“Membongkar” Kantor dan Larangan Pernikahan Sekantor

TRANSINDONESIA.CO – Pernah dengar lelucon sinis, “dilarang menikah dengan orang sekantor”? Sepertinya itu bukan cuma lelucon ikhwal menikahi dengan orang se(luruh) kantor.

Lepas dari lelucon atau kebenaran, hal itu membongkar kosa kata “kerja”, “kantor”, dan mengeritik asumsi relasi kuasa antara perusahaan dengan karakter pekerja.

Mengapa pagi-pagi orang pergi ke kantor? Untuk bekerja, tentu. Pergi “hijrah” memasuki dan larut ke dalam sistem dan kepatuhan aturan entitas perusahaan atau kedinasan. Melebur dalam “frekuensi kantor” dan terintegrasi dalam relasi kerja (publik), yang lugas berbeda dari relasi keluarga (domestik).

Kalau jawaban awam ke kantor untuk bekerja, atau bekerja musti ke kantor, itu artinya hadir fisik raga dan andalkan tenaga. Kini, orang profesional bisa bekerja dari bantuan perkakas serba teknologi (full technology).

Ilustrasi

Karakter kerja dan pekerja bergeser dengan dramatisnya “revolusi” teknologi informasi, serba terkoneksi dan meruahnya data raksasa (big data). Setiap tempat berfungsi sebagai kantor. Yang penting, tetap terkoneksi dengan “frekuensi kantor”, namun hasil dipetik dan target tercapai.

Corak pekerjaan kini bergeser dari mengandalkan hard skill, seperti mengetik, mengarsip, dan mengedit, kepada soft skill seperti kreatifitas, skill merancang project idea dan inovasi business model, jujur, simpatik, empati, mau mendengar dan tulus melayani klien/pelanggan.

Lantas apakah kantor kehilangan eksistensi dan fungsi ala konservatifnya? Jawabannya tentu saja tidak. Kantor adalah “pangkalan” kerja. Tempat merancang pekerjaan dan menuntaskan, tempat mengatur, bertukar siasah dan menggiatkannya. Kantor juga tempat kedudukan resmi alias domisili bagi badan hukum. Kantor adalah domisili hukum dalam kaitan lawyer dengan klien.

Selain ruang resmi unjuk kiprah, kantor adalah eksistensi korporasi sampai menunjukkan corak watak, ciri korporasi dan pilihan diferensiasi.Tak hanya itu, kantor menjadi  defenisi dan alibi faktual berseminya kepercayaan (trustee). Jika dimiliki sendiri, (ruang) kantor tak sebatas sebagai aset properti, namun perwakilan diri, yang menjadi “goa” inspirasi, sebagai medium eksplorasi-apresiasi yang dilakoni sebab dedikasi kepada profesi.

Acapkali (ruang) kantor menjadi oase atau tempat hening diam merenung dari keriuhan pekerjaan. Menjadi “pertambangan” inspirasi dan menggeliatkan apa yang disebut literatur dengan quite power : tenaga diam. Sesekali kantor menjadi lokasi mereguk manis-pahitnya “tuak” cinta dari bacaan bait syair dan puisi untuk merawat suasana hati. Merawat soft skill sekaligus soft power profesional/pekerja kreatif, yang menyertakan hati dan rasa cinta dalam kerja.

Di sisi lain, khittah kantor adalah garis pembeda yang tegas antara wilayah/urusan kantor dengan urusan non kantor. Tempat yang membedakan mana urusan pribadi/keluarga dengan urusan kedinasan.

Urusan kantor bersifat publik yang terikat dengan aturan dan sistem terpasang, sedangkan urusan pribadi yang bersifat privat. Karena itu, ke kantor berarti pergi “hijrah” memasuki sistem dan terikat aturan. Namun bukan berarti “pergi ngantor” dan “terkoneksi kantor” menjadi proses “sekularisasi” urusan kantor dari dimensi rasa ruhani dan kata hati, meninggalkan sisi manusiawi dan menafikan cinta dalam karya kerja.

