Skill Ruhani: Tangisan Tak Selalu Indikasi Kesedihan

TRANSINDONESIA.CO – “Jika segala sesuatu bersifat temporal, yakni sementara, mengapa harus bersedih?” tanya ustadz Iqbal Irham, melanjutkan tausiyahnya di hari kedelapan ramadhan ini. Berikut penjelasannya.

Larangan yang kedua bagi orang beriman, seperti tercantum dalam Qs. Ali Imran, 3: 139 adalah tidak / jangan bersedih. Secara tegas Allah mengatakan:

… ولا تحزنوا …

“… Dan janganlah kamu (kalian) bersedih…”.

Sedih atau kesedihan adalah suatu emosi yang ditandai oleh perasaan tidak beruntung, kehilangan, dan ketidakberdayaan. Kesedihan adalah lawan dari kegembiraan atau kebahagiaan, dan merupakan persamaan dari dukacita atau kesengsaraan.

DR.H.Muhammad Iqbal Irham.

Pada saat mengalami kesedihan, jiwa seseorang menjadi mengkerut, lemah dan seakan tidak berdaya. Hal ini karena kesedihan membawa energi buruk (negatif) bagi jiwa (nafs). Akibatnya orang yang bersedih, cenderung dan seringkali menjadi lebih diam, kurang bersemangat, dan menarik diri dari lingkungan sekitarnya.

Kesedihan dan depresi memiliki persamaan dan perbedaan. Dari sisi persamaan, keduanya merupakan “penurunan suasana jiwa seseorang” karena adanya penyebab tertentu. Sementara perbedaan keduanya dapat dilihat dari ukuran waktu dan intensitasnya. Jika kesedihan merupakan penurunan suasana jiwa secara kecil (rendah) dan temporal, yakni hanya sementara waktu. Maka depresi merupakan sebuah penurunan suasana jiwa yang persisten dan besar yang terkadang disertai dengan gangguan terhadap kemampuan seseorang untuk melakukan kegiatan sehari-hari.

Lalu, apakah menangis merupakan indikasi dari sebuah kesedihan? Jawabannya, belum tentu. Memang benar sebagian besar dari kesedihan terkadang diikuti oleh tangisan (baik sebentar ataupun lama). Namun tidak semua tangisan adalah tanda kesedihan. Banyak orang yang menangis bukan karena sedih, melainkan karena bahagia. Seorang ibu yang baru melahirkan, mungkin akan menangis melihat bayinya lahir dalam keadaan sehat wal’afiat. Seorang yang berhasil memperoleh kejuaraan, mungkin saja akan menangis karena telah berhasil. Dan pada umumnya, atau bahkan hampir semua orang yang melihat Ka’bah pertama sekali, ketika melakukan umroh atau haji, akan berurai air mata. Bahkan orang-orang yang taubat (kembali ke jalan Allah) dengan sungguh-sungguh, juga akan menangis. Contoh-contoh ini memperjelas bagi kita perbedaan antara kesedihan dengan tangisan.

Menurut Al-Kindi (796-873M), seorang filosof Muslim, kesedihan yang menimpa kebanyakan manusia pada umumnya bukanlah sesuatu yang alami. Silakan ambil contoh sederhana. Apakah orang yang kehilangan harta benda miliknya atau gagal memperoleh sesuatu yang ingin dicapainya, pasti akan mengalami kesedihan…? Jawabannya, tentu tidak.

Bagi al-Kindi, jika orang yang kehilangan harta atau gagal meraih sesuatu, mau sejenak merenungkan kesedihannya secara mendalam, tentu akan memahami dan mengerti bahwa kesedihannya itu bukanlah sebuah keharusan. Apalagi jika kemudian dia menyaksikan banyak orang yang tidak memiliki harta tapi mereka tidak sedih, bahkan gembira dan bahagia, tak pelak lagi ia akan mengetahui bahwa kesedihan bukanlah hal yang niscaya, dan tentu tidak alami. Hal ini secara jelas menunjukkan bahwa kesedihan lebih merupakan “sikap mental kita menghadapi kondisi lingkungan”.

Pada contoh lain, kita juga akan memperoleh kenyataan di lapangan bahwa banyak orang yang mengalami kondisi kemiskinan namun ia tetap bahagia. Sementara di pihak lain, banyak sekali orang yang memiliki harta benda, bahkan hidup dalam kemewahan, namun tidak bahagia. Hal ini jelas menunjukkan bahwa kesedihan itu, sekali lagi, adalah “sikap mental dalam menghadapi sebuah kejadian atau peristiwa”. Jika jiwa (mental) kita kuat, tegar dan kokoh, maka kita akan tetap bahagia. Namun “mental tempe” akan selalu dirundung kekecewaan dan kesedihan.

Coba perhatikan dengan seksama, sebuah sudut pandang lain mengenai ke-tidak-alami-nya sebuah kesedihan, berikut ini…

Orang yang bersedih karena kehilangan harta benda atau kehilangan jiwa anggota keluarga, apakah mereka akan bersedih selamanya? Bukankah harta yang hilang biasanya tidak akan kembali? Bukankah keluarga yang hilang (wafat) juga tidak akan pernah dan tidak mungkin kembali lagi? Mengapa kesedihan yang mereka rasakan itu tidak berlangsung selamanya, sesuai dengan penyebab yang muncul?

Jika kita mau merenung sejenak, dan mengamati dengan cermat kondisi yang sering terjadi di tengah masyarakat yang mengalami kesedihan, dan mau mengamati sebab-sebab yang melatarbelakanginya akan terlihat bahwa musibah itu tidak langgeng, dan akhir dari musibah itu bukanlah kesedihan melainkan kegembiraan.

Pada sisi yang lain, kita mendapatkan pelajaran bahwa kesedihan adalah penyakit aksidental yang sama buruknya dengan penyakit fisik. Karena itu, dalam diri kita harus ada dan tumbuh kesadaran bahwa segala sesuatu di alam semesta ini tidak ada yang kekal. Semua makhluk bersifat sementara.

كل من عليها فان ويبقى وجه ربك ذو الجلال والاكرام

“Semua yang ada pasti akan musnah (hancur, lenyap). Dan yang kekal hanyalah Dzat Tuhanmu yang memiliki keagungan dan kemuliaan”. (Qs. Ar-Rahman, 55: 26-27).

Karena itu, jika segala sesuatu bersifat temporal yang sifatnya sementara, mengapa harus bersedih? [DR.H.Muhammad Iqbal Irham]

Share
Leave a comment