Sengkarut DPD: Yudikatif Mesti ‘Build In’ dengan Kekuasaan Penegakan Hukum, Jika Tidak…

TRANSINDONESIA.CO – Masa jabatan separoh jalan sebagai pimpinan DPD menjadi perebutan?  Biangnya ikhwal tata tertib (tatif) yang dibuat sendiri  mengatur masa jabatan pimpinan DPD 2,5 tahun.

Lantas, aturan tatif DPD itu diajukan judicial review ke Mahkamah Agung (MA) oleh sejumlah senator.

Putusannya? MA membatalkan tatif yang mengatur masa jabatan Pimpinan DPD selama 2,5 tahun. Artinya, tidak mengikat norma masa jabatan pimpinan DPD selama 2,5 tahun.

Jadi, yang sah dan mengikat sebagai aturan hukum masa jabatan pimpinan DPD adalah 5 tahun. Kelop dengan UU MD3.

Muhammad Joni

Tersebab itu, tidak sah jika masa jabatan pimpinan DPD 2,5 tahun, dalam bentuk apapun aturan tatifnya. Baik tatif lama atau tatif perubahan yang baru,  apalagi yang dibuat seketika.

Walaupun putusan MA atas perkara judicial review itu adalah putusan majelis hakim yang mengadili perkara konkrit Permohonan Uji Materil (PUM) yang masuk ke dalam kamar tata usaha negara di MA, namun putusan itu mengikat dan mesti dihormati ketiga aras kekuasaan: eksekutif, legislatif dan yudikatif.

Pembaca yang bersemangat, kaum pelajar hukum mengajarkan bahwa hukum itu logis dan sistemik,  selain itu juga normatif. Pun demikian hukum mesti konsisten dengan asas serta norma lebih tinggi. Kalau tidak, aturan hukum akan kehilangan validity-nya, seperti yang diajarkan Hans Kelsen yang membedakan validity (keabsahan) dengan keberlakuan (efficacy). Walaupun acap diklaim secara formil keberlakuannya,  namun nihil validity. Hukum sedemikian kehilangan ruh dan acap tidak efektif yang membenuhkan skeptisisme sosial dan bahkan tindakan main hakim sendiri.

Pakar lain menyebutkan, hukum bukan penjumlahan aturan tanpa ruh dan norma tak berbentuk atau saling menegasikan. Ada rasio legis dan ada objektifitas selain normatif dalam hukum. Austin menyebutnya sebagai ‘norm and logic’.

Jika dibedah dengan ikhwal yang paling asas, negara Indonesia adalah negara hukum (rechts staat) bukan negara kekuasaan (machtstaat).

Karenanya, kekuasaan tak bisa semena-mena pada hukum. Hukum yang memiliki “ruh” etik dan keadilan,  bukan “benda mati” yang bisa dianiaya begitu saja.

Kekuasaan legislatif dalam segala bentuk dan turunan tindakannya tak boleh menafikan keputusan kekuasaan yudikatif.

Dalam kasus konkrit, putusan PTUN yang dikukuhkan MA dan bersifat final, misalnya ikhwal reklamasi, tak patut jika diabaikan dan malah bertentangan dengan putusan MA.

Putusan MK yang membatalkan norma ayat satu UU tak boleh disiasati dengan norma baru yang dikemas dalam UU baru, apalagi menegasinya seperti jurus mengajukan RUU Pertembakauan yang hendak negasikan ayat pengendalian tembakau dalam UU Kesehatan dan berbagai putusan MK terkait  rokok. Agar hukum nyata-nya berdaulat. Demi nyata adanya negara hukum.

Malah mestinya kekuasaan yudikatif diberikan pula kekuasaan melaksanakan dan mempertahan keputusannya. Itu sepatutnya ‘build in’ alias setarikan nafas pada kekuasaan yudikatif.

Jika tidak, yudikatif dikuatirkan bisa gagal mengefektifkan pembagian kekuasaan yang tuntas dan konsisten.

Di sisi lain, kekuasaan eksekutif maupun legislatif serta yudikatif yang sudah terbagi itu yang jika berjalan akan menghasilkan ‘check and balances’, mesti saling hormat dan patuh.

Sehingga tak ada lagi putusan MA yang diabaikan eksekutif ataupun legislatif. Apalagi menegasikannya dan membuat jurus yang seakan aturan yang kua formil diklaim sah, padahal kental dengan penggunaan kekuasaan yang minus validity yang merupakan syarat norma hukum. Norma yang sedemikian itu kuat sekali aroma kekuasaan,  seakan mengabdi kepada machstaat.

Hukum yang efektif yang dipatuhi kekuasaan, mampu menghindari apa yang dikenal dengan pembangkangan sipil (civil disobidience) dan skeptisisme sosial pada hukum.

Penulis: Muhammad Joni [Ketua Masyarakat Konstitusi Indonesia (MKI)]

Share
Leave a comment