Belajar dari Aksi Bela Islam: Pemimpin Otentik Dipatuhi dan Diikuti Tanpa Bunga [1]

TRANSINDONESIA.CO – Membelalak. Itu satu kata yang bisa mewakili gambar besar peristiwa aksi demokrasi, tatkala mata dunia terbuka dan pers internasional terhenyak menyaksikan aksi bela Islam 212.   Yang faktual dan historikal dengan  bergeraknya sekitar 7 juta umat Islam Indonesia menyatakan pendapat dengan super damai.  Sungguh, itu pelajaran demokrasi yang indah dan spektakuler.

Paling mutahir aksi 55 yang aspirasinya menghendaki  eksisnya keadilan dalam penegakan hukum atas penistaan agama.  Idemditto,  itu adalah suara rakyat yang otentik yang dalam tiori politik disetarakan dengan bahasa alegoris sebagai “suara Tuhan”. Kalau itu diyakini ilmu politik dan pandangan univeral sebagai “suara Tuhan”, lantas apa argumentasi absurd menyebutnya politik aliran yang (dikesankan) tak toleran.

Sekadar catatan,   dalam berbagai fakta kontestasi pilkada mutahir, termasuk Jakarta, dapat dipetik pelajaran bahwa suara rakyat yang  otentik, tak bisa dihambat-hambat. Tak mempan dengan opini negatif yang diciptakan, karena kesadaran rakyat sudah pandai membedakan citra “seakan-akan” dengan kenyataan penggusuran. Takkan luluh dengan bungkusan sembako dadakan, karena suara rakyat lebih agung dan menghendaki gubernur baru yang membangun kota membahagiakan warga.

Muhammad Joni saat Aksi Bela Islam II, Jumat 4 Nopember 2016.[MET]
Hal itu membuktikan dua hal yang saling berkelindan. Pertama  politik citra telah tergerus, kempes dan ditinggalkan pemilik suara. Kedua, kesadaran rakyat terpantik, bangkit dan terkelola melawan antitesis bersama:  ketidakadilan!

Tersebab itu, rakyat paham bahwa menyatakan pendapat dan unjuk rasa dalam bingkai demokrasi itu bukan tabu, apalagi dituding dengan beragam alasan tak bermutu sebagai anti kebhinnekaan. Menyatakan pendapat itu mulia, menyehatkan negara dan dijamin konstitusi.

Pelajarannya,  jangan anggap enteng rakyat idemditto umat termakan framing opini,  dan dengan begitu saja menterlantarkan suaranya. Kesadaran mereka  bangkit mengoreksi ketidakadilan. Yang membuatnya terdidik ikhwal kebebasan berpendapat sebagai varian hak politik, karena Politik itu kini dipahaminya mulia dan bertenaga menjaga cita-cita Indonesia.

Hak politik yang konstitusional dan dijamin hukum itu tak boleh dihambat. Pemerintah, parlemen dan yudikatif mesti menghargainya.   Bahkan Pemerintah dan Polri, mesti memfasilitasi kenyamanan dan keamanan bagi rakyat melaksanakan hak demokrasi itu.  Jangan lah pula malah menghambatnya, apalagi tergopoh menjatuhkan tuduhan kriminalisasi.

Hak kebebasan berpendapat itu sari pati demokrasi,  yang keduanya tak boleh dipisahkan dan berdalih membuat cap pengusungnya dianggap intoleran.

Tak ada alasan yang sahih menegasikan kebebasan berpendapat, menyalurkan aspirasi, dan sangat amat tak beralasan jika tanpa dasar yang sahih menyebutnya sebagai makar, atau tindakan tak berguna. Terbuka dan sehatnya saluran kebebasan berpendapat,  malah bagian dari mendewasakan demokrasi. Karena  dilakukan dengan damai, tertib dan otentik alias datang murni dari perasaan keadilan rakyat.  Bukan rekayasa, membiayai sendiri, malah berlomba berinfak. Tanpa embel-embel lainnya yang mencirikan kebencian dan intoleran.

Muatan moral  yang digemakan ulama, kiai, habaib, ustadz dalam aksi umat Islam idemditto rakyat itu, persis seperti realitas sosial dan suasana kebatinan rakyat menyokong perjuang kemerdekaan era melawan penjajahan. Dengan takbir dan teriak merdeka.

Belajar dari sejarah,  bahwa pemimpin  lahir dari kawah perjuangan dan dakwah, bukan dari pesanan pemodal ataupun trah dinasti politik. Menjadi pemimpin otentik yang  turun berjuang bersama dengan warga/umatnya, yang tabah dari cobaan dan ragam tekanan,  walau tanpa sanjungan kiriman karangan bunga.

[Muhammad Joni, Ketua Masyarakat Konstitusi Indonesia (MKI)]

Share
Leave a comment