Toleransi-Intoleransi, Multikultural sebagai Fatamorgana Kehidupan [Bag-2]

Toleransi-Intoleransi

Dari berbagai referensi, toleransi dimaknai dengan suatu sikap yang saling menghargai kelompok-kelompok atau antar individu dalam masyarakat atau dalam lingkup lainnya.

Toleransi juga adalah suatu perbuatan yang melarang terjadinya diskriminasi sekalipun banyak terdapat kelompok atau golongan yang berbeda dalam masyarakat.

Toleransi sering diilustrasikan pada agama, toleransi agama kita jumpai dimasyarakat. Adanya toleransi agama menimbulkan sikap saling menghormati masing-masing pemeluk agama.

“Agamamu untuk mu, agamaku untuk ku”, itu contoh toleransi dalam ajaran Islam.

Tetapi, toleransi bukan saja dalam agama, dalam segala segi kehidupan toleransi itu suatu proses agar interaksi sosial masyarakat berjalan dinamis dan harmonis. Kata kunci toleransi adalah nondiskriminatif. Tidak boleh pemaksaan kehendak.

Chazali H.Situmorang
Chazali H.Situmorang

Apa saja yang tidak boleh dipaksa, tentunya segala hak-hak warga Negara yang dijamin  dalam konstitusi negara ini. Jadi, jika ada aturan pelaksanaan negara ini mengurangi atau mengabaikan hak-hak warga negaranya, berarti negara belum membangun toleransi, jika ada sebagian masyarkat yang memaksakan kehendaknya dan megabaikan hak-hak warga negara lainnya, maka kelompok masyarakat itu tidak melakukan toleransi.

Kenapa kita perlu toleransi? jawabannya juga jelas karena kita butuh partisipasi masyarakat untuk membangun bangsa. Jika pembangunan hanya untuk segelintir orang, memang tidak diperlukan partisipasi, jadikan saja  manusia sebagai mesin seperti zaman sebelum revolusi industri.

Memang, hasilnya ada pertumbuhan tapi tidak pemerataan, terjadi kesenjangan dalam segala aspek kehidupan, dan jika negara tidak pandai-pandai, maka negara akan menjadi negara tirani dan otoriter. Dengan toleransi masyarakat dapat hidup dengan rasa memiliki, rasa turut bertanggung jawab, dan rasa berkewajiban memelihara dan merawat negara ini. Toleransi sudah hidup lama pada bangsa Indonesia.

Pengalaman saya suatu ketika menginap di rumah atasan saya yang non muslim. Di kamar tidur sudah disediakan sajadah untuk sholat dan sekalian arah kiblatnya. Dia katakana, “bahwa  keluarganya yang muslim sering juga menginap”. Itu contoh sederhana dari toleransi.

Pengalaman saya yang lain, sewaktu kunjungan kerja di salah satu kabupaten di Nusa Tenggara Timur (NTT), karena hotel penuh diisi rombongan Presiden, maka oleh pejabat setempat saya ditawarkan untuk tidur di kamar yang biasanya digunakan untuk Pastur jika datang ke Gereja setempat.

Saya dengan senang hati menerimanya, dan saya tidur dengan nyenyak dan sholat di kamar tidur Pastur tersebut. Bagi saya, itu salah satu bentuk toleransi yang hidup dan berkembang dimasyarakat.

Apa bentuk toleransi lain, yaitu toleransi sosial, dengan berbagi, sehingga sering dijadikan tageline ‘Indahnya Berbagi’. Semua agama berlomba-lomba untuk berbagi, bahkan yang seharusnya menjadi kewajiban Negara untuk berbagi, saat ini banyak di take over oleh masyarakat.

Jadi toleransi bukanlah suatu barang baru bagi bangsa Indonesia. Dan kurang paslah jika disebutkan bahwa bangsa ini megalami degrasi toleransi. Itukan katanya elite-elite politik, pemikir-pemikir gelisah yang miskin rohani.

Toleransi itu adalah kodrat, dan manusia ini akan musnah jika sudah tidak ada toleransi. Apakah engkau tega memakan daging saudara mu sendiri? Itu peringatan Allah kepada manusia.

Persoalan toleransi juga jelas batas rambunya. Disinilah negara dalam hal ini pemerintah harus berperan dan memposisikan dirinya sebagai gate keeper, sebagai penapis, sebagai Al-Amin yang dapat dipercaya semua pihak.

Oleh karena itu, penyelenggara negara harus paham betul budaya, karakter, culture, fanatisme, dan perasaan hati masyarakatnya.

