TAJUK: Hilangnya Rasa Malu !

TRANSINDONESIA.CO – “Jangan mengikuti kebanyakan kata manusia (ahli), yang ada hanya perselisihan. Apa kata syariat Islam saja. Itu yang benar, kenapa? Karena ucapan atau perkataan yang dilakukan telah masuk pada keyakinan atau agama”.

Maka dengan syariat agama pula diselesaiakan. Soal kata “pakai” atau tanpa “pakai” subjeknya jelas adalah Al Quran.

Ilustrasi
Ilustrasi

Dalam hukum manusia, soal delik aduan kalau tidak ada yang mengadu tidak ada yang di hukum, tapi sebaliknya.

Kenapa setelah diadukan tidak di hukum? Jangan sampai, ini soal keyakinan umat sangat berbahaya bagi kelangsungan hidup suatu negara.

“Amar makruf nahi munkar”, umat muslim wajib melaksanakannya, namun karena dalam negara ada aturan hukum, maka sesuai dengan kemampuan dan kemudian penegak hukum melanjutkan tindakan. Jangan pula penegaknya justru bermain-main pada hukum setelah ada laporan.

Soal saat ini, justru tampak proses hukum yang dimain-mainkan. Sehingga desakan “syariat” lebih dikedepankan karena ini masalah kayakinan. Jadi harus ditegakan, bukan “kata ahli” dari berbagai keahlian yang digunaka hingga memancing reaksi umat.

Jelas, kemarahan atas permainan hukum yang ditunggu dengan kesabaran umat, tapi karena masih juga dipermainkan yang buat kegaduhan, maka tidak ada lain selain kata syariat yang harus dipakai.

Gaduh yang dipancing oleh hukum manusia dengan permainan kekuasaan, maka ummat langsung bereaksi mengedepankan syariat.

Setelah syariat digemakan umat, barulah proses hukum dimulai tapi sayangnya hukum tidak tegak- setegak-tegaknya dan diskriminasi dibandingkan penegakkan sebelumnya.

Ketidak tegasan itu pula yang membuat umat terus berjuang menghancurkan kemungkaran. Jangan salahkan umat menegakkan syariat sekaligus menegakkan hukum manusia dalam suatu negara.

Dimana Rasa Malu?

Malu adalah akhlak Islam. “Rasa malu, rasa segan dan sikap sopan” oleh Rasulullah disebut sebagai bagian dari keimanan. Ini artinya, seorang Muslim sangat dianjurkan memiliki sifat ‘haya’.

Hayâ dalam arti rasa malu adalah identik dengan sifat harga diri (murū’ah). Ketika kita mengatakan, “Dia tak tahu malu.” Hampir dapat dipastikan maksudnya adalah “Dia tak punya harga diri.”

Rasa malu dan harga diri merupakan sifat mulia apabila dikaitkan dengan sifat-sifat mulia yang lain seperti kejujuran, kedermawanan, kesederhanaan dan kepedulian sosial. Kita merasa malu dan merasa tak punya harga diri apabila kita tidak jujur, tidak dermawan, tidak hidup sederhana dan tidak atau kurang peduli pada sesama yang membutuhkan uluran tangan kita.

Siapa yang dipermalukan? Apakah penegak hukum, penguasa, pemegang kekuasaan atau orang yang mempermalukan?

Bila saat ini banyak “perang” di media sosial, itu akibat pembiaran dari kebijakan yang tak punya rasa malu bahkan yang mempermalukan sendiri tak punya budaya malu bahkan lebih ironisnya tak merasa salah.

Hilangnya rasa malu itulah yang umat sendiri malu, malu keyakinanannya dengan terang-terangan dinistakan. Malu dengan sebagian umat yang malu-maluin menjadi pembela penista, malu dengan diri sendiri dan malu dengan Allah SWT.

Akibat ulah seseorang biang ricuh, justru dibela oleh mereka yang tidak punya rasa malu dan semakin mengikis budaya malu. Untuk itulah 212 berkewajiban menghapus malu dan agar kita punya rasa malu !

Salam Redaksi

Share
Leave a comment