Benihkan “Hope” Perumahan Swadaya: Jangan Setengah Hati, Please!

TRANSINDONESIA.CO – Harapan maju bisa terbit di lingkungan mana saja, tergantung geliat bijak manusianya. Mengapa sinis dan malas memperbarui slum area?

Mengapa tidak menjadi slum of hope yang siap bangkit jika diberdayakan. Asumsi perumahan swadaya digiatkan di tengah fakta rumah tidak layak huni (RTLH) dan kawasan kumuh, akankah bandul kebijakan mengungkitnya menjadi harapan, atau beban?

Majalah Slum of Hope mencuplik kisah film Slumdog Millionaire, yang mengambil latar sosial kota gubuk (shantytowns) Mumbai, tak hanya menceritakan pahlawan datang dari bawah tetapi juga belajar dari kumuh.

Bukan hanya dari sekolah dan ketersediaan modal. Pun, warga miskin kota disegani sang Hernando de Soto karena potensi kapitalnya, walaupun masih banyak mengendap sebagai “kapital mati” (death capital).

Rumah adalah hak dasar dan takdir manusia adalah makhluk bermukim. Kalaupun pemerintah berduit, menyiapkan fasilitas pembiayaan perumahan, tabungan perumahan rakyat, dan berorientasi kerja, toh tak mampu sediakan utuh seluruh perumahan MBR.

Ilustrasi
Ilustrasi

Kebutuhan rumah MBR tak seluruhnya bisa diatasi dengan rumah formal yang dibangun pelaku pembangunan, namun digiatkan sendiri dengan upaya mandiri dan swakarsa.

Tengoklah profil perumahan rakyat, siapakah pelaku pembangunan dan penghuniannya? Lebih dominan perumahan swadaya yang diupayakan sendiri, bukan perumahan formal yang dibangun badan hukum dan dibeli dari pasar formal perumahan.

Kemana Bandul Kebijakan Mengayun?

Faktanya, reproduksi regulasi dan deregulasi mendukung pembangunan perumahan namun cenderung rumah formal. Misalnya mandat penugasan Perum Perumnas dengan PP No.83/2015, terbitnya PP No. 64/2016, termasuk segera dibentuknya bank tanah (land banking) dan bahkan kota baru publik.

Bagaimana dengan regulasi perumahan swadaya? Cukupkah hanya dengan Permen PUPR No.13/2016 tentang Bantuan Stimulan Perumahan Swadaya (BSPS)?
Kalau rumah umum dan rumah susun umum bagi MBR getol diberikan kemudahan dan/atau bantuan, mengapa tidak perumahan swadaya?

Pun demikian, bagi perumahan swadaya juga semestinya memperoleh kemudahan dan/atau bantuan penyediaan tanah, sertifikasi tanah, bantuan prasarana, sarana dan utilitas (PSU).

Pertanyaannya, selain bantuan stimulan ala BSPS, apakah kemudahan dan/atau bantuan penyediaan tanah, sertifikasi tanah, juga diberikan kepada perumahan swadaya?

Dibanding jenis intervensi yang dibuat Pemerintah untuk rumah umum, misalnya skim pembiayaan FLPP (Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan), BUM (Bantuan Uang Muka), SSB (Subsidi Selisih Bunga), akankah perumahan swadaya diremehkan dibanding rumah umum yang formal?

Belum lagi kehadiran PP No.64/2016 tentang Pembangunan Perumahan Masyarakat Berpenghasilan Rendah (sebut saja PPMBR) yang memfasilitasi badan hukum.

Berikut perkuatan mandat penugasan Perum Perumnas dengan PP No. 83/205 yang hanya pelaksana pembangunan rumah umum dan rumah susun umum, dan rumah khusus dan rumah susun khusus, menyusul pula agenda membuat bank tanah yang cenderung untuk penyediaan tanah bagi rumah formal.

Semuanya untuk mendukung percepatan pembangunan rumah umum, rumah susun umum, rumah khusus, rumah susun khusus? Diabaikankah kebijakan dan intervensi program perumahan swadaya?

Apa regulasi yang menjadi dasar program perumahan swadaya? Tengoklah Pasal 38 ayat (2) PP No.14/2016 yang menentukan bantuan stimulan rumah swadaya hanya untuk 3 (tiga) hal: perbaikan rumah, pembangunan baru, dan PSU. Perihal bantuan PSU? Pasal 38 ayat (7) UU No.14/2016 tidak menyebut apa saja jenis PSU, namun hanya menyebut siapa yang meyediakan PSU, yakni Pemerintah dan/atau Pemda. Merujuk Permen PUPR No.13/2016, bantuan PSU hanya untuk jalan dan drainase lingkungan [vide Pasal 7 huruf c dan Pasal 10 ayat (1)].

Kedudukan Permen PUPR No.13/2016 merupakan regulasi Pemerintah (pusat) yang mengatur bantuan PSU dari Pemerintah, maka terbuka pula bantuan PSU diberikan Pemda dengan jenis yang berbeda, tidak hanya jalan dan drainase lingkungan.

Sebab, indikator rumah bukan hanya terjangkau dan layak huni, namun juga indikator lingkungan sehat dan aman dengan didukung PSU. Karenanya, bantuan PSU untuk perumahan swadaya tidak hanya untuk jalan dan drainase lingkungan.

Jika merujuk Permenpera No. 22/2008, ada 6 indikator PSU: jalan, sanitasi, drainase dan pengendalian banjir, persampahan, air minum, listrik. Idemditto SDGs yang mencakup air bersih dan sanitasi (clean water and sanitation) dan kota berkelanjutan (suistainable cities).UU No.1/2011 menyebutkan perumahan itu dilengkapi PSU agar rumah layak huni.

