Aklamasi yang Menanggalkan Akal Sehat: Paksaan atau Ketakutan?

TRANSINDONESIA.CO – Memegang teguh kebenaran dan keadilan, tidaklah semudah pengucapanya. Tatkala melihat, mendengar dan merasakan sesuatu yang dianggap sebagai kebenaran atau sebagai sesuatu yang semakin manusiawinya manusia, hati nurani akan jujur mengatakan inilah yang dibutuhkan manusia.

Layak dipertahankan, diperjuangkan, ditumbuhkembangkan bahkan bisa dijadikan ikon perjuangan kemanusiaan.

Namun ada kalanya yang baik, benar, manusiawi, belum tentu dianggap sebagaimana yang seharusnya bisa saja terjadi yang sebaliknya. Penjungkirbalikan logika, mungkin saja terjadi atau bahkan hal-hal yang merusak peradabanpun bisa dilakukan.

Ilustrasi
Ilustrasi

Kehilangan logika akan menghilangkan dirinya sebagai manusia? Bisa saja terjadi demikian, akal sehat yang menunjukkan jati dirinya sebagai manusia diganti naluri-naluri kebinatangan (menyerang, merusak, menganiaya, membunuh sesamanya) menjadi kebanggaan dan dianggap perjuangan atas kebenaran.

Cara-cara manusia beradab, mencari solusi melalui diplomasi, diskusi, tidak lagi mampu dilakukan.

Adu power untuk menyatakan sesuatu yang manusiawi atau tidak manusiawi semakin populer dan menjadi pilihan. Masa mengambang seakan menjadi simbol kekuatan, walau sebenarnya hanyalah karpet merah saja untuk memuluskan jalan kaum-kaum dalang.

Mereka, benarkah hanya dijadikan pijakan untuk menaiki tangga? Teriakan-teriakan dan hujatan ada labelnya? Dalam kehidupan tradisional adu binatang dari yang buas sampai serangga menjadi sesuatu yang menghibur. Akankah adu manusia besar-besaran massa akan menjadi hiburan bagi kaum-kaum berstrata super? Akankan manusia dijadikan tumbal demi keinginan dan cita-citanya menguasai dan mendominasi sumber daya?

Berapakah harga manusia? Tatkala manusia-manusia ini dihargai ombyokan mungkinkah dihargai borongan juga? Adakah apresiasi Hakekat manusia yang bisa memanusiakan sesamanya? Atau sebaliknya justru dijadikan serigala untuk membunuh sesamanya?

Semua mungkin terjadi, tergantung sejauh minute logika menjadi standar bagi pemanusiaan para manusia? Semakin besar penggunaan logika akan semakin tinggi nilai harkat dan martabat manusia itu demikian juga sebaliknya.

‎Ceritera suami istri yang menunggang keledainya menuju kota, tatkala memasuki sebuah desa, orang mengatakan pemilik keledai ini waras gak sih? Keledai sekecil itu dinaiki berdua.

Sang suami mengalah turun dari keledainya. Tinggalah si istri yang masih naik keledai. Tatkala sampai di desa lainya, orang kampung mengatakan ini suami yang takut istri atau istri yang tak tahu diri.  Lihat suaminya sudah nampak tua dan kelelahan si istri malah enak-enakan di atas keledai. Akhirnya si istri turun dan bergantian si suami yang menunggang keledai.

Di desa berikutnya, warganya berteriak, “Ini suami tak tahu diri, masak istrinya jalan dia enak-enakan naik keledai.

Akhirnya suaminya turun dan bersama istrinya berjalan bersama dan keledainya tidak lagi ditunggangi.

Tatkala sampai sampai di kota, orang mengatakan, betapa bodoh suami istri ini, apa gunanya mereka membawa keledai kalau tidak ditunggangi.

Mana yang benar? Mana yang salah? Mereka menjadi bingung apa yang semestinya dilakukan, “ini salah, itu salah, semua serba salah”. ‎

Ada seorang gembala yang membawa kambing di pundaknya. Tiba-tiba ada seseorang yang berteriak mengapa anda memanggul anjing? Si gembala mengabaikan, terus saja berjalan.

Di tikungan jalan ada dua orang yang sedang duduk di pinggir jalan meneriaki “Hai gembala dungu mengapa engkau memanggul anjing?”,  si gembala mulai ragu tetapi dirinya tetap yakin kalau yang dipanggulnya adalah kambing.

Tatkala sampai di Pasar, tiba-tiba orang di Pasar berteriak lantang  “Hai gembala gila apakah dirimu akan menjual anjing di Pasar ini?”

Kali ini si gembala bimbang dan tidak lagi mampu meyakinkan dirinya dan dengan penuh rasa ketakutan dan terpaksa melepaskan kambing yang diaklamasi sebagai anjing.

Nalar atau logika menjadi pilar manusia untuk terus bisa manusiawi. Kewarasanya akan mampu merawat dan menjaga taman-taman norma yang ada dalam kehidupan sosialnya.

Aklamasi bisa saja keliru, walau dipaksakan kebenaranya. Aklamasi ingin menyamakan dengan fox populi fox dei, sayangnya aklamasi yang jauh dari nalar atau logika akan semakin jauh pula dari kebenaran dan keadilan.[CDL20122016]

Penulis: Chryshnanda Dwilaksana

Share