Kepahaman yang komprehensif tersebut, sebagai landasan membuat  rumusan demarkasi yang diatur negara benar-benar adil, nondiskrimintif, tidak boleh berpihak, tidak boleh asal bapak sedang, tidak boleh karena untuk pencitraan dan yang paling penting bebas kepentingan, kecuali kepentingan bangsa-negara.

Sebagai penyelenggaran negara, jangan sekali-sekali melakukan pendekatan politik untuk membangun toleransi. Sebab politik itu kepentingan, dan kepentingan adalah kekuasaan dan kekuasaan hitungannya siapa kuat.

Pemerintah sebagai gate keeper, tentunya menjadikan toleransi sebagai pisau analisis dalam membuat kebijakan pemerintah sebagai kebijakan publik. Pemerintah harus memberikan toleransi maksimal kepada kelompok masyarakat miskin dan tidak mampu untuk dapat memberdayakan dirinya sehingga berkehidupan yang layak, dan mengendalikan kelompok masyarakat mampu (pengusaha), untuk tidak terus-menerus memperluas penguasaannya terhadap aset masyarakat lainnya.

Pemusatan kekayaan pada sekitar 20-40 orang terkaya di republik ini dan sebagaian besar bukan pribumi tidak menggambarkan toleransi dalam berusaha di negeri ini, dan pemerintah sebagai gate keeper berkewajiban untuk mengendalikannya.

Kita lihat di sektor properti, pembangunan perumahan, yang terus menerus membebaskan tanah rakyat dengan iming-iming harga tinggi, kalau ngak mau di ‘intimidasi’ dengan halus melalui jalur RT/RW setempat.

Rakyat yang miskin dihimpit kehidupan yang susah, ditawarkan tanah warisan  keluarga dengan harga yang tinggi tentu tergoda.

Akhirnya mencari tempat tinggal yang lebih ke pinggir, dan bahkan mengontrak karena uang yang ada digunakan untuk kebutuhan sehari-hari, hingga terpinggirkan.

Dimana proteksi pemerintah, sulit kita mencarinya. Dan situasi ini terus berlangsung sampai saat ini, bahkan semakin dipamerkan oleh para pengembang di media televisi. Toleransi dalam bidang ekonomi dan sosial  merupakan akar dari semua bentuk toleransi bangsa ini.

Jika tidak toleransi disebutlah istilah intolerasni. Apakah intolaransi selamanya negative?, jawabannya tidak selamanya.  Sebaliknya, apakah toleransi itu selamanya positif?, jawabannya juga tidak selamanya.

Dia sangat kontekstual. Tergantung apa lingkup persoalannya. Dalam persoalan agama, masyarakat itu sudah membangun sendiri consensus, kesepakatan untuk menjaga kepentingan keagamaannya masing-masing.

Yang masih sulit  adalah yang berkaitan dengan sekte atau aliran yang ada di setiap agama. Pedekatannya memang harus ekstra hati-hati dan tidak mudah. Tapi bagaimana dengan toleransi-intoleransi dalam bidang sosial, politik, kekuasaan, kebijakan publik. Ternyata belum selesai dan bahkan cenderung semakin mengkhawatirkan.

Bagaimana atraktifnya intoleransi dibidang politik, ditunjukkan bangsa ini, misalnya dalam  pergantian Ketua DPR-RI baru-baru ini. Bagaimana struktur kekuasan partai politik, dan kekuasaan pemerintah propinsi, kabupaten/kota dengan pola dinasti dan kekeluargaan yang dibungkus dengan baju demokrasi. Itu sikap intoleransi terhadap peluang dan kesempatan bagi masyarakat untuk berperan.

Intoleransi diharuskan jika terkait dengan penegakan hukum, menegakkan aqidah/ ibadah  agama, terhadap pemberontak, terhadap koruptor, dan mereka-mereka yang merusak tatanan masyarakat yang sudah baik.

Pemerintah harus intoleran atau toleran nol, terhadap upaya-upaya sekelompok individu atau masyarakat yang melanggar atau membelokkan kebijakan pemerintah, atau mereka-mereka yang dengan pengaruhnya, mempengaruhi pembuat kebijakan agar kebijakan  yang dikeluarkan menguntungkan  seseorang atau kelompok orang dengan mengorbankan kepentingan masyarakat banyak.[bersambung…. Multikultural]

[Chazali H.Situmorang – Dosen FISIP UNAS – FKIP UNIDA]

Share