Culture of Poverty dan Demokrasi Yang Terluka
TRANSINDONESIA.CO – Megawati Soekarnoputri telah menyerang SBY pada tahun 2008 dengan menuduh SBY mengajari dan mempertahankan mental budak bagi kaum miskin, karena SBY pada masa itu membagi bagikan uang BLT kepada orang orang miskin. Pas menjelang pemilihan presiden. Kritik Megawati ini dapat dipahami karena salah satu penghinaan terhadap orang miskin adalah menebalkan budaya kemiskinan itu pada orang orang miskin.
Namun, hari hari ini kita melihat dengan kasat mata, orang orang miskin diberikan sembako murah disentario Jakarta seperti kasus BLT itu. Di kampung kampung kumuh miskin kota Jakarta berseliweran orang orang yang bahkan, sebagiannya, terang terangan dikawal aparat keamanan, menistakan orang orang miskin untuk mendapatkan sesuatu santunan seperti pengemis. Megawati ternyata diam saja. Kenapa?
Mengapa rendahnya derajat kaum miskin dimata orang orang kaya yang haus kekuasaan? Mengapa orang-orang miskin rela menunjukkan kemiskinan dan kebodohannya di kota besar dunia yang bernama Jakarta?
Budaya Kemiskinan
Oscar Lewis dalam studi kemiskinan di daerah miskin kota (slum area) San Juan Mexico dan Newyork USA 50 tahun yang lalu, dengan sample keluarga Puerto Rico yang berhubungan family, menemukan teori yang dikenal sebagai “Culture of Poverty” (Budaya Kemiskinan). Teori ini mengetengahkan bahwa budaya kemiskinan itu lebih berbahaya dari kemiskinan itu sendiri.
Kemiskinan adalah sebuah kondisi serba kekurangan. Namun, budaya kemiskinan adalah jiwa yang kalah. Lewis menyebutnya “has strong feeling of fatalism, helplessness, dependence and inferiority”. Orang orang miskin ini kesadarannya hancur sejak semasa kanak kanak dan tumbuh dewasa menyadari bahwa kemiskinan itu memang sudah takdir mereka. Mereka hidup untuk menjadi miskin dan meneruskan siklus kemiskinan pada generasi mereka.
Pikiran Lewis ini melengkapi para kaum strukturalis yang selalu melihat kemiskinan dapat dipecahkan melalui reformasi struktural, yakni meningkatkan penghasilan dan kepemilikan asset orang miskin. Namun, ternyata mental orang orang miskin merupakan persoalan besar juga yang harus ditangani.
Budaya Kemiskinan adalah nilai dan jiwa. Orang orang miskin banyak pula yang tidak dihinggapi budaya kemiskinan. Karena pada jiwanya tidak dihinggapi rasa kalah terhadap nasib dan rasa inferior sebagai makhluk sosial.
Bagaimana bisa menghilangkan budaya kemiskinan? Hal ini, menurut Lewis, antara lain, bisa dilakukan jika pengintegrasian kaum miskin pada sistem sosial yang bermartabat dan diupayakan terus menerus. Sehingga keberartian diri dan spirit pembebasan pada diri orang miskin terjadi.
Sebaliknya, jika orang miskin diperlemah dengan pengasingan (alienasi) dari sistem sosial yang lebih besar atau di diskriminasi, maka mereka semakin susah keluar dari kemiskinan itu. Pemberian sembako sebagai suap pada pilgub, adalah contoh buruk tersebut.
Demokrasi yang Terluka
Cara cara keji dengan membagi bagi sembako, sekali lagi, kasat mata oleh kelompok dominan (secara ekonomi) pada pilgub DKI saat ini. Orang orang miskin disuap untuk memilih dalam pilkada. Mereka akan semakin terjebak dalam budaya kemiskinan. Semua berlangsung seolah olah demokrasi dan suap itu sesuatu yang normal.
Lalu untuk apa demokrasi itu diadakan?
Dalam konteks sistem politik, demokrasi dan pemilihan (gubernur) itu dimaksudkan untuk menemukan pemimpin terbaik dengan metoda terbaik. Namun, lebih jauh dalam konteks pemberantasan kemiskinan, demokrasi itu dipercaya mampu menumbuhkan martabat orang orang miskin, karena mereka diberikan hak yang sama dengan orang orang kaya untuk menemukan pemimpinnya.
Dan pemimpin yang baik itulah yang akan membantu mereka secara bersama sama keluar dari jebakan kemiskinan. Pemimpin yang baik akan mengintegrasikan mereka dalam kultur yang lebih besar dan bermartabat.
Sayangnya saat ini, di ibukota, sebuah tempat teladan bagi semua kota kota di Indonesia, demokrasi sudah dikhianati. Dihancurkan. Manusia manusia miskin disogok secara terang terangan.
Demokrasi menjadi luka. Luka sebagai sistem politik dan luka karena menghina orang miskin. Untuk apa mereka penghancur penghancur demokrasi itu bagi orang miskin? Jika mereka berkuasa dan menang?
Besok warga Jakarta akan memilih. Lusa Mike Pence, wakil presiden negara adidaya, Amerika, yang dulu mengekspor demokrasi pada kita, akan mendarat di ibukota Jakarta. Kita sudah mempertontonkan kedunguan kita sebagai sebuah bangsa. Bangsa yang menista orang miskin dan bangsa yang menista demokrasi. Kini Demokrasi terluka….
[Dr. Syahganda Nainggolan -Sabang Merauke Circle]