Toleransi-Intoleransi, Multikultural sebagai Fatamorgana Kehidupan [selesai]

Multikultural

Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat dengan tingkat keanekaragaman yang sangat kompleks. Masyarakat dengan berbagai keanekaragaman tersebut dikenal dengan istilah masyarakat multikultural.

Multikultural dapat diartikan sebagai keragaman atau perbedaan terhadap suatu kebudayaan dengan kebudayaan yang lain. Sehingga masyarakat mutikultural dapat diartikan sebagai sekelompok manusia yang tinggal dan hidup menetap di suatu tempat yang memiliki kebudayaan dan ciri khas tersendiri yang mampu membedakan antara satu masyarakat dengan masyarakat yang lain.

Setiap masyarakat akan menghasilkan kebudayaannya masing-masing yang akan menjadi ciri khas bagi masyarakat tersebut.

Dari multikultural berkembang istilah multikulturalisme. Sebagai pemahaman global, banyak rumusan tentang multikulturalisme, antara lain bahwa multikulturalisme pada dasarnya adalah pandangan dunia yang kemudian dapat diterjemahkan dalam berbagai kebijakan kebudayaan yang menekankan tentang penerimaan terhadap realitas keragaman, pluralitas, dan multikultural yang terdapat dalam kehidupan masyarakat.

Chazali H.Situmorang
Chazali H.Situmorang

Sedangkan multikulturalisme terkait dengan penerimaan dan penghargaan terhadap suatu kebudayaan, baik kebudayaan sendiri maupun kebudayaan orang lain.

Setiap orang ditekankan untuk saling menghargai dan menghormati setiap kebudayaan yang ada di masyarakat. Apapun bentuk suatu kebudayaan harus dapat diterima oleh setiap orang tanpa membeda-bedakan antara satu kebudayaan dengan  kebudayaan yang lain.

Multikultural yang terbentuk di Indonesia merupakan akibat dari kondisi sosio-kultural maupun geografis yang begitu beragam dan luas. Indonesia memiliki ribuan pulau dimana setiap pulau tersebut dihuni oleh sekelompok manusia yang membentuk suatu masyarakat. Dari masyarakat tersebut terbentuklah sebuah kebudayaan mengenai masyarakat itu sendiri. Tentu saja hal ini berimbas pada keberadaan kebudayaan yang sangat banyak dan beraneka ragam.

Dalam konsep dan pemahaman multikultural (multikulturalisme) terdapat kaitan yang erat bagi pembentukan masyarakat yang berlandaskan bhineka tunggal ika serta mewujudkan suatu kebudayaan nasional yang menjadi pemersatu bagi bangsa Indonesia.

Walaupun dalam perjalanannya  masih ada hambatan untuk membangun multikultural  di masyarakat, karena berbagai hambatan sosial lainnya, seperti tingkat pendidikan, kesulitan komunikasi dan masih adanya hambatan isolasi wilayah.

Multikulturlkisme sebagai konsep dan proses peradaban yang sedang berlangsung, tentu tidak terlepas dari pemahaman yang utuh tentang toleransi-intoleransi. Toleransi-intoleransi dan multikultural harus dilihat dalam satu tarikan napas.

Karena ketiga hal tersebut berkontribusi erat, bersinergi kuat dan berinteraksi yang terus-menerus. Maka itu jika toleransi-intoleransi terganggu maka akan ikut juga terhambatnya proses multikultural bangsa.

Perkawinan campur antar etnis misalnya, tentu suatu bentuk terjadinya multikultural. Disini terbangun toleransi bersimbiosenya antar budaya yang berbeda, tetapi akan menjadi intoleransi jika ada nilai-nilai budaya yang bebeda itu merupakan tabu atau larangan bagi adat/budaya lainnya.

Biasanya toleransi terbangun antar budaya yang berbeda, tetapi akan menjadi sulit dan intoleran jika agama yang berbeda. Pola-pola itu masyarakat sudah paham dan mereka saling menyesuaikannya.

Ada 4 pilihan yang dilakukan masyarakat yakni, pertama; perkawinan berlangsung dengan salah satu pihak ikut agama pasangannya, kedua; kawin campur (berpegang dengan agamanya masing/catatan sipil), dan yang ketiga; adalah kaewin lari (meninggalkan kampong halamannya). Dan keempat; rencana perkawinan dibatalkan. Itulah bentk-bentuk penyelesaian yang berlangsung di masyarakat.

