KEPEMIMPINAN TRANSFORMASIONAL MENUJU POLRI YANG PROMOTER

TRANSINDONESIA.CO – Oleh: Chryshnanda DL

PENDAHULUAN

Kepolisian merupakan institusi pemerintah yang bertugas dan bertanggung jawab akan keteraturan sosial, Kamtibmas (keamanan, ketertiban dalam masyarakat) dengan tugas pokoknya melindungi, mengayomi, melayani masyarakat dan menegakkan hukum . Polisi bekerja melalui pemolisian. Pemolisian merupakan segala upaya atau tindakan kepolisian dalam birokrasi maupun di dalam masyarakat yang dilakukan pada tingkat management maupun operasional dengan atau tanpa upaya paksa untuk mewujudkan dan memelihara keteraturan sosial. Konteks keteraturan sosial ini dalam rangka mendukung produktivitas masyarakat agar senantiasa kehidupan mereka dapat meningkat. Meningkatkan kualitas hidup masyarakat adalah terwujud dan terpeliharanya keamanan dan rasa aman, sehingga warga masyarakat dapat melakukan aktivitas-aktivitas yang mendukung produktivitasnya dengan baik dan benar. Berbagai ancaman, hambatan, gangguan dapat berdamak pada terhambat, rusak bahkan matinya produktivitas.

Promoter Polri

Premanisme merupakan hambatan produktivitas, karena para preman (mafia)  . tatkala terterstruktur akan menjadi benalu yang menghambat, merusak bahkan mematikan produktivitas. Dalam konteks inilah polisi berfungsi melalui pemolisiannya untuk dapat mewujudkan dan memelihara keteraturan sosial. Model-model pemolisian secara garis besar dapat dikategorikan menjadi dua yaitu model konvensional dan model kekinian. Pemolisian model konvensional lebih menekankan pada tindakan penegakan hukum dan memerangi kejahatan (Crime Fighter). Polanya dapat dikatakan reaktif ala pemadam kebakaran. Adapun pemolisian kekinian lebih menekankan pada pencegahan, proaktif, membangun kemitraan, dan keberadaan polisi dapat menjadi ikon untuk kecepatan, kedekatan dan persahabatan. Segala upaya tersebut dalam menyelenggarakan pemolisiannya dengan mnegedepankan kemitraan secara proaktif, problem solving dan kemitraan untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Model pemolisian ini dikenal sebagai community policing/ di dalam penyelenggaraan tugas polisi dikenal dengan Polmas . Model polmas/ community policing menjadi 3 bagian yaitu: (1) berbasis wilayah; (2)  berbasis kepentingan; dan (3) berbasis dampak masalah. Ketiga kategori memiliki pendekatan yang berbeda, tetapi terdapat benang merah yang menunjukan saling keterkaitan satu dengan lainnya. Model pemolisian itu dapat digunakan sebagai acuan dasar dan pedoman dalam implementasinya. Sekalipun berbeda variasinya berdasarkan corak masyarakat dan kebudayaannya, tetapi tetap ketiganya memiliki prinsip-prinsip mendasar yang berlaku umum. Mangunwijaya mengatakan: ”satu prinsip seribu gaya”.

