Fasken JKN: Chek Out!? (Seri 2)
TRANSINDONESIA.CO – Sudah beredar di media social, beberapa rumah sakit (RS) yang menjadi mitra BPJS Kesehatan dalam memberikan pelayanan kepada peserta JKN, dikabarkan memutuskan perjanjian kerja sama (PKS). Hal ini juga dibenarkan oleh manajemen BPJS Kesehatan setempat (Divisi Regional XI).
Kabar yang berkembang adalah RS tersebut berkebaratan dengan paket INA – CBGs tarif baru sesuai dengan Permenkes nomor 52 dan nomor 64 tahun 2016. Bagi faskes (FKTL), tarif baru Ina – CBGs tersebut bagi beberapas RS ibarat bencana Tsunami yang menimbulkan kegoncangan perhitungan manajemen RS tersebut yang tentunya bukan nirlaba karena rumah sakit swasta.
Perlu diketahui bersama, bahwa formulasi tarif baru Ina-CBGs tersebut, lebih bersifat perobahan tarif pergroup jenis penyakit yang dilakukan reposisi tarif, sehingga ada kelompok jenis penyakit yang diturunkan, dan ada yang dinaikkan.
Yang diturunkan pasti “teriak” dan protes kepada pemerintah oleh manajemen rs, dan manajemen rs bersikap dari pada pusing tujuh keliling, dan dokter spesialisnya “hengkang” maka solusinya PKS dihentikan, dan momentumnya tepat akhir tahun 2016, umumnya phase kontrak PKS akan berakhir.
Intinya “tsunami” yang terjadi tersebut, tidak ada hubungannya dengan peserta JKN, tapi sekali lagi, sebagaimana saya tulis dalam artikel sebelumnya, ujung-ujungnya yang jadi korban adalah peserta JKN.
Kenapa ini bisa terjadi?
Pangkal persoalannya, ada dipemerintah itu sendiri, dalam hal ini Kementerian Kesehatan, yang menerbitkan Permenkes yang tidak sejalan dengan amanat UU SJSN.
UU SJSN jelas menyebutkan tarif pelayanan itu harus hasil kesepakatan antara BPJS Kesehatan dengan Asosiasi faskes di masing-masing wilayah. Hasil negosiasi itulah menjadi dasar besarnya tarif yang dituangkan dalam PKS antara faskes dan BPJS Kesehatan.
Tugas Kementerian Kesehatan lebih bersifat mengawal batas maksimum tarif agar ada pengendalian yang proporsioal dan professional. Dalam hal ini sudah ada surat protes PB IDI ke Kemenkes.
Persoalan semakin rumit, karena besar dana iuran yang sudah dihitung dengan nilai keekonomian oleh DJSN, tidak dipakai pemerintah (Kemenkes dan Kemenkeu), sebagai dasar hitungan sumber dana pembayaran tarif pelayanan JKN.
Idealnya, Kemenkes lebih pada pengendalian batas atas (plafond maksimum) besarnya tarif faskes ( baik FKTP maupun FKTL), sedang real costnya diserahkan kepada asosiasi faskes dan BPJS Kesehatan setempat.
Dengan demikian BPJS Kesehatan diberikan tanggung jawab penuh sebagaimana diamanatkan dalam UU SJSN yaitu kendali biaya dan kendali mutu, bersama dengan asosiasi faskes melakukan hitungan sesuai dengan kocek yang dimiliki oleh BPJS Kesehatan.
Sekarang ini, situasinya adalah uang ada di BPJS Kesehatan, tapi pemerintah yang membuat tarifnya, dan hal itu tidak ada jaminan bebas dari kepentingan. Adanya persoalan dengan besaran tarif ini dilapangan menyulitkan BPJS Kesehatan, dan “keheboan” tersebut menurunkan performace JKN yang diselenggarakan BPJS Kesehatan.
Disisi lain , bukan berarti tidak ada masalah di FKTL. Bukan hal yang aneh jika ada keluhan para pasien yang digiring ke kelas VIP, padahal peserta Kelas II, sedangkan kelas I terbatas, mau ngak mau masuk di kelas VIP.
Dalam menghitung selisih biaya ini dapat terjadinya -“moral hazard”- atau bahkan -“fraud”-. Belum lagi cerita pilu waiting list rawat inap yang cukup lama, adanya OOP (Out Of Pocket), tapi kalau pasien umum (JKN tidak berlaku) kamar tersedia. Situasi seperti ini dapat diminimalis dengan membuat PKS yang ketat dan membuat sanksi yang tegas jika terjadi penyimpangan dari PKS.
Tidak terkecuali PKS dengan FKTL pemerintah harus juga diperlakukan sama dengan FKTL swasta (tidak boleh diskriminatif).
Disamping itu, bagi BPJS Kesehatan apa yang harus dilakukan dalam menghadapi situasi seperti ini. Pertama-tama perlu dilakukan introspeksi, apakah jajaran dilevel lapangan sudah melaksanakan tugasnya secara professional dan proporsional.
Apakah para middle manager dan low manager sudah all out melaksanakan tugasnya, sudah berjibaku dalam mengawal dan melindungi kepentingan peserta untuk mendapatkan pelayanan yang prima, dan melakukan komunikasi handal dengan berbagai stakeholder di level yang sama. Petugas yang ramah, proaktif, peduli, responsive, bersungguh-sungguh, tegas dan bersikap ramah merupakan modal dasar yang mutlak dimiliki.
Adanya keluhan beberapa rumah sakit yang ingin menjadi mitra BPJS Kesehatan “dipersulit” melalui credensialing dengan persyaratan nyaris sulit dipenuhi tanpa ada mekanisme konsultasi yang cukup merupakan situasi lapangan yang perlu di tracing oleh BPJS Kesehatan Pusat dan Regional.
Bagi BPJS Kesehatan tidak perlu khawatir dan panik dengan adanya beberapa (sekitar 8) FKTL yang memutuskan kerja sama dan momentum ini merupakan langkah yang terbaik dan tepat untuk membangun model kerjasama berikutnya yang fair dan berdasarkan hitungan yang matang dan detail.
Tidak perlu dibuat isi PKS yang seragam pada setiap FKTL tetapi kuncinya kesepakatan para pihak yang adil untuk kepentingan peserta dan faskes itu sendiri, dengan payung asosiasi faskes dan pengawasan Dinkes dan Kemenkes.
Sepanjang yang saya ketahui masih banyak FKTL yang ingin bermitra dengan BPJS Kesehaan yang sampai saat ini masih di keep oleh BPJS Kesehatan setempat.
Sudah saatnya, BPJS Kesehatan membuka pintu lebar-lebar untuk mengajak RS swasta bermitra, karena masih sekitar 600 lebih RS swasta yang masih belum bermitra, demikian juga dibuka pintu lebar-lebar untuk klinik/praktek dokter perorangan sebagai FKTP, untuk dapat melayanan jumlah peserta yang saat ini sudah 171 juta jiwa ( pertumbuhannya sekitar 8-9%), sedangkan pertumbuhan FKTP dan FKTL yang bermitra dengan BPJS Kesehatan sekitar 4 %. Soal terjadinya mismatch atau bleeding, BPJS Kesehatan tidak perlu memikirkannya, biarlah itu menjadi domain Pemerintah (Menkeu dan Menskes), yang penting bisnis prosesnya akuntabel, peserta terlayani dengan baik dan itu merupakan amanat UU SJSN.
[Chazali Husni Situmorang/Ketua DJSN 2011-2015]