Malah itu pertimbangan dalam timbangan pekerjaan.
Benar, kantor menjadi “pangkalan” kerja yang mematuhi aturan dan sistem yang dianutnya, walau di sana tersisip pertemanan sosial, atau pertautan sosialita, pertemalian alumni sekolah, bahkan jalinan benih cinta kasih. Sulit ditampik tersisipnya pertautan sosial atau network yang acap tak terendus dalam kantor, lantas mengapa ikatan pernikahan menjadi persoalan bahkan larangan?

Mari periksa, akankah kepatuhan aturan terusik dan jalannya sistem bisa diinterupsi dengan pertautan sosial, atau hubungan emosional seperti ikatan pernikahan? Ataukah ikatan pernikahan dianggap mematikan denyut “frekuensi kantor” dan kepatuhan aturan dan sistem terpasang? Akankah ikatan pernikahan sekantor dipandang seperti perkoncoan, dan dianggap “anti sosial” bagi korporasi yang mesti dihindari?
Celakah ikatan pernikahan sekantor bagi kepentingan korporasi? Inflasikah integritas seseorang kala ikatan pekerjaan bertemu dengan ikatan (suci) pernikahan dalam satu perusahaan? Misi esai ini hendak “membongkar” basis moral larangan pernikahan sekantor!

Ikatan Pernikahan Vs Ikatan Pekerjaan
Kembali ke lelucon sinistis “dilarang menikah dengan orang sekantor?” Rupanya, ada aturan yuridis normatif yang implisit melarang pekerja (karyawan) terikat dengan ikatan pernikahan dalam satu perusahaan.

Kalau misalnya si Tika dengan si Febriko tengah memadu cinta kasih yang bekerja dalam satu perusahaan kedai kopi bermerek “Setar”, muluskah langkah menuju ikatan suci pernikahan? Mestikah salah satunya bersiap mundur teratur dari perusahaan?

Jika pasangan itu nekat melangsungkan ikatan pernikahan, moral apakah yang tegak membentengi perusahaan menjatuhkan hukuman pemutusan hubungan kerja (PHK). Seakan, menikah dan bekerja dalam satu perusahaan dianggap perbuatan “anti sosial” yang menjadi alasan menjatuhkan PHK.

Sekuat apakah ratio legis yang menjadi acuan terbitnya norma ikatan pekerjaan versus ikatan pernikahan? Akankah itu hanya spekulasi atau halusinasi yang ketinggalan zaman? Jika bagian awal esai ini mengokohkan paradigma bahwa kantor idemditto perusahaan adalah pangkalan kepatuhan aturan dan sistem kerja, patutkah mencurigai ikatan suci pernikahan sekantor merongrong aturan dan sistem berbasis ikatan pekerjaan?

Patut membongkar dan mengajukan pertanyaan paradigmatik, apakah pernikahan sekantor menjadi ancaman frontal terhadap sistem, apakah itu dikategorisasi kelakuan “anti sosial” sehingga mengancam kepatuhan aturan? Jika beberapa pekerja/karyawan akhirnya berlabuh dengan “takdir indah” hubungan suci pernikahan, apakah takdir cinta pantas menjadi tertuduh biang rusaknya kepatuhan aturan dan “subversif” pada sistem perusahaan?
Ontahlah! Karena belum teruji dalam kasus konkrit, belum pula terbukti sebagai sebab akibat langsung alias causal verbant terciderainya sistem dan kepatuhan aturan perusahaan.

Jangan-jangan itu halusinasi tanpa bukti yang bersumber dari hoyong akal pemilik modal.

Dalam hukum, tak boleh ada tempat norma yang berasal dari spekulasi apalagi halusinasi. Jangan pula karena nafsu hegemonik dalam relasi kuasa antara pemilik kapital yang menindas inferior pekerja. Ajaran Al Quran mengajak mengikuti syariat (peraturan), jangan megikuti hawa nafsu [Al Jatsiyah (45):18]. Austin menyebut hukum itu “norm and logic”. Artinya, norma yang tak logis kehilangan kesahihan atau validity.

