanisme adopsi antar negara, perlu sekali lagi menegaskan kebijakan “one system on intercountry adoption” yakni hanya melalui ijin Menteri Sosial, dan tidak boleh dinas sosial.
Sebab, untuk menentukan peralihan status hukum anak adalah urusan hukum yang bukan urusan daerah sehingga perlu dikukuhkan “sentralisasi perijinan” dalam adopsi antar negara.
Saran esai ini, pelaksanaannya membentuk Unit Pelaksana Teknis (UPT) di daerah yang menangani adopsi antara negara.
Selain itu perlu diadvokasi pemisahan peran (splitsing) berdasarkan kompetensi kelembagaan yang berbeda: pengurusan ijin Mensos oleh Yayasan Sosial yang terdaftar, dan litigasi permohonan ke PN.
Selain itu perlu mengembangkan mekanisme bimbingan masyarakat dan COTA (sebelum dan setelah adopsi). Juga, mengembangkan mekanisme pengawasan dan sanksi, sebelum dan setelah putusan PN. Mengatur mekanisme kerjasama pengawasan antar negara, antar sektor, utamanya sektor kementerian luar negeri, hukum, dan institusi peradilan.
Menurut UU 23/2002, Pemerintah tidak hanya sebagai lembaga pemberi ijin (licencing body) dan pembuat peraturan (regulator body) adopsi anak, akan tetapi melakukan bimbingan, pengawasan dan mendorong pengawasan publik semacam adoption watch.
Selain itu, Pemerintah perlu melakukan peningkatan kapasitas, menilai kapasitas (audit kompetensi) dan reakreditasi lembaga/yayasan sosial yang sudah mendapatkan ijin Menteri Sosial melakukan pengasuhan anak dan pengangkatan anak.
Mengapa perlu audit kompetensi? Karena adopsi anak bukan melulu ihwal kesejahteraan anak dan memberikan keluarga alternatif bagi anak, namun juga memiliki aspek hukum dan implikasi hukum, bahkan ancaman sanksi pidana.
Karena itu perlu audit kompetensi, guna memastikan kepatuhan prosedural, syarat materil dan formil adopsi anak. Jika tidak bisa terjebak berbagai resiko sanksi pidana, apakah Pasal 79 UU 23/2002, maupun Pasal 5 dan 6 UU 21/2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, serta berbagai ketentuan hukum lainnya.
Adopsi anak berbeda dengan isu pelayanan sosial anak lainnya. Selain berdimensi kesejahteraan sosial, namun ketat dengan kepatuhan hukum. Bahkan ancaman sanksi hukum pidana.
Kepatuhan hukum menjadi wajib. Kepatuhan prosedural, syarat materil dan formil, dan penyelenggaran adopsi anak tak bisa ditolerir. Demi kepentingan terbaik bagi anak (the best interest of the child), bukan kepentingan orang dewasa. Bukan untuk kepentingan lain-lain, bukan pula karena yang mengadopsi artis terkenal yang kaya raya.
Hukum adopsi sangat ketat dengan syarat. Jangan coba-coba menafikan karena ada sanksi hukum pidana mengancam. Walaupun yang hendak mengadopsi anak artis baik budi, beken dan kaya sekelas Agelina Jolie dan Brat Pitt. Tabik.
Muhammad Joni, S.H., M.H., Advokat/Managing Partner Law Office Joni & Tanamas, Tim Ahli KPAI, Ketua Perhimpunan Advokasi Anak Indonesia, Anggota TIM PIPA, Email: mhjonilaw@gmail.com