Fatamorgana Kehidupan

Kehidupan ini bagai fatamorgana, sering diungkapkan dalam masyarakat. Biasanya menggambarkan sesuatu yang serba hampa, kecewa, dusta, dan kemunafikan. Fatamorgana sebenarnya istilah yang terkait dengan peristiwa fisika alam raya.

Menurut KBBI , fatamorgana adalah; 1). Gejala optis yang tampak pada permukaan yang panas, yang kelihatan seperi genangan air, 2). Hal yang bersifat khayal dan tidak mungkin tercapai.

Kata fatamorgana diambil dari bahasa Italia. Pada mulanya adalah nama saudari Raja Arthur, Faye le Morgana, seorang peri yang bisa berubah-ubah rupa.

Dulu fatamorgana sering dikaitkan dengan peristiwa magis. Beberapa penampakan fatamorgana sekompleks bayangan istana dalam mitos sempat dicatat berbagai jurnal. Antara lain pada tanggal 27 september 1846. Dua orang mengaku melihat bayangan kota Edinburgh di langit Liverpool selama 40 menit. Padahal Edinburgh berada sekitar 325 km utarta Liverpool.

Peristiwa serupa juga dialami seorang ahli geologi Inggeris. Dia menulis melihat bayangan Toronto di langit Danau Ontario. Di Selat Messina lepas pantai Sisilia Laut Tengah kadang kala muncul sebuah kotak ajaib yang seakan-akan terapung di air.

Namun, kotak ini langsung lenyap ketika nelayan mencoba menjaringnya. Masyarakat sekitar sempat menduga kehadiran kotak ajaib  ini sebagai ulah jin atau hantu laut. Ada juga yang menyebutnya sebagai kotak misterius. Padahal apa yang mereka lihat hanyalah fatamorgana yang mendadak lenyap begitu didekati.

Fatamorgana sebagai phenomena alam, tentu bagian yang tidak terpisahkan dengan kehidupan manusia.

Contoh-contoh  kejadian diatas, bagaiman manusia itu tertipu dengan phenomena alam. Dan tentu hanya orang yang berfikir yang memahaminya. Allah SWT, berualang-ulang mengingatkan  manusia untuk berfikir, dengan kalimat tanya “Apakah engkau tidak berfikir?”. Dari buah fikir itu munculah ilmu, dan dengan ilmu manusia membangun peradabannya.

Kehidupan di dunia ini adalah fatamorgana. Mari kita cermati Firman Allah SWT, dalam Al-Qur’an surat Al-Hadid:20; “Ketahuilah  sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan senda gurauan, perhiasan dan saling berbangga di antara kamu serta berlomba dalam kekayaan dan anak keturunan, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani, kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang palsu”.

Allah SWT, mengawali dengan mengatakan “ketahuilah  bahwa sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan”, dan diakhiri dengan “kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang palsu”.

Kuncinya adalah pada Iman yang ada didalam diri manusia itu sendiri. Dengan keimanannya, dan berdiri diatas rel keyakinanya untuk kepentingan kemanusiaan, untuk kepentingan sesama manusia, bukan karena harta yang melimpah, bukan untuk bermegah-megah, tetapi menempatkan diri menjadi manusia yang toleran, dan intoleran bagi semua tipu daya dan kesenangan yang menipu, dan yang mengingkari kehidupan.

Pembahasan

Toleransi-intoleransi dan multikultural, jangan hanya dijadikan casing  dan pencitraan. Jika itu yang dilakukan, maka kita sudah membangun kehidupan yang fatamorgana.

Terlihat seolah-olah dengan dijanjikan akan membangun  rumah yang layak, tanaman yang menghijau, jalan yang mulus, masyarakat yang rukun dan damai, makanan yang melimpah, uang dan cadangan devisa yang cukup, pertumbuhan ekonomi yang tinggi, puja-puji bangsa lain yang terus mengalir, keamanan yang terjamin, ternyata itu semua kesenangan yang palsu, itulah fatamorgana. Maka jadilah bangsa ini sebagai “bangsa seolah-olah”.

Setelah kita melihat perjalanan Nasionalisme berbagai bangsa dunia, dan perkembangannya yang menginspirasi Nasionalisme Indonesia dengan Bhineka Tunggal Ika dan idiologi bangsa Pancasila, maka  diperlukan upaya untuk membangun nasionalisme bangsa yang kokoh, permanent dan bertahan sepanjang masa, dengan pilar-pilar antara lain, toleransi-intoleransi, dan multicultural (isme), dalam bingkai emas NKRI.