Namun ikatan pernikahan pekerja/karyawan dalam satu perusahaan mencuat menjadi persoalan hukum yang unik-menarik. Apalagi disoal sampai ke Mahkamah Konstitusi (MK) oleh 8 orang karyawan PT. PLN (Persero) yang nota bene Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Diskursusnya melampaui batas norma yuridis formal tetapi yuridis konstitusional. Perkara Nomor 13/PUU-XV/2017 itu bisa menjadi titik masuk membongkar defenisi/kosa kata “bekerja”, “kantor”, “perusahaan”, dan rekonstruksi ikatan pernikahan versus ikatan pekerjaan.

Kua normatif, UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Naker) masih menormakan larangan menikah satu perusahaan (sekantor), walaupun berkilah dengan jurus pengecualian. Ikatan pernikahan tidak boleh dikenai PHK, kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.

Mari menelaah Pasal 153 ayat (1) huruf f UU Naker yang berbunyi: “Pengusaha dilarang melakukan pemutusan hubungan kerja dengan alasan: (f) pekerja/buruh mempunyai pertalian darah dan atau ikatan perkawinan dengan pekerja/buruh lainnya di dalam satu perusahaan, kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama”.

Bagaimana mendekonstruksi norma seperti itu? Norma Pasal 153 ayat (1) huruf f UU Naker itu beraroma ketidakpastian norma, alias bertentangan norma induk dengan norma turunan. Seperti saling menafikan. Di satu sisi adanya norma larangan PHK karena ikatan perkawinan dengan pekerja lain, namun dengan Undang-undang itu pula diberikan pengecualian jika ada perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama. Larangan PHK seperti itu menjadi halal.

Tujuh Argumentasi
Pembaca. Kalaupun norma pengecualian itu biasa dalam Undang-undang, tetapi normanya mestilah setara. Mengapa norma Pasal 153 ayat (1) huruf f UU Naker yang bersifat publik dan mengatur kepentingan publik justru mengalah dan kalah kepada norma perjanjian yang bersifat perdata.

Menjadi diskusi yang menarik mempertanyakan apakah setara antara Undang-undang dengan isi perjanjian. Bukankah norma perjanjian yang berasas konsensus dan pacta sunt servanda mesti bersesuaian dan patuh dengan norma Undang-undang. Itu argumentasi pertama.

Argumentasi kedua, aturan itu seakan hendak menurunkan derajat ikatan pernikahan yang mesti kalah dan dikalahkan dengan ikatan pekerjaan, apabila kedua lembaga atau ikatan itu bersintuhan dalam satu perusahaan. Padahal belum tentu pekerja/karyawan dan karyawati yang terikat dalam pernikahan berpotensi merugikan perusahaan, karena soal itu sangat spekulatif dan tanpa pengujian.

Belum teruji dan terbukti dengan causal verbant dalam kasus konkrit. Kalau in concreto tidak ada kasus dan tidak ada kerugian perusahaan, untuk apa “menghukum” PHK tanpa kasus, kesalahan dan kerugian? Mengapa ketentuan macam itu tak berlaku bagi pegawai negeri sipil, yang justru mengurusi kepentingan pemerintah? Bukankah urusan dan kepentingan pemerintah tidak kalah penting dari urusan perusahaan.

Belum tentu ikatan pernikahan itu lebih bersiko bagi perusahaan dari pada ikatan kekerabatan, ikatan “kekitaan”, ikatan kesamaan asal daerah/kampung halaman, kelab perkawanan, atau pertalian kesamaan minat dan hobi, atau malah ikatan/asosiasi profesi resmi. Ringkas kata, ikatan pernikahan setidaknya bersifat netral dari praduga “mengiterupsi” kepatuhan aturan perusahaan.

Argumentasi ketiga, kalau dalam konstitusi UUD 1945 diakui hak untuk membentuk keluarga (Pasal 28B), hak perlindungan hukum (Pasal 28D ayat 1), dan sekaligus hak bekerja (Pasal 27 ayat 2) serta hak sejahtera lahir batin (Pasal 28H ayat 1), mengapa lembaga pernikahan dibiarkan begitu saja tanpa perlindungan hukum dalam belantara norma UU Naker? Adanya inkonsistesi norma dalam Pasal 153 ayat (1) huruf f UU Naker beralasan menguji konstitusionalitas norma UU Naker dengan UUD 1945.

