KEPEMIMPINAN TRANSFORMASIONAL MENUJU POLRI YANG PROMOTER (1)
TRANSINDONESIA.CO – Oleh: Chryshnanda DL
PEMOLISIAN DI ERA DIGITAL
Pemolisian di era digital yang di implementasikan dalam model Electronic Policing (E-policing) yang menunjukkan pemolisian secara online yang dapat mendukung terbangunnya Smart City dengan membangun birokrasi yang adil dan sebagai inisiatif anti korupsi (Haryatmoko, 2015 hal 43-49), pelayanan kepolisian yang prima yaitu: cepat, tepat, akurat, transparan, akuntabel, informatif dan mudah diakses (Chryshnanda, 2011 hal 118-120). Saat ini kita berada di era digital, dimana kita hidup dalam konteks budaya digital (Komisi Kateketik KWI, 2014 hal 9). Di era kemajuan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi yang begitu cepat berdampak terjadinya globalisasi . Selain segi positif globalisasi juga membawa dampak pada berbagai permasalahan sosial yang berkaitan dengan pelayanan publik hingga gangguan keamanan ataupun kejahatan yang terjadi dalam masyarakat akan semakin kompleks dan semakin canggih, karena semakin sistematis, terorganisir secara profesional dan memanfaatkan teknologi dan peralatan-peralatan modern yang dilakukan oleh orang-orang yang ahli/ profesional. Di samping itu tuntutan, harapan dan tantanganyapun akan semakin tinggi dan kejahatanyapun akan semakin sulit untuk dicegah, dilacak dan dibuktikan. Selain itu tuntutan dan harapan masyarakat terhadap kinerja polisi dalam menyelenggarakan pemolisiannya akan semakin meningkat yaitu adanya pelayanan prima. Pelayanan prima kepolisian dapat dihasilkan dalam birokrasi yang adil, dimana birokrasi yang mampu memangkas/ memberantas korupsi yang telah mengakar dan terpola, terstruktur dan seperti mafia yang telah mengaburkan antara yang legal dan ilegal, dimana ketidakadilan lebih dominan daripada keadilan (Haryatmoko, 2015 hal 43).
Sejalan dengan pemikiran di atas maka Kepolisian memerlukan model birokrasi yang adil yang dapat mendukung penyelenggaraan pemolisian yang mampu menghasilkan produk sebagai berikut :
- Manfaat bagi kemajuan bangsa dan negara, kesejahteraan masyarakat, kemajuan institusi Polri.
- Model pemolisianya baik yang berbasis : wilayah, kepentingan, maupun dampak masalah ( ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, keamanan dan keselamatan).
- Fungsi dan tugas pokok polisi baik sebagai institusi, sebagai fungsi maupun sebagai petugas kepolisian. Arah untuk Polri di depan (setidaknya untuk 2020) Polri sebagai institusi yang profesional (ahli), cerdas (kreatif dan inovatif), bermoral (berbasis pada kesadaran, tanggungjawab dan disiplin).
- Model-model pembinaan baik untuk kepemimpinan, bidang administrasi, bidang operasional maupun capacity building.
Dalam membangun pemolisian di era digital pemikiran-pemikiran secara konseptual dan bertindak pragmatis yang saling melengkapi dan menjadi suatu system dalam rangka menggeser pola-pola yang manual, parsial dan temporer menjadi sistem-sistem online yang terpadu dan berkesinambungan. Tatkala membangun sistem yang perlu diperhatikan adalah proses-proses dan standar-standar yang mencakup: masukan (input), proses (cara mencapainya) maupun keluaranya (output), yang memerlukan adanya standar-standar baku sebagai pedoman operasionalnya (SOP). Membangun sistem pemolisian merupakan upaya-upaya merubah habitus dan mind set para petugas polisi dalam menggunakan pemolisiannya. Kesulitan merubah mind set para petugas polisi dan stakeholders lainnya dari pola manual menuju sistem online adalah dari kelompok-kelompok status quo dan kelompok-kelompok di zona nyaman. Mereka akan terus mempertahankan dan memperjuangkan secara keras agar previlage-previlage yang telah dan sedang mereka nikmati tidak hilang. E-Policing adalah pemolisian secara elektronik yang dapat diartikan sebagai pemolisian secara online, sehingga hubungan antara polisi dengan masyarakat bisa terjalin dalam 24 jam sehari dan 7 jam seminggu tanpa batas ruang dan waktu untuk selalu dapat saling berbagi informasi dan melakukan komunikasi (Chryshnanda DL, 2015 Hal 88). Bisa juga dipahami e-policing sebagai model pemolisian yang membawa community policing pada sistem online. Dengan demikian E-Policing