Literasi Properti, Mulai dari MBR
TRANSINDONESI.CO – Esai ini hendak membangkitkan energi optimisme. Literasi properti/perumahan menjadi keniscayaan dalam industri perumahan yang sanggup mendorong 174 industri turunan.
Itu kalimat penutup esai sebelumnya, yang hendak meletupkan gairah betapa berpeluangnya industri ini dengan mencerdaskan konsumennya.
Keniscayaan literasi properti/perumahan itu mengalir sebagai kosa kata baru yang mesti mulai digemakan. Tak lain demi kemajuan pembangunan perumahan, baik perumahan komersial maupun perumahan rakyat yang merupakan kata sinomin pemenuhan hak bermukim yang melekat sebagai kewajiban konstitusional pemerintah versi Pasal 28H ayat (1) UUD 1945.
Agaknya tak berlebihan jika literasi properti/perumahan tak hanya hadir sebagai kosa kata baru dalam khazanah industri properti/perumahan, namun menjadi kemestian yang dilakoni segenap pelaku pembangunan perumahan untuk mendewasakan industri ini.
Tengoklah sejenak saja, tatkala kita mengenali lembaga independen baru bertitel Otoritas Jasa Keuangan dan kosa kata Otoritas Jasa Keuangan dengan akronim OJK yang berikhtiar meluaskan literasi keuangan.
Dari laman situs resmi OJK, sebelumnya survei tahun 2013 indeks literasi keuangan hanya 21,84%, namun awal tahun 2017 ini OJK merilis hasil survei tahun 2016 bahwa indeks literasi keuangan meningkat menjadi 29,66%. OJK membedakan literasi keuangan atas 4 kelompok: well literate, sufficient literate, less literate, dan not literate.
Artinya, untuk urusan industri jasa keuangan sekalipun masih memerlukan ikhtiar keras menaikkan indeks literasi keuangan. Sebagai jalan agar individu meningkat kualitasnya dalam pengambilan keputusan keuangan dan perubahan sikap dan perilaku individu dalam pengelolaan keuangan menjadi lebih baik (vide Peraturan OJK No.76/POJK.07/2016).
Bagaimana dengan literasi properti/perumahan? Jangan pula syak wasangka karena semakin tingginya kualitas individu konsumen dalam pengambilan keputusan dengan informasi dan pemahaman yang baik, termasuk dalam hal ikhwal perumahan rakyat untuk MBR, tidak akan membuat relasi konsumen dan produsen menjadi timpang.
Tidak pula dimaksudkan merongrong wibawa otoritas pembuat kebijakan penyedian rumah bersubsidi, kebijakan pembiayaan rumah MBR, bantuan PSU dan berbagai fasilitas yang disediakan Pemerintah.
Walaupun demikian, tak elok pula pembuat kebijakan atau eksekutif berangkat dengan asumsi bahwa kebijakan rumah bersubsidi itu adalah “anugerah” atau jasa baik hati Pemerintah kepada MBR tetapi sebagai kewajiban Pemerintah. Di sisi lain, tidak tepat jika pembuat kebijakan merasa tidak penting melibatkan umpan balik dan aspirasi aseli MBR.
Padahal, urusan perumahan rakyat yang merupakan kewajiban konstitusional Pemerintah tidak boleh dilepaskan dari aspirasi MBR itu sendiri, misalnya regulasi dalam hal cara penyaluran PSU, kualifikasi pendapatan MBR penerima FLPP, pembiayaan alternatif selain KPR formal bagi MBR non formal dan pendapatan tidak tetap. Termasuk pula apa kebutuhannya mengenai bentuk rumah dan teknologi serta rancang bangun yang ramah lingkungan.
Paragraf di atas hendak mengatakan, bahwa Pemerintah jangan berpikir sepihak seakan MBR tidak memiliki “mandat” dan tak mampu berpikir mengeritisi kebijakan serta abai dalam mencari informasi sempurna ikhwal kebijakan perumahan dan memberi umpan balik yang kritis perihal pembangunan rumah bersubsidi.
[Muhammad Joni – Ketua Masyarakat Konstitusi Indonesia (MKI), Sekretaris Umum Housing and Urban Development (HUD) Institute, Ketua Dewan Pembina Lembaga Perlindungan Konsumen Properti dan Keuangan (LPKPK), Managing Partner Law Office Joni & Tanamas]