Otonomi Tubuh Sendiri?

TRANSINDONESIA.CO – Saat di Madinah, aku sungguh tiada daya melawan hawa dingin 11 derjat, yang masih menerobos 4 lapis baju membalut tubuh.  Nyatanya aku tak mampu naikkan separo derjat pun suhu tubuh sendiri. Tak otonom pada tubuh sendiri.

Apakah seseorang yang dengan “sadar” dan seakan hak otonom memutuskan merokok?  Dengan atraksi separoh refleks menitipkan sebatang rokok sembilan senti di antara dua lapis bibir miliknya sendiri, menghisap nikotin dan asap dengan organ mulut miliknya sendiri, dan menghembuskan asap ke udara umum  dari mulut dan hidungnya sendiri. Sementara orang sekitar tersiksa dengan status passive smokers?

Itukah maksud kalian ihwal otonomi terhadap tubuh milik sendiri?

Penulis, Muhammad Joni.[IST]
Penulis, Muhammad Joni.[IST]
Sementara daku tak berdaya menolak kehadiran sebiji kecil kutil di pundak. Tak kuasa kendalikan percepatan tumbuhnya kuku dan rambut. Tadak pernah sanggup mengatur dan mengendalikan bekerjanya jantung memompakan darah sepanjang hidup. Mustahil sanggup mengajari ataupun memaksa perubahan ritme atau sistem kerja  paru-paru menyimpankan udara pembawa oksigen, dan menghembuskan lagi udara sisanya ke luar tubuh.

Kita pun tak sanggup mengajari mata melaporkan warna warni gambar hidup panorama dan suasana. Patik pun tak pula berdaya-kuasa untuk tetap leluasa memandang terang ketika membaca teks posting ini tanpa partisipasi sepenuh hati sang kacamata baca.

Menafikan hukum Tuhan, aasihkah pongah dan tergopoh mengatakan  setiap personal individu otonom terhadap tubuhnya sendiri?

Ciderai organ dan angauta  tubuh yang begitu bernilai, unik, canggih dan sempurna ciptaan-NYA.  Kebanggaan apa hendak diraih mengusung pikiran absurd  otonomi terhadap tubuh sendiri?  Berdalih kelakuan itu sahih bermerek HAM yang kua medis-klinis justru tak  berguna sama sekali, malahan menciptakan “penyakit” bagi tubuh diri, serta  tubuh diri-diri lain selain dirinya sendiri?

Pun demikian, ihwal penyakit itu tak hanya “menyerang”  sistem tubuh yang dipinjamkan kepada diri sendiri,  tetapi juga lingkungan sosial, bahkan lingkungan moral dan keseimbangan mental. Rupanya perihal  takrif sehat vis a vis sakit, tak hanya term medis dan klinis, tetapi bertemalian erat  dengan term sosial, lingkungan, etika-moral dan mental.

Ternyata,  aku masih samar dan butuh pencerahan ihwal kedokteran sosial dan etika medis,  walau sempat menghadirkan ‘Filsafat Kedokteran’ versi Hendrik R. Wulf MD di hadapanku ini.

Siapa lagi yang tergopoh menggunakan dalih otonomi terhadap tubuh sendiri? Dan, seakan menafikan Allahu Rabb,  Yang Maha Kuasa dan Maha Pengatur Hidup.[Muhammad Joni]

Share