ini merupakan model pemolisian di era digital yang berupaya menerobos sekat-sekat ruang dan waktu sehingga pelayanan-pelayanan kepolisian dapat terselenggara dengan cepat, tepat, akurat, transparan, akuntabel informatf dan mudah diakses. E-Policing bisa menjadi strategi inisiatif anti korupsi, reformasi birokrasi dan creative break through. Dikatakan sebagai inisiatif antikorupsi karena dengan sistem-sistem online dapat meminimalisir bertemunya person to person. Dalam pelayanan-pelayanan kepolisian di bidang administrasi contohnya sudah dapat digantikan secara online melalui e-banking, atau melalui ERI (Electronic Registration and Identification) (Chryshnanda DL, 2015 Hal 235). E-policing juga dikatakan sebagai reformasi birokrasi, karena dapat menerobos sekat-sekat birokrasi yang rumit yang mampu menembus ruang dan waktu misalnya tentang pelayanan informasi dan komunikasi melalui internet. Dalam hubungan tata cara kerja dalam birokrasi dapat diselenggarakan secara langsung dengan SMK (Standar Manajemen Kinerja) yang dibuat melalui intranet/ internet juga sehingga menjadi less paper dan sebagainya. E-policing dikatakan sebagai bagian creative break through, karena banyak program dan berbagai inovasi dan kreasi dalam pemolisian yang dapat di kembangkan melalui berbagai aplikasi misalnya pada sistem-sistem pelayanan SIM, Samsat, atau juga dalam Traffic Management Centre (TMC) (Chryshnanda DL, 2011 Hal 302) baik melalui media elektronik, cetak maupun media sosial bahkan secara langsung sekaligus.
E-Policing bukan dimaksudkan untuk menghapus cara-cara manual yang masih efektif dan efisien dalam menjalin kedekatan dan persahabatan antara polisi dengan masyarakat yang dilayaninya. E-Policing justru untuk menyempurnakan, meningkatkan kualitas kinerja sehingga polisi benar-benar menjadi sosok yang profesional, cerdas, bermoral dan modern (Chryshnanda DL, 2015 Hal 3) sebagai penjaga kehidupan, pembangun peradaban dan pejuang kemanusiaan sekaligus (Chryshnanda DL, 2015 Hal 27). E-Policing dapat dipahami sebagai penyelenggaraan tugas kepolisian yang berbasis elektronik yang berarti membangun sistem-sistem yang terpadu, terintegrasi, sistematis dan saling mendukung, ada harmonisasi antar fungsi/ bagian dalam mewujudkan dan memelihara keamanan dan rasa aman dalam masyarakat. Pemolisian tersebut dapat dikatakan memenuhi standar pelayanan prima yang berarti: Cepat, Tepat, Akurat, Transparan, Akuntabel, Informatif dan mudah diakses. Pelayanan prima dapat diwujudkan melalui dukungan SDM yang berkarakter, pemimpin-pemimpin yang transformatif, sistem-sistem yang berbasis IT, dan melalui program-program yang unggul dalam memberikan pelayanan, perlindungan, pengayoman bahkan sampai dengan penegakkan hukumnya. Pembahasan E-Policing dapat dikategorikan dalam konteks : 1. Kepemimpinan, 2. Administrasi, 3. Operasional, 4. Capacity Building (pembangunan kapasitas bagi institusi).
Unsur-unsur pendukung dalam membangun E-Policing: a) Komitmen moral; b) Political Will; c) Kepemimpinan yang transformatif; d) Infrastruktur (hardware dan software) sebagai Pusat data, informasi, komunikasi, kontrol, koordinasi, komando dan pengendalian; e) Jaringan untuk komunikasi, koordinasi, komando pengendalian dan informasi (K3i) melalui IT dan untuk kontrol situasi; f) Petugas-petugas polisi yang berkarakter (yang mempunyai kompetensi, komitmen dan unggulan) untuk mengawaki untuk yang berbasis wilayah, menangani kepentingan dan dampak masalah; g) Program-program unggulan untuk dioperasionalkan baik yang bersifat rutin, khusus maupun kontijensi, (tingkat manajemen maupun operasionalnya); h) Tim transformasi sebagai tim kendalli mutu, tim backup yang menampung ide-ide dari bawah (bottom up) untuk dijadikan kebijakan maupun penjabaran kebijakan-kebijakan dari atas (top down). Tim ini sebagai dirigen untuk terwujudnya harmonisasi dalam dan di luar birokrasi. Dan melakukan monitoring dan evaluasi atas program-program yang diimplementasikan maupun menghasikan program-program baru; i) Selalu ada produk-produk kreatif sebagai wujud dari pengembangan untuk update, upgrade dan mengantisipasi dinamika perubahan sosial yang begitu cepat.[bersambung]