Argumentasi keempat, selain beraroma ketidakpastian hukum, tidak ada ratio legis dan penjelasan yang dapat dipetik dari norma Pasal 153 ayat (1) huruf f UU Naker. Jika ditelaah lebih lanjut alasan PHK karena ikatan pernikahan dalam satu perusahaan atau sekantor sangat subyektif dan spekulatif, dan tanpa pengujian obyektif. Artinya, norma itu beranjak dari syak wasangka kepada pekerja/karyawan, bukan faktual dengan bukti konkrit dalam peristiwa konkrit. Mestinya, alasan PHK yang adil dan memiliki basis moral adalah adanya kesalahan, bukan adanya ikatan pernikahan.

Argumentasi kelima, untuk perusahaan besar dan berskala nasional, kantornya tersebar dan tidak berada dalam satu tempat atau satu ruang saja, yang mencakup hampir seluruh wilayah Indonesia bahkan luar negeri. Kalaupun berada dalam satu kantor tentu tidak bisa leluasa saling berkonco untuk curang yang diduga merugikan perusahaan, karena lebarnya sayap-lini usaha, divisi atau bagian perusahaan. Resiko atau tepatnya praduga keliru itu bisa diatasi dengan aturan dan sistem terpasang.

Argumentasi keenam, norma Pasal 153 ayat (1) huruf f UU Naker itu kehilangan konteks moral hukumnya, dan jauh dari realitas tangguhnya perusahaan menjaga sistem dan aturan. Rupaya, aturan larangan bekerja satu perusahaan (sekantor) dalam ikatan pernikahan itu masih mempercayai dogma salah bahwa pekerja/karyawan diasumsikan praduga “curang” kepada perusahaan. Bukan praduga setia, seperti dalam ikatan perkawinan.

Praduga “curang” ini mungkin saja berakar dan berasal mula dari sisa-sisa kultur kerja paksa dalam era kolonial yang mengasumsikan buruh atau kuli sebagai pecundang yang bekerja curang kalau tidak dipaksa. Norma Pasal 153 ayat (1) huruf f UU Naker itu masih saja terselip asumsi pekerja sebagai “lawan” dari pemilik modal, padahal mesti total mengasumsinya aset dan sumber daya.

Argumentasi ketujuh, perkembangan dan kemajuan saat ini yang merubah drastis defenisi “masuk” kantor dan menjalankan kerja, merombak cara bekerja dan pola hubungan kerja. Serta mulai berubahnya karakter perusahaan dari kepemilikan (owning) menjadi kerjasama (sharing) sehingga mengubah pola relasi kerja. Sebab itu, tak elok berlama-lama dengan kekeliruan memahami zaman, dengan membiarkan norma relasi kerja yang usang.

Seperti relasi kerja pemilik mobil/motor dalam pengusahaan taksi/ojek online dengan perusahaan aplikasi taksi/ojek online, telah merubah makna, defenisi dan kosa kata perusahaan.
Dalam “revolusi” pola relasi pekerja dan perusahaan sekarang ini, dimana pekerja lebih mengandalkan soft skill, watak (attitute), kuat komitmen-dedikasi pada profesi/pekerjaan, maka sudah perlu mengucapkan selamat tinggal kepada norma yang kehilangan basis moral, inkonsisten, praduga “curang” dan praduga “menginterusi” kepatuhan aturan jika ada pernikahan sekantor.

Dengan demikian terlalu berlebihan dan malah keterlaluan jika masih menghidupkan norma PHK pada pekerja yang terikat pernikahan dalam satu perusahaan. Norma itu sudah tidak valid lagi dan pantas ditinggalkan. Kebanggaan apa hendak diraih mempertahankan larangan usang tak beralasan? Pernikahan sekantor, jangan takut!
Oleh: Muhammad Joni – Ketua Masyarakat Konstitusi Indonesia (MKI).

Share
Leave a comment