Sihir Primordial Menghilangkan Akal Budi dan Kemanusiaan

TRANSINDONESIA.CO – Jika cinta sudah dibuang, jangan harap keadilan akan datang, kesedihan hanya tontonan. Penggalang lagu Bongkar karya iwan fals mengingatkan kita semua tatkala sudah tidak ada cinta maka pupuslah harapan.

Tiada lagi rasa empati, apalagi berbela rasa, yang ada hanyalah kebencian. Tatkala kebencian ditaburkan melalui dikotomi benar dan salah, baik dan buruk, suci dan dosa, neraka dan surga, ini ujung ujungnya adalah demi dan mengatasnamakan yang Maha.

Semua yang dianggap atau sudah dilabel bahkan dijudge buruk, salah, dosa, kelompok neraka, temannya setan tidak lagi layak bagi yang merasa baik, benar, suci, kelompok surga. Bagai air dengan minyak. Tidak dapat lagi disatukan walau itu sesamanya manusia, sebangsa dan setanah air, sekeluarga sekalipun tidak akan mau bersatu, bertemu dan sebagainya.

Ilustrasi
Ilustrasi

Dalam semangatnya, lawan, berkelahi, hantam, rusak dan hancurkan, kalau perlu dibunuh. Nalar akal sehat seakan tersumbat, tiada lagi rasa kemanusiaan, semua buta mata, tuli, hilang rasa, apa yang dikomandokan itulah yang benar.

Sepertinya aneh masak manusia tanpa akal budi dan hatinurani lagi dan bagai kerbau dicocok hidungnya ? Tatkala bisa lepas dari belenggu primordial memang kita akan tertawa, atau menertawakan ketololan-ketololan yang dipamerkan bahkan dijadikan kebanggaan. Akal Sehat tiada lagi, rasa hati beku bahkan bisa saja mati.

Hilangnya akal atau nalar dan hati manusia, karena penuh dengan luka batin, asa yang tidak kesampaian, hati yang penuh dendam, ego yang melekat, merasa paling (dalam segala hal), keterbelakangan, ketidak adilan, ketakutan kehilangan berbagai previlage, dan banyak lagi unsurnya.

Yang paling parah adalah sebagai kaum yang terkurung dan terbelenggu pikirannya (captive mind). Dengan demikian akan mudah diprovokasi, dibakar emosinya, sumbu pendek yang tanpa logika maupun bagaimana dampaknya terus saja menggarang yang penting menang, yang penting senang, apapapun yang terjadi perduli setan.

Mengatasnamakan kesucian menunjukkan perilaku setan, meneriakkan kebenaran dengan rasa kebencian, mengajak kebaikan dengan pemaksaan dan ancaman. Semua akal nalar dibelenggu, bangga menjadi kaum captive mind.

Lupa atau mungkin tidak tahu bahwa Rene de Cretes mengingatkan kita semua: ” Co gito ergo sum” ketika aku berpikir maka aku ada. Kebanggaan, keunggulan, keistimewaan, bahkan keberadaan manusia ini adalah otak dan hati nuraninya. Logika dan berbagai rasa empati, berbela rasa demi memanusiakan sesamanya.

Tatkala kehilangan itu semua memang ia bukan manusia lagi, ia menjadi serigala bagi sesamanya. Homo homini lupus, lali jiwo, lali itu lupa, lupa tidak ada yang ingat yang sama dengan gila, tidak ingat lagi lingkunganya, alamnya, sesamanya, sahabatnya, keluarganya, bangsanya bahkan terhadap dirinya sendiri.[CDL29122016]

Penulis: Chryshnanda Dwilaksana

Share