  1. Pemolisian Berbasis Wilayah. Pemolisian dengan berbasis wilayah (geographical community), dalam implementasinya, membagi wilayah dalam lingkup kecil RW dan Kelurahan, serta dijabarkan sistem-sistem jejaring dan berbagai kelompok kemasyarakatan yang ada. Model ini dapat dikatakan sebagai model struktural dari tingkat Mabes sampai dengan Polpos bahkan hingga tingkat Babin Kamtibmas. Semua tingkatannya dibatasi wilayah hukum dengan mengikuti pola pemerintahan, atau pola-pola khusus seperti yang diterapkan di Polda Metro Jaya yang wilayahnya terdapat 3 propinsi (DKI Jakarta, Banten, dan Jawa Barat). Ada Polres yang membawahi lebih satu wilayah kota/kabupten. Ada juga wilayah Polsek yang lebih dari 1 kecamatan. Pada tingkat Polpos dan Babin Kamtibmas, pemolisian perlu dibuat secara konsisten atau ada modelnya. Dalam pemolisiannya, tentu berkaitan dengan penanganan-penanganan masalah dan berbagai kepentingan. Oleh karena itu, terdapat saling keterkaitan antara model yang berbasis wilayah dengan yang berbasis kepentingan maupun dengan yang berbasis dampak masalah. Maka timbul pertanyaan, bagaimana membangun sistem terpadu yang saling mengisi dan saling melengkapi serta saling menguatkan dalam mewujudkan dan memelihara keteraturan sosial (Kamtibmas)? Jawabannya adalah dengan membangun back office sebagai linking pin/pusat K4Ei (Komunikasi, Komando dan pengendalian, Koordinasi, Kontrol dan monitoring, Evaluasi dan informasi).  Back office merupakan ruang operasi jika  dianalogikan adalah dirigen dalam suatu orchestra untuk mengharmonikan pekerjaan yang diselenggarakan antar wilayah, fungsi/bagian, maupun dalam kondisi yang diskenariokan, atau kondisi-kondisi kontijensi baik dari faktor manusia,  faktor alam, maupun faktor kerusakan infrastruktur. Back office ini merupakan sistem terpadu yang mampu membangun database, komunikasi, komando dan pengendalian, koordinasi, kontrol dan monitoring, evaluasi serta informasi. Back office mampu memberikan pelayanan prima dengan pemolisian yang profesional, cerdas, bermoral dan modern. Untuk itu diperlukan keunggulan-keunggulan dalam mengimplementasikannya: (a) unggul sumber daya manusia (SDM); (b) unggul data; (c) unggul pemimpin dan kepemimpinannya; (d) unggul Sarpras (berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi); (e) unggul Jejaring; dan (f) unggul anggaran.
  2. Pemolisian Berbasis Kepentingan. Model pemolisian  berbasis kepentingan tidak dibatasi wilayah, tetapi dipersatukan oleh kepentingan-kepentingan bersama (community of interest). Pendekatan polmas yang diterapkan dapat juga meliputi sekelompok orang yang hidup dalam suatu wilayah lebih luas seperti Kecamatan bahkan Kabupaten/Kota, sepanjang mereka memiliki kesamaan kepentingan (Rahardjo, 2002). Berbagai kepentingan tersebut berupa hal yang berkaitan: dengan pekerjaan/profesi, hobby, kegiatan, dan kelompok kemasyarakatan. Model ini dimplementasikan secara variasi oleh fungsi-fungsi kepolisian yang ada pada pemolisian berbasis wilayah (Mabes sampai dengan Polsek) sesuai dengan kategori kepentingannya (internasional, regional, nasional, dan tingkat lokal). Melalui keunggulan-keunggulan itu yang diharmonisasikan oleh para petugas di back office, walaupun pemolisiannya pada tingkal lokal sekalipun, tetapi dampaknya dapat menjadi global karena terdapat sistem dasar dan sistem pendukungnya yang saling terkait.
  3. Pemolisian Berbasis Dampak Masalah. Penanganan akar-akar masalah ini bukan pada tugas polisi, tetapi potensi konfliknya dapat berdampak menjadi konflik yang sangat mengganggu, menghambat, merusak, hingga mematikan produktivitas masyarakat. Tentu saja akan menjadi tugas kepolisian tatkala terjadi gangguan terhadap keteraturan sosial. Pola pemolisiannya juga berkaitan dengan yang berbasis wilayah maupun yang berbasis kepentingan, tetapi polanya berbeda karena penanganannya dengan pola khusus atau yang tidak bersifat rutin, dan tetap memanfaatkan sistem back office. Pola penanganan terhadap dampak masalah ini dilakukan dengan membentuk satuan-satuan tugas (satgas) yang juga bervariasi karena juga akan berbeda dampak masalah dari ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan, keamanan, keselamatan, dan sebagainya. Jika sudah terjadi dampak masalah, di sinilah core dari model pemolisian berbasis dampak masalah yang penangannya diperlukan keterpaduan (integrasi) dari pemangku kepentingan ataupun antar satuan fungsi. Dengan membangun model pemolisian ini, akan menjadi wadah untuk mensinergikan, mengharmonikan dalam menangani berbagai masalah (ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, keamanan, dan pertahanan), sehingga solusi-solusi yang tepat dapat diterima semua pihak yang digunakan untuk pra, saat, maupun pasca. Keterpaduan inilah yang menjadi kecepatan, ketepatan, dan kekuatan sosial, yang juga akan menjadi ketahanan nasional dalam menghadapi berbagai dampak masalah bahkan dampak globalisasi.[bersambung]
Share