Catatan Sabar Menanti: Mengungkap Fakta Dibalik Permohonan dan RAPP Tak Benar Melawan Kebijakan Permen

TRANSINDONESIA.CO, RIAU – Menyimak sepekan terakhir aktivitas LSM lingkungan di Riau, dimotori  Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari), terasa sangat tinggi.

Dimulai dengan konferensi pers di Jakarta dan disusul di Pekanbaru, Riau serta menyebar sekian banyak ujaran di media sosial. Belum pernah rasanya Jikalahari membuat kegiatan super padat seperti sekarang ini.

Dalam catatan disebutkan di Jakarta, Jikalahari membangun asumsi bahwa dampak kerusakan lingkungan akibat operasi perusahaan hutan tanaman industri PT Riaupulp, tidak sepadan dengan penerimaan negara.

Di Pekanbaru, Kepala Polda Riau Inspektur Jenderal Nandang diserang dengan tudingan lemah mengatasi kejahatan lingkungan. Selain itu berbagai agitasi disebar melalui media sosial.

Inti serangan itu gampang ditebak. LSM ingin permohonan PT RAPP kepada pemerintah (baca : Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan) kalah dalam sidang PTUN jakarta.

Sabar Menanti.

Jadi untuk tujuan itu, serangan demi serangan dibombardir ke segala arah. Bahan-bahan yang tidak ada kaitan dengan persoalan utama dilempar ke ranah publik.

Misalnya, data utang perusahaan diumbar. Struktur kepemilikan perusahaan dibeberkan. Data itu sesungguhnya biasa-biasa saja, namun dibuat seolah-olah menjadi daftar dosa luar biasa.

Salah satu agitasi paling baru adalah penyebaran  isu “Kenapa PT RAPP Melawan Kebijakan Pemerintah”.  Judul itu berbau propaganda yang tidak patut. Kenapa tidak patut? Karena tidak sesuai fakta.

Adapun bukti fakta-fakta itu.

adalah fakta bahwa PT RAPP belum berkenan mengubah Rencana Kerja Usaha-nya untuk mengikuti perintah Kementerian LHK untuk tidak menanam pada kawasan lindung gambut. Perintah itu tertuang dalam Peraturan Menteri LHK No 17/2017 tentang Pembangunan HTI.

Pertanyaanya,  mengapa PT RAPP belum berkenan mengubah RKU?

Hal itu lebih disebabkan fakta bahwa aturan untuk mengubah RKU itu tidak ada dasar hukumnya lagi. Hal itu berlaku semenjak Mahkamah Agung mengabulkan uji materi yang diajukan SPSI Riau terhadap beberapa pasal dalam Peraturan Menteri LHK No 17/2017. MA menyatakan pasal-pasal perubahan RKU dalam Permen LHK No 17/2017 cacat hukum.

Dalam persepsi LSM, meski Permen No 17/2017 telah dibatalkan, namun aturan mengubah RKU masih terdapat pada PP No 71/2014 yang direvisi menjadi PP No 57/2016 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut. Sekarang buka PP gambut itu.

Coba baca baik-baik isinya. Runut satu per satu. Pasal demi pasal.

Faktanya, tidak ada pasal yang mengatur tentang RKU perusahaan HTI. Akan tetapi, PP itu tetap dipertahankan menjadi dalil dengan memberikan tafsir meluas.

Menurut Penasehat Hukum PT RAPP, Andi Ryza Fardiansyah dari Kantor Pengacara Hamdan Zoelva, kalaupun dipaksanakan (walau tidak boleh) bahwa PP Gambut dapat mengatur tata kelola gambut, namun sebuah aturan tidak boleh berlaku surut. Karena faktanya, RKU PT RAPP sudah disahkan jauh hari sebelum PP Gambut disahkan.

Bukan itu saja, tambah Andi, masih ada  ketentuan yang tidak boleh dilanggar pemerintah yaitu pasal 45 PP 71/2014. Pasal ini memberlakukan pembatasan. Aturan tata kelola gambut pada PP tidak berlaku secara total, melainkan hanya untuk izin HTI baru. Adapun untuk pemegang izin lama, masih dibolehkan beraktivitas di kawasan lindung gambut sampai izin berakhir. Pasal itu dibuat negara untuk memberikan kepastian hukum dan berusaha. Itu adalah fakta hukum.

