Memilah dan Memilih Antara Sarana dan Tujuan

TRANSINDONESIA.CO – Sarana dan tujuan seringkali tertukar atau ada yang lebih memuja sarana dibandingkan dengan tujuan. Tatkala sarana yang lebih diutamakan, maka tujuan dapat terabaikan. Semestinya mengerjakan tugas pokok karena sarana yang diutamakan, terjadi pokoknya tugas yang menjadi pekerjaan penting tidak mustahil dicampakan karena yang penting tugas.

Passion dalam bekerja hilang, sarana menjadi lebih dominan atau mendominasi. Pangkat, jabatan, kekuasaan, sumber daya, dan sebgainya merupakan sarana mencapai tujuan. Tak jarang justru sarana didewakan dan diagungkan.

Masalah-masalah lain akan timbul sadar atau tidak arah dan upaya pencapaian tujuan bisa dibelokkan dan semakin menjauh dari tujuanya. Sarana menjadi praktis lebih menarik, lebih mudah bahkan lebih menjanjikan. Tujuan seringkali nampak berat dan sulit bahkan tidak sesuai dengan kondisi yang diharapkan.

Ilustrasi

Tujuan bisa saja lebih abstrak atau lebih sulit, lebih lama secara materi tidak menguntungkan, namun itulah yang hakiki dan merupakan esensinya.

Pencapaian tujuan memerlukan perjuangan, kegigihan, ketekunan bahkan keberanian berkorban atau mengorbankan diri.

Sarana tatkala disalah gunakan atau untuk membangun kroni atau klik atau kerajaan maka profesionalisme/kompetensi dihilangkan. Yang ada siapa dia, orang siapa dan dapat dipastikan tanpa berbasis kompetensi.

Yang tidak menjadi bagian akan hanya menonton, pasrah bahkan tanpa mampu berbuat banyak selain diam. Melawanpun percuma konteka asu gede menang kerah e akan diterapkan. Persetan orang susah karenanya yang penting senang dan yang penting bisa senang.

Tatkala sarana ini yang dikejar dan diagungkan maka kejujuran, edukasi, kemanusiaan, profesionalisme akan diabaikan.

Dampaknya adalah maraknya KKN bahkan tiada lagi rasa malu. Yang keliru dibanggakan, yang baik dan benar malah dilecehkan. Baik dan benar akan menjadi duri dalam daging bahkan dianggap pengacau atau bahkan penghianat.

Parahnya lagi, adalah hilangnya kewarasan, kegilaan semakin parah dan tanpa ragu tanpa malu dipertontonkan. Ketidak adilan kesewenang wenangan menjadi pemandangan yang biasa bahkan memaksa untuk diamini sebagai kebaikan dan kebenaran.

Waras dalam kegilaan yang menyadarkan akan diserang dianggap celometan bahkan bisa diancam untuk dibedil. Waras itu bisa merasakan sesuatu yang tidak normal. Tidak ada orang gila merasa sakit ataupun malu.

Semua dihajarnya. Rasa sakit dan rasa malu bisa dirasakan bagi yang waras. Tak banyak yang waras. Yang ada hanyalah yang merasa waras.[CDL]

Share
Leave a comment