Seni Sebagai Jembatan Waras dan Gila?

TRANSINDONESIA.CO – Awalnya kehabisan cat dan merasa menjadi korban yang tidak bisa mengekspresikan keinginannya. Lampiasan ekspresi melukis menjadi pelampiasan kemarahan melempar kaleng cat menciprat cipratkan cat ke sana kemari.

Dipandangi kok bagus juga nampaknya, inikah yang namanya seni sebagai jembatan antara waras dan gila? Bisa saja demikian.

Buktinya ada art therapy. Atau malah ada brut art orang-orang gila yang berkesenian walau sering dikatakan sebagai seni non peradaban? Kok iso? Lha wong seni itu untuk nguwongke katanya jadi sebenarnya seni ini obat waras ekspresi ungkapan jiwa atau bisa juga maksimalisasi panca indra….  ah mbuh lah seni jan jane yo mung ngono kuwi….

Lukisan penulis-CDL

Masdarwis

Semakin banyak dan thirik-thirik  merasionalisasi seni malah mementahkan makna seni itu sendiri. Seni yang merupakan refleksi adanya manusia berakal budi sebagai cikal dari kebudayaan nek dirasionalisasi terus malah mengaburkan dan menjadi barang hapalan.

Sebagai contoh saja, merasionalisasi rasa manggis. Ada manis ada kecut tapi lembut. Coba apa sama dengan gula, asam, mentega? Ya bukan to. Dalam jagad seni yang membuat seni malah mati ya kaum ndoro-ndoro seni sendiri yang menunjukkan kasta tinggi dan pengetahuan yang sak tekruk malah membuat pagar sehingga seninya ora ketemu.

Jadi waton payu njur gut top dan malah jadi membuat orang takut masuk ke dunia seni atau miris untuk menjadi seniman.  Semoga seni tidak lagi narsis dan dikangkangi kaum kasta tingginya tetapi siapa saja bisa memasuki berkarya dan ikut menikmati.[CDL]

Share