Fakta lainnya, Kementerian LHK bersikukuh mencabut RKU PT RAPP meski dasar aturannya sudah tidak sah. Artinya, pemerintah telah berlaku sewenang-wenang.

Fakta berikutnya lagi, PT RAPP mengajukan keberatan terhadap pencabutan RKU itu. Keberatan itu sah, karena pemerintah telah membuat mekanisme pengajuan keberatan lewat UU No 30/2014 tentang Adiministrasi Pemerintahan.

UU memerintahkan pemerintah hanya diberi 10 hari untuk menjawab. Apabila tidak dijawab, maka permohonan keberatan warga masyarakat dianggap diterima. Lalu, pemerintah diwajibkan mengeluarkan surat menyetujui keberatan itu.

Namun lagi-lagi Menteri LHK yang tidak patuh. Faktanya, KLHK tidak bersedia menjawab keberatan PT RAPP. Setelah batas waktu terlewat, fakta, KLHK tidak juga mengeluarkan surat persetujuan terhadap keberatan PT RAPP.

Jadi, karena perlawanan KLHK terhadap UU itulah, PT RAPP mengajukan permohonan kepada PTUN agar KLHK membatalkan surat No 5322/2017 yang mencabut RKU perusahaan itu. Karena tidak ada yang dapat memaksa pemerintah, kecuali putusan pengadilan.

Ada lagi propaganda LSM yang menyebutkan bahwa sekarang ini tuntutan dunia adalah NDPE (No deforestation, no peat and no eksploitation). Istilah deforestasi (kehilangan hutan) sebenarnya tidak tepat. Karena PT RAPP adalah perusahaan yang diberi izin mengelola hutan produksi. Dalam UU Kehutanan, hutan produksi adalah hutan yang boleh diambil manfaatnya, termasuk menebang kayunya, namun harus ditanam lagi. Tidak boleh ada lembaga atau negara lain yang berhak mencampuri dan mengganggu urusan negara RI.

Sebagai perbandingan, negara Amerika, Finlandia, Brazil dan beberapa negara besar lain di Eropa juga memiliki hutan produksi. Tanaman hutan itu juga ditebang oleh perusahaan untuk bahan baku kertas atau keperluan lain yang diberi izin negara bersangkutan. Kalau terminologi LSM dipakai, berarti negara Amerika dan Eropa dimaksud juga mengalami deforestasi. Mengapa itu tidak dipersoalkan LSM?

No peat (gambut)? Apa iya? Bukankah di Jerman dan negara-negara Eropa lainnya, gambut justru diproduksi untuk pembangkit listrik dan keperluan lain. Kenapa hanya gambut Indonesia yang diributkan?

Niatan LSM/ KLHK untuk menyelamatkan ekosistem gambut untuk mengurangi emisi karbon dioksida adalah sesuatu yang patut didukung. Namun langkah itu tidak boleh menabrak aturan. Masih banyak kawasan gambut di hutan lindung atau hutan konservasi milik negara yang semestinya diperbaiki dan diamankan dari kerusakan parah terlebih dahulu. Untuk urusan gambut di hutan produksi, nanti dulu, karena masih ada izin negara di atasnya.

Oya masih ada satu fakta yang semestinya  diketahui masyarakat. Indonesia adalah negara non Annex I dalam Konferensi PBB untuk Perubahan Iklim. Kelompok non-Annex I adalah negara-negara yang tidak memiliki kewajiban menurunkan emisi karbon atau gas rumah kaca. Namun Indonesia boleh berpartisipasi dengan kerelaan. Bukan paksaan.

Negara yang wajib mengurangi emisi karbon/gas rumah kaca itu adalah negara-negara maju yang sejak ratusan tahun lalu menghancurkan hutan dan sumber daya alam untuk industrinya. Dengan merusak alam justru membuat negara-negara itu menjadi besar seperti sekarang.

Jadi menyimak  catatan  fakta nya, apakah PT RAPP dapat dikategorikan perusahaan yang melawan negara? Tentu tidak logika.[SBR]

Share