Konsolidasi Tanah

Bagaimana pula dengan kemudahan atau bantuan sertifikasi tanah bagi perumahan swadaya? PP No.14/2016 (Pasal 38 ayat 5) tidak menyebutkan eksplisit, hanya tertera frasa “dilakukan dengan fasilitasi hak atas tanah”.

Tidak menyebutkan apa bentuk fasilitasi itu. Apakah kemudahan dan/atau bantuan penyediaan tanah versi Pasal 38 ayat (5) PP No.14/2016 itu hanya untuk rumah formal?
Hemat penulis tidak, sebab tidak ada yang melarang dan tidak pula menyebut hanya untuk rumah umum tetapi rumah bagi MBR.

Indikatornya adalah rumah MBR, bukan apa jenis rumahnya dan siapa pelaku pembangunannya.

Lagi pula, berbagai bentuk kemudahan dalam penyediaan tanah versi Pasal 38 ayat (5) PP No.14/2016 itu bisa diterapkan untuk perumahan swadaya, misalnya pemberian hak atas tanah yang langsung dikuasai negara (huruf a) dan konsolidasi tanah oleh pemilik tanah (huruf b). Setakat diskusi fokus bertema “Kelembagaan dan tata Kelola Perumahan Swadaya” yang digelar HUD Institute, 20-12-2016, berkembang dorongan agar menerapkan konsolidasi tanah untuk perumahan swadaya.

Seakan hendak mengamini tesis “Slum of Hope”, konsolidasi tanah pada kawasan kumuh menjadi perumahan swadaya yang layak huni dan indikator lingkungan yang sehat dan aman. Bukankah berkali-kali persalinan wajah kota besar dunia telah mengajarkan betapa historisnya pembaruan perkotaan, dan tak perlu sinis dan malas menjadi kota yang memberdayakan warga.

Lantas, akankah pembuat kebijakan kelembagaan bank tanah hanya menyediakan tanah untuk rumah formal dan masihkah ragu menyertakan perumahan swadaya sebagai peruntukan bank tanah?

Masih menurut Permen PU PR No. 13/2016, perseorangan yang memperoleh BSPS adalah MBR yang mesti memiliki tanah yang dikuasai fisiknya dan mempunyai legalitas, tidak dalam sengketa dan lokasi tanah sesuai tata ruang wilayah [vide Pasal 13 ayat (2)].

Apakah yang dimaksud kualifikasi tanah yang memiliki legalitas? Apakah legalitas hanya sertifikat? Bagaimana dengan alas hak lain, selain sertifikat hak atas tanah?
Jika maksudnya tanah yang memiliki legalitas hanya berupa sertifikat tanah, maka Permen PU PR No.13/2016 abaikan kewajiban Pemerintah dan/atau Pemda memberikan bantuan sertifikasi tanah dalam memenuhi kebutuhan rumah bagi MBR [vide Pasal 54 ayat (3) huruf g UU No.1/2011 dan PP No. 14/2016 Pasal 37 ayat (3) huruf g].

Sebab, ikhwal memenuhi kebutuhan rumah bagi MBR, termasuk kemudahan sertifikasi tanah tidak hanya untuk rumah umum, termasuk pula rumah swadaya.

Tersebab itu, ketentuan Permen PU PR No.13/2016 mestiya direvisi dengan kemudahan dan/atau bantuan sertifikasi tanah rumah swadaya.

Walaupun urusan sertifikasi tanah merupakan domein Badan Pertanahan Nasional (BPN), namun kemudahan sertifikasi tanah demikian pula penyediaan tanah diterakan dalam rezim UU No.1/2016, maka Kementerian PUPR tidak sepatutnya melepaskan itu melulu hanya sebagai kewajiban BPN.

Bahkan perihal penyediaan tanah eksplisit dalam Pasal 106 huruf a sd. huruf f UU No.1/2011 yang serupa dengan bunyi Pasal 38 ayat (5) huruf a sd. huruf f PP No.14/2016 yang merupakan regulasi sektor perumahan, sehingga menjadi urusan kementerian yang mengurusi perumahan.

Lagi pula, defenisi Pemerintah dalam UU No.1/2011 adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perumahan dan kawasan permukiman, yakni Menteri PUPR.

Teranglah, tidak semestinya mengesampingkan kemudahan dan/atau bantuan untuk perumahan swadaya yang membedakannya dengan rumah umum.

Malah, dengan potensi keswadayaan dan produksinya lebih besar maka geliat PSR lebih cepat dengan mendorong optimalisasi perumahan swadaya.

Apalagi jika target 5 tahun pembiayaan perumahan memfasilitasi pembangunan 900.000 unit rumah umum (rumah tapak, sarusunami, dan sewa beli), dan memfasilitasi pembangunan 450.000 unit rumah swadaya, yang berarti target rumah swadaya separo dari angka statistik target rumah umum. Soalnya, bagaimana pemihakan kebijakan dan kualitas kemudahan dan/atau batuan untuk perumahan swadaya?

Sesungguhnya, masa depan pembangunan perumahan pun demikian PSR adalah perumahan swadaya. Fasilitasi dan bantulah, karena disana banyak prakarsa, upaya, dan harapan. Jangan setengah hati, bersukalah banyak “hope” di perumahan swadaya.
[Muhammad Joni – Sekretaris Umum Housing and Urban Development (HUD) Institute, Managing Partner Law Office Joni & Tanamas]

Share