Ombudsman: Praktik Pungli dan Percaloan SIM Rugikan Negara

TRANSINDONESIA.CO, JAKARTA – Ombudsman dan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mendesak agar dilakukan survei independen secara komprehensif untuk peningkatan kinerja, transparansi, dan akuntabilitas, perbaikan manajemen sumber daya manusia korps lalu lintas, serta evaluasi kinerja kepala atau pimpinan Satpas (satuan penyelenggara adminitrasi) SIM setempat.

Hal ini terkait dugaan masih maraknya percaloan SIM di wilayah hukum Polda Metro, terutama Samsat Daan Mogot dan Samsat Polres Metro Kota Bekasi.

Ombudsman dan YLKI juga mengingatkan masyarakat, khususnya pemohon SIM agar jangan mudah terkecoh atau dibodohi. Bahkan, nekad melakukan persekongkolan dengan oknum pelaksana pembuat SIM dengan harapan cepat mendapatkan dokumen tersebut dengan cara menyimpang, atau melanggar undang-undang lalu lintas.

Ilustrasi

Demikian dikatakan Komisioner Ombudsman Bidang Kepolisian Adrianus Meliala dan Ketua YLKI Tulus Abadi seperti dikutip dari Suara Pembaruan, Sabtu 30 September 2017.

Adrianus mengatakan, petugas di mana pun yang melayani permohonan SIM harus bekerja secara profesional dengan mengutamakan pelayanan yang optimal demi kebaikan sesuai tuntutan masyarakat bukan justru mengajak, apalagi mengiming-imingi pengurusan SIM via jalur cepat tapi menyimpang.

Dikatakan, pelayanan di Satpas SIM mana pun semestinya dari tahun ke tahun mengalami peningkatan kualitas yang menunjukkan keberhasilan mewujutkan kinerja yang baik sesuai harapan masyarakat. Bukan sebaliknya justru pelayanan masyarakat ini bertambah merosot kualitasnya hanya gara-gara maraknya praktik pungli yang memberi keuntungan bagi segelitir orang, bahkan oknum tertentu.

Menurut Adrianus, pihaknya sudah beberapa kali melakukan investigasi mengenai hal ini sebagai upaya untuk memperbaiki kualitas pelayanan di Kepolisian sekaligus membasmi praktik pungli di lingkungan Kepolisian, terutama dalam pembuatan SIM. Selain itu, dari hasil investigasi tersebut, pihaknya juga memberikan sejumlah masukan untuk perbaikan sumber daya manusia dalam manajeman pengurusan SIM agar sesuai prosedur yang ada.

“Terkait informasi dugaan masih ada percaloan SIM, kami siap melakukan investigasi kembali sekaligus menanyakan ke Korlantas. Selain itu, boleh saja dilakukan survei independen untuk menilai sejauh mana target masyarakat dan penegakan displin pengurusan SIM, namun Ombudsman lebih utama mendorong perbaikan sumber dalam manusia. Termasuk, strategi bagaimana mencegah tidak ada kongkalikong antara pemberi dan penerima atau petugas Samsat SIM dan pemohon SIM,” ujar Adrianus.

Dikatakan, selain hasil operasi tangkap tangan (OTT) Polri terhadap kasus pungli SIM, aparat kepolisian sendiri sebenarnya pernah menyita sejumlah barang bukti berupa uang yang diduga hasil pungli.

Pada Mei lalu Ombudsman saat melakukan investigasi atas prakarsa sendiri (own motion investigation) juga menemukan adanya maladministrasi dalam pembuatan SIM di beberapa kantor kepolisian yang berkaitan dengan pelayanan publik. Hal ini menunjukkan bahwa praktik pungli dan percaloan ini berpotensi merugikan negara dari sektor pendapatan pajak.

Selain itu, tuturnya, maraknya praktik pungli dan percaloan di sektor pelayanan publik yang melibatkan oknum aparatur pemerintah tentu sangat meresahkan masyarakat. Hal tersebut sekaligus membuktikan bahwa reformasi birokrasi masih belum menunjukkan tanda-tanda keberhasilan atau dapat dikatakan gagal.

Sementara itu, Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi mengatakan, terkait penanganan dugaan masih adanya percaloan SIM ada tiga penyelesain yang bisa dilakukan. Pertama, harus ada survei kepuasan publik saat pengurusan hal tersebut apakah puas atau tidak. Jika puas indeksnya berapa.

Kedua, harus ada semacam audit di Kantor Satpas SIM dan kalau ada indeks sampai berapa. Ketiga, hasil dari poin pertama dan kedua bisa dijadikan instrumen untuk mengevaluasi kinerja pimpinan Samsat SIM setempat.

Ditegaskan, buruknya pelayanan publik yang diberikan oleh aparatur pemerintah kepada masyarakat bisa terjadi karena birokrat belum mengerti esensi Undang-Undang No 25 Tahun 2009 tentang pelayanan publik. Di mana Undang-Undang itu secara jelas dan gamblang mengatur kewajiban aparatur pemerintah untuk dapat melaksanakan pelayanan masyarakat sebaik-baiknya.[SP]

Share