Kota Baru “Tak Bertuan” Milik Siapa? [Bag-4]
TRANSINDONESIA.CO – Co-Owner ; Lantas, adakah konsep, skim dan model bisnis agar warga masyarakat lokal pemilik asal tanah, pun demikian warga asli selingkar wilayah formal kota baru itu ikut menjadi “pemilik” korporatisasi kota baru mandiri? Bisakah warga pemilik tanah asal menjadi co-owner pembangunan dan pengusahaan kota baru mandiri? Misalnya dengan jurus share values pengusahaan, dengan memasukkan tanah dan ekosistem lokal sebagai penyertaannya.
Tersebab itu, patut Pemerintah dan Pemda membuat regulasi yang membangun model bisnis yang pro warga masyarakat lokal sekitar kota baru dan pemilik asal turut menjadi bagian dari korporatisasi kota-kota baru. Menjadi pemilik saham atas pengembang kota-kota baru, menjadi co-developer.
Tak hanya warga masyarakat pemilik asal dan warga sekitar, kesempatan co-developer alias co-ownership seperti itu secara hukum bisa dirancang sedemikian rupa untuk dimiliki Pemerintah/Pemda yang diwakili BUMN/BUMD. Jurus Creating Shared Value (CSV) yang dikembangkan Harvard University kiranya bisa diaplikasikan ke dalam model bisnis pembangun kota-kota baru yang berbasis komunitas, dengan disain co-developer dan co-ownership. Kota-kota baru tak hanya bergenre pemolekan seperti label green city, smart city, liveble city, beutifull metroplitan city, namun juga menjadi people growth city, empowerment city, bahkan happiness city.
Pada titik itu, Pemerintah dan Pemda berperan membuat regulasi, dan menegosiasikan konsep rancangan, model bisnis dan korporatisasi pembangunan kota-kota baru berbasis komunitas. Juga mengintegrasikan kepentingan publik, mendesakkan pemasukan devisa pemerintah, dan pro kepentingan warga masyarakat lokal pemilik asal tanah. Kalau sekarang dikenali konsep Public and Privat Partnership (PPP), maka dengan anasir kemitraan rakyat (peoples) menjadikan PPP itu semakin sempurna.
Periksalah dokumen universal yang diikuti bangsa-bangsa beradab semisal Sustainable Development Goals (SDGs) yang menjadikan “sustainable cities and communities” (SC&C) sebagai kesatuan tak terpisahkan. Target SC&C itu menjadi faktor kohesi dan tak saling menyisihkan, apalagi “konflik” antara cities dengan communities. Instrumen ini relevan dengan genre kota baru berlabelkan happiness city.
Eureka, pembangunan kota-kota baru tidak hanya dimensi perubahan bentang kawasan menjadi kenyaman baru, namun jurus baru pemerataan kesejahteraan ekonomi. Bahkan kebahagian bersama di atas bumi yang sama.
Tersebab itu, filosofi fungsi sosial tanah dan kredo tanah untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat tidak lagi hanya asesoris, dengan menyediakan bangunan rumah ibadah, sekolah ataupun taman publik, namun mengintegrasikan modal usaha pengembang, modal tanah rakyat, dengan modal otoritas dan ijin-ijin Pemerintah/Pemda untuk kepentingan bersama yang berkeadilan bagi 3 pilar: swasta, pemerintah/pemda, warga/rakyat. Dengan demikian, takrif usang fungsi sosial tanah dan relasi searah pemberian ijin-ijin dari Pemerintah musti dioptimalkan dengan redefenisi fungsi sosial tanah dan revitalisasi norma “untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.
[Muhammad Joni,SH,MH: Ketua Masyarakat Konstitusi Indonesia (MKI), Sekretaris Umum Housing and Urban Development (HUD) Institute, Managing Partner Law Office Joni & Tanamas]