Resolusi Jihad 1945 dalam Perspektif Sejarah Tematik [3]

TRANSINDONESIA.CO – Resolusi Jihad yang dilakukan oleh KH Hasyim Asy’ary pada 22 Oktober 1945 sesungguhnya memberikan semangat pertempuran bangsa Indonesia untuk mempertahankan kemerdekaannya. Namun Resolusi Jihad itu tidak dianggap sebagai bagian dari latar belakang yang menyebabkan lahirnya peristiwa 10 November 1945.

Tulisan ini berusaha menjelaskan mengapa hal itu terjadi. Melalui Perspektif sejarah tematik, peristiwa itu dapat diungkap tanpa harus merevisi sejarah.

Subyektifitas Sejarah

Sejarah, sebagaimana yang sering dikemukakan oleh kalangan sejarawan memiliki dua sisi. Yaitu sejarah sebagai fakta dan sejarah sebagai kisah. Sejarah sebagai fakta merupakan peristiwa atau kejadian itu sendiri, sedangkan sejarah sebagai kisah adalah rangkaian dari peristiwa yang dikemas dalam bentuk tulisan.

Kusuma Espe
Kusuma Espe

Hasil penelitian sumber-sumber sejarah merupakan bahan-bahan penyusunan sejarah sebagai kisah yang tentunya telah diolah dan dimasak dengan cara-cara ilmiah. Namun meskipun bahan-bahan tersebut telah diproses sedemikian rupa, pada saat dituangkan dalam bentuk tulisan terdapat pula perbedaan penafsiran dan penyimpulannya, meskipun data dan sumbernya sama. Misalnya buku yang mengupas tentang “Permesta”. Dua orang  sejarawan yang berbeda, yang satu sejarawan asing yang lainnya sejarawan dalam negeri, menyimpulkan peristiwa itu dari pandangan yang berbeda-beda. Contoh lainnya adalah pada ”Peristiwa Tiga Daerah” ( Lihat Anton Lucas,  Peristiwa Tiga Daerah: Revolusi dalam Revolusi (Jakarta: Grafiti pers, 1989) pada awal kemerdekaan di Jawa Tengah, antara sumber resmi dengan kisah masyarakat menjadi lain ceriteranya. Penelitian Anton Lucas, itu yang melukiskan konflik antara priayi dengan orang kecil telah menolak generalisasi Ricklefs dalam Sejarah peristiwa itu sebagai konflik antara santri dan abangan.

Contoh lainnya yang aktual adalah buku ”Ketika Sejarah Berseragam”, karya  Katharine E McGregor, yang mengambil simpulan berbeda terhadap monumen dan pendirian Pusat Sejarah TNI daripada yang dimaksudkan terhadap pendiriannya oleh Profesor Nugroho Notosusanto. .

Peristiwa Proklamasi 17 Agustus 1945 adalah contoh berikutnya, sebagai kisah ternyata antara masing-masing pengarang berlainan baik dalam jangkauan, panjang cerita, judul dan penafsirannya. Oleh sebab itu kalangan penulis sejarah mengemukakan bahwa sejarah sebagai fakta adalah obyektif, misalnya tanggal 17 Agustus 1945 Bung Karno dan Bung Hatta memproklamasikan Kemerdekaan Indonesia, namun sejarah sebagai kisah seperti kausalitas sejarah sangat subyektif. Karena hal itu berkaitan dengan latar belakang penulisnya.

Profesor Nugroho Notosusanto membedakan empat faktor yang menyebabkan sejarawan berbeda pandangan dan tafsiran; 1. Sikap berat sebelah pribadi, 2. Prasangka kelompok. 3. Penafsiran yang berlainan tentang faktor-faktor sejarah dan 4. Pandangan filsafat ideologi yang berbeda.

Sementara itu Robert Eric Frykenberg dalam History an Belief, The Foundations of Historical Understanding,  (Lihat Robert Eric Frykenberg. History and Belief, The Foundations of Historical Understanding, (Grand Rapids: Eardmanns, 1996)) memberikan catatan tentang data yang tertulis dan terlisan. Dalam uraiannya dikatakan, seorang pengamat yang dikualifikasi sebagai saksi mata, ketika diminta pendapatnya tentang yang dilihat pada saat peristiwa terjadi, maka akan megungkapkan events itu namun yang diungkapkan adalah sudut pandangnya tentang peristiwa itu, kendati diusahakan pun yang muncul adalah pandangannya.  Dimensi itu menurutnya menunjukkan personalitas manusia dan kemampuannya memberi jawab yang tidak pernah tidak selalu menjadikan dirinya sebagai ukuran. Ini yang kemudian mempengaruhi kesadaran dalam penelitian ilmu-ilmu sosial yang memperhitungkan aspek manusia yang berbeda dengan yang lain yaitu mampu berbicara dan membahasa.

Pandangan Frykenberg itu bersesuaian dengan empat faktor yang dikemukakan oleh Profesor Nugroho.  Mendalami hal tersebut maka akan didapatkan suatu pandangangan dan penfasiran yang berbeda dalam menuliskan sejarah meski faktanya adalah sama.

Kusuma Espe [Pemerhati Sejarah, Alumni SMA Negeri 1 Jakarta Angkatan 1985]

Share
Leave a comment