Bangsa ini harus menghindari dan jangan terjebak dengan fatamorgana kehidupan. Semua pihak harus berlatih, dan dilatih untuk jujur, ikhlas, bermanfaat dan bermakna bagi masyarakat. Sebagai pemimpin siapapun dia, apakah penyelenggara negara, pemimpin dan tokoh masyarakat, tokoh agama, harus amanah.

Kebijakan bernegara dalam menyelenggarakan pemerintahan, adalah  membuat pilihan-pilihan. Buatlah pilihan-plihan kebijakan yang memperhitungkan semua aspek, terutama mereka yang mendapatkan resiko terbesar dan tersulit.

Mulailah dari situ cara memandangnya. Birokrasi pemerintah dibentuk dan dibiayai oleh rakyat tentu  bukan untuk menyengsarakan rakyat yang tidak mampu, tetapi dalam rangka redistribusi kue pembangunan kepada mereka yang tidak berdaya dalam persaingan usaha, persaingan ekonomi, dan persaingan kekuasaan, itulah tugas birokrasi pemerintahan dalam setiap merumuskan kebijakan publik yang harus di dilaksanakan rakyatnya.

Berlapis jenjang birokrasi bukan tanpa maksud. Kepentingannya adalah mengawal dan mengecek apakah konsep-konsep kebijakan sudah mengacu kepada aturan diatasnya, sudah memberikan rasa keadilan, apakah sudah kondusif, apakah sudah toleransi dengan tingkat kesulitan masyarakat yang sedang dihadapi, apakah momentumnya tepat, apakah sasarannya tepat, dan apakah ada irisannya dengan kebijakan lain sehingga  tidak produktif out-putnya  bahkan mereduksi maksud diterbitkannya kebijakan.

Sebagai  contoh keluarnya PP 60/2016 tentang kenaikan tarif STNK kenderaan bermotor berlipat-lipat.

Kenapa  terjadi saling lempar tanggung jawab diantara penyelenggaran negara yang diberikan wewenang untuk beranggung jawab?.

Produk PP tentu melalui mesin birokrasi yang cukup ketat. Mulai dari pemrakarsa dari lembaga kemeterian/lembaga non kementerian (LPNK) yang berkepentingan, membahasnya dengan lintas kementerian/lembaga non kementerian terkait, diharmonisasikan di Kemenkumham dengan melibatkan lagi KL/LPNK, diajukan ke Sekab/Sekneg untuk dilakukan cross check dan diteliti, jika ada yang kurang jelas biasanya ditanyakan kembali kepada pemrakarsa draft PP, sudah clear dan clean di buat naskah asli untuk di paraf menteri terkait sebelum di tanda tangani Presiden.

Dalam proses penyusunan PP tersebutlah diperlukan berbagai pertimbangan yang diuraikan diatas.

Secara prosedur, semuanya sudah berjalan sesuai dengan sistem yang baku. Tetapi apakah semua jenjang mesin birokrasi itu melaksanakan tugasnya dengan menggunakan hati nurani, menggunakan empati, menggunakan radar sensitifitas untuk melihat situasi dan kondisi masyarakat, atau menggunakan falsafah; emangnya gua pikirin, guakan hanya melaksanakan perintah, emangnya gua dapat apa, berfikir sektoral, memakai kaca mata kuda.

Bagaimana sebenarnya terjadi? Kita tidak tahu, yang tahu sang birokrat dengan Tuhannya.

Model-model kerja mesin birokrat seperti ini, perlu diperbaiki. Caranya bagaimana tentunya dapat dengan menggunakan berbagai metode. Antara lain kata kuncinya dengan membangun keteladanan (bukan pencitraan).

Kesimpulan

Mari kita bangun kesepahaman tentang toleransi-intoleransi, dan multikultural sebagai kemajemukan bangsa adalah sesuatu yang memang ada, dan berproses di masyarakat dan di dalam penyelenggaraan pemerintahan.

Masyarakat melakukan penyesuaian-penyesuaian berdasarkan dinamika yang berkembang, dan pemerintah dapat berperan sebagai gate keeper, agar semua proses berjalan dalam koridor-koridor idiologi Negara Pancasila.

Kita hindari negara ini menjadi negara dan bangsa ‘se-olah-olah’, seperti fatamorgana kehidupan yang seakan ada ternyata tiada.

Rakyat disuruh berlari dan terus berlari untuk mendapatkan kesejahteraanya  yang terlihat  diujung jalan didepan mata.

Sampai ditujuan ternyata kesejahteraan itu tidak nyata dan hanya fatamorgana. “Mari kita bangun negara-bangsa ini dengan hati”.

[Chazali H.Situmorang – Dosen FISIP UNAS – FKIP UNIDA]

Share