Al-Asabiyah Ibnu Khaldun dan ‘Calusnya Kopiah Lobok’
TRANSINDONESIA.CO – Ini cerita nyata yang enteng di @Masjid Al Mukmin Kelapa Gading Vespa, dekat rumah.
Sorot mataku tertuju pada sosok anak kecil, duduk bersila di shaf kedua.
Dia duduk biasa dengan posisi kepala separo tunduk, di sela jejalan jamaah tarawih mendengar taklim dengan khusuk. Pemuda kecil berbaju koko itu lumayan disiplin dengan indra dengarnya. Tak lasak ke sana ke mari.
Rambut mudanya dipangkas pendek ala ABRI (begitu sebutan orang Langkat untuk model rambut pendek rapi ‘cepak’ setengah inci). Tertutup kopiah bludru hitam yang agak longgar dan tingginya menyentuh alis mata.
Itu menyisakan sedikit panorama lugu, tersebab ukuran kopiah sekian inci lebih besar dari lingkar kepala, kuat dugaan setakat ruku’ atau sujud acap kali calus dari kepala. Calus bermakna lepas, seperti mur lepas dari baut, atau pedal sepeda calus dari tangkainya.
Kisah seberang
Memori meluncat ke status tahun 1970-an pada suasana temaram masjid tua dekat halte perlintasan sebidang rel kereta api jalur Medan-Brandan itu. Hanya lampu pijar tunggal terselip dekat senta di serambi masjid sederhana berbahan utama kayu di paya prupuk, Tanjungpura, Langkat, doeloe ibu negeri Kesultanan Melayu Langkat.
Masjid lama itu masih ada di seberang. Kini tak lagi temaram, sudah berparas kinklong dan pori-pori kayu dilapisi cat serba kuning. Warna menyala tampak segera dari halte.
Seberang? Ya. Orang pekan, sinonim sosiologis untuk warga penghuni kota mungil Tanjungpura, menyebut lepas area pekan sebagai seberang. Karena dipisahkan sungai Batang Serangan.
Ini sekilas soal bual-bual kumal yang tersisa di sudut memoria yang agak berjelaga, karena lama tak di sua. Ikhtiar esai ini dibuat untuk mengusap jelaga memoria menjadi tenaga “asaba”.
Dulu sebelum marak isu illegal logging, banyak rakit balok kayu dari hutan disimpan di sisi alur sungai. Rakit balok kayu itu dijadikan tempat ibu-ibu rumah tangga dan anak perempuan belia mencuci pakaian berember-ember, dan sekaligus episode berdarma wisata mandi-mandi sungai, biasanya hari ahad atau hari libur lebih ramai. Bonus informasi, banyak kawan saya jawara berenang menyeberangi arus sungai yang lumayan deras.
Setting sosial saat itu belum ada saluran air bersih “PAM” berbayar, yang pakai pompa air tanah juga cuman satu-satu. Belakangan ramai yang memakai mesin sedot merek sanyo. Dikenal dengan air sanyo. Betul kata Rudolf Mrazek, dalam bukunya “Engineers of Happy Land”, yang mengkaitkan teknologi dalam tata kota yang menjadi ciri cerita raut kota.
Karenanya warga masih biasa melakoni mencuci pakaian ke sungai yang airnya masih bersih, dan banyak anak udangnya.
Tak sendirian tetapi beramai-ramai. Malah sudah ada jadwal dan membuat janji lisan untuk mencuci bersama.
Seru sekali…, etalase rakit balok pun berfungsi ganda sebagai “media sosial” kaum perempuan kala itu. Inovasi sosial dari seberang. Yang menghasilkan benih solidaritas asli.
Pemandangan rombongan perempuan pencuci pakaian yang bersukaria dengan air sungai Batang Serangan yang hilirnya selat Malaka itu, agak tampak mencolok tatkala pejalan kaki dan pengayuh sepeda melewati titi (jembatan) penghubung area pekan dengan seberang itu. Kosa kata “pekan” dan “seberang” itu seakan dua setting sosial yang berbeda. Yang dipertautkan oleh “asaba”.
Al Asabiyah ala Ibnu Khaldun
Kembali ke Masjid al Mukmin Kelapa Gading Vespa. Sorot mataku tersenyum kala mencolo atraksi kopiah bludru hitam pemuda kecil itu, aku seperti menengok diri sendiri. Mencolo artinya melihat, sinonim menengok, dengan sekilas saja. Seperti sekilas mencolo para “pejuang” kebersihan sandang dari titi besi penghubung pekan dengan seberang.
Masa lalu begitu jauh, tak ada rute mudik ke sana, kenderaan yang tersedia cuma memori yang datang seketika ada pancingan suasana, warna, suara, bau, benda dan perkakas lain seperti takdirnya kopiah bludru hitam lobok itu.
Masa lalu juga mencipta solidaritas sosial berbasis kisah, kalau tak berlebihan menyebutnya sejarah. Itu sebabnya reuni dan mudik menjadi berwarna.
Kesamaan kisah ataupun sejarah adalah pengikat. Indonesia ada karena keserupaan sejarah yang menjadi ikatan kebangsaan bukan anasir sekat.
Seperti solidaritas sosial atau Al Asabiyah dari Ibnu Khaldun, kesamaan kisah atau sejarah menjadi pengikat. Setidaknya mengikat memori. Seperti istilah asabiyah dari kata “asaba” yang berarti mengikat. Karena manusia makhluk sosial, tulis penulis buku “Muqaddimah” yang dijuluki Bapak Sosiologi dan peletak filsafat sejarah yang lahir di Tunis, 1332 silam.
Duh Gusti Tuhan, siapa yang mengajarkanku mengikat memori begitu kuat menyimpan status postingan jadul, walau direkam tanpa akun dunia maya. Perkakas sempurna telah diberikan Tuhan Yang Maha Memelihara.
Terimakasih duhai pemuda kecil pemilik kopiah bludru hitam lobok, yang telah berjasa memelihara “asaba” untuk ingat kepadaNya.[Muhammad Joni]