TIGA SUARA

TRANSINDONESIA.CO – Oleh: Muhammad Joni

Tersuruk di belantara pustaka memang kesenangan yang damai. Menghirup udara sejuk rerimbun buku dan kitab, majalah dan manuskrip, dengan “ordo”, “genus” dan “species” yang warna warni. Bahagia yang tak asing dikerubung buku.

Sang pedang masa pun tak berlalu pergi begitu saja,  seperti angin terjepit diseputar anus tanpa seikat elok imajinasi dan inspirasi.

Tetiba ada suara menggema. Memanggil-manggil kepada kemenangan. Arah suara itu berjarak 1 menit atau 160 langkah dari alamat lekuk belantara damai properti pribadi milik patik.

Ilustrasi

Mulanya suara itu hendak ku biarkan saja. Hendak tak kuhiraukan. Astagfirullah.  Berkata-kata pula 2 suara saling bergantian. Suara tanpa suara.

“Nanti saja, tuntaskan dulu momen damai ini”, bujok suara yang pertama.

Suara yang satu lagi bertutur lemah lembut yang sejok:

“Kedamaian apa hendak kau reguk, ketika puncak paling puncak dan asal mula kedamaian batin itu dari Maha Kasih milik-Nya”. Aku dipanggil 3 suara.

*

12.30 WIB. Satu menit lebih setelah itu patik tiba lagi di belantara damai yang menyenangkan. Masih ada tergeletak komunitas “species” sang pemantik. Dan, tegak sederet asisten yang tabah membantu. Buku adalah “gran asisten”. Garnizoen yang loyal dan tabah menyuguhkan data dan informasi, penyimpan gagasan dan pemantik  api inspirasi. Pun hanya mencerna dengan cara ligat jutaan aksara, membaca sekali saja.

Mungkin aku betah dengan kedamaian di sini.  Dimanjakan kesenangan kepada hal ikhwal tenaga aksara dari “generator” pustaka.

Aku asyik bertemu “Penguasa, Makelar, dan Dirham”, “…..”, “……”, “Belajar Hidup dari Rumi…”, “Penumpang Gelap”, “Islam Wahyu Sekuler”, “Kiai, Musik dan Kitab Kuning”, “Heidegger for Muslim dan Sisi Gelap Renaisans, “Sejarah Ka’bah”, ” xyz”, dst. Tak hanya mengapung, berkecimpang-kecimpung, atau berenang, malah menyelam ke palung samudra kitab.

Pustaka memang pemercik aura yang asyik. Akankah aku asik di situ sampai kumandang suara ebang “Haiya a’las sholah”, “Hayya a’lal Falah” itu mengembang, lagi.

Akankah masih ada 2 suara lagi saling berlaga argumentasi? Suara hati yang mengajak fardhu dan kebaikan segera ditunaikan. Versus suara yang satu lagi membisik mantra goda dengan dalih menunda pun sekejap saja.

Sekejap, setengah detik, begitu mewah dan sangat berarti bagi sprinter juara pertama kepada juara kedua. Sekejap adalah demarkasi pembeda.

*

Lelaku manusia dikontrol 2 suara. Sistem kontrol yang abadi dan melekat. Pilihan bebas merdeka, free will,  ada pada kebiasaan, habit dan kualitas anda. Siapa naif dan merugi tak hendak jadi juara?

Diri anda yang menjadi penguasa atas azan suara ajakan kebaikan. Atau,  tergelincir sebagai orang seakan makelar waktu yang merasa punya stok produksi waktu tak terbatas.

Yang perlu diwaspadai, pastikan anda menjadi orang yang menginfakkan seluruh kedamaian yang tengah anda reguk di belantara pustaka dengan lega tanpa takut melarat kesenangan. Menukarnya dengan loyal berangkat ke arah suara ebang. Menukar itu dari kesenangan dalam bentuk dan kadar lain yang sedang menguasai anda.

Dari halaman awal buku “Penguasa, Makelar, dan Dinar” karya Husain bin Ahmad (1932), alumni Fakultas Hukum Al Azhar (1953), yang pernah Ambassador Mesir di Bron (1980), yang dihadiahkan bung Selwa Kumar, ahaa…,  patik tepantik kalimat ini:

“Barang siapa manginfakkan seluruh hartanya dengan lega tapi takut melarat.

Maka yang diperbuatnya itu adalah salah satu bentuk kemelaratan”.

Eureka…, jangan takut melarat kesenangan setakat anda menginfakkan kedamaian, tatkala menghirup oksigen berenergi happy di belantara pustaka, sontak pergilah segera patuhi panggilan ebang “Hayya a’lal Falah”.

Hendakkah anda disebut “Penumpang Gelap”? dari  panggilan terbang kepada tujuan kesenangan yang aseli? Terluput dari sisi gelap. Atau, terasing dari suara sendiri. Bukan terasing itu aniaya yang menyiksa. Pun sekedar terasing dari  pustaka sendiri.  Allu’alam.  (Muhammad Joni, Kelapa Gading, 4 Syawal, 14.14 WIB).[]

Share
Leave a comment