Resolusi Jihad 1945 dalam Perspektif Sejarah Tematik [1]

TRANSINDONESIA.CO – Resolusi Jihad yang dilakukan oleh KH Hasyim Asy’ary pada 22 Oktober 1945 sesungguhnya memberikan semangat pertempuran bangsa Indonesia untuk mempertahankan kemerdekaannya. Namun Resolusi Jihad itu tidak dianggap sebagai bagian dari latar belakang yang menyebabkan lahirnya peristiwa 10 November 1945.

Tulisan ini berusaha menjelaskan mengapa hal itu terjadi. Melalui Perspektif sejarah tematik, peristiwa itu dapat diungkap tanpa harus merevisi sejarah.

Peran Kyai Hasyim

Sebuah film yang dirilis pada tahun 2013 berjudul “Sang Kyai” dengan pemeran utamanya Ikranegara dan Christine Hakim, disana digambarkan sang Kyai, Hadratussyeich KH Hasyim Asy’ari mendapat surat dari Bung Karno yang isinya pertanyaan dari Bung Karno, “Apa hukumnya orang yang tidak membela Tuhan, tidak membela agamanya tetapi berjuang untuk mempertahankan negara dari serangan sekutu pada tahun 1945?”. Pertanyaan itu dijawab oleh sang Kiyai, “hukumnya wajib”. (Dialog dalam Film “Sang Kyai”, 2013).

Kusuma Espe
Kusuma Espe

Sejak itu lalu muncul pernyataan tentang Resolusi Jihad yang menggelorakan pertempuran Surabaya pada 10 November 1945. Dalam pidatonya, KH. Hasyim Asy’ary menggelorakan semangat jihad di hadapan para peserta muktamar Umat Islam yang berlangsung pada 21-22 Oktober 1945. KH. Hasyim Asy’ary mendeklarasikan perang kemerdekaan sebagai perang suci alias jihad. Deklarasi itu diminta untuk disebarkan kepada seluruh warga pesantren dan umat Islam. Syariat Islam menurut Kiyai Hasyim tidak akan bisa dijalankan di negeri yang terjajah.

Dalam pernyataannya ia mengatakan, ”…tidak akan tercapai kemuliaan Islam dan kebangkitan syariatnya di dalam negeri-negeri jajahan.” Kaum penjajah datang kembali dengan membawa persenjataan dan tipu muslihat yang lebih canggih lagi.

Dikatakannya lagi Umat Islam harus menjadi pemberani.

Apakah ada dari kita orang yang suka ketinggalan, tidak turut berjuang pada waktu-waktu ini, dan kemudian ia mengalami keadaan sebagaimana yang disebutkan Allah ketika memberi sifat kepada kaum munafik yang tidak suka ikut berjuang bersama rasulullah?

Demikianlah, maka sesungguhnya pendirian umat adalah bulat untuk mempertahankan kemerdekaan dan membela kedaulatannya dengan segala kekuatan dan kesanggupan yang ada pada mereka, tidak akan surut seujung rambut pun. Barang siapa memihak kepada kaum penjajah dan condong kepada mereka, maka berarti memecah kebulatan umat dan mengacau barisannya … maka barang siapa yang memecah pendirian umat yang sudah bulat, pancunglah leher mereka dengan pedang siapa pun orangnya itu…  (Nahdlatul Ulama Online, 22 November 2014)

Demikian yang disampaikan Kyai Hasyim Asy’ari untuk menggelorakan semangat jihad kepada Umat Islam saat itu.

Segera setelah itu, ribuan kyai dan santri bergerak ke Surabaya. Dua minggu kemudian, tepatnya pada 10 November 1945, meletuslah perang sengit antara pasukan Inggris melawan para pejuang kemerdekaan.

Resolusi Jihad meminta pemerintah RI untuk segera meneriakkan perang suci melawan penjajah yang ingin berkuasa kembali. Keadaan itu kontan disambut rakyat dengan semangat berapi-api. Meletuslah peristiwa 10 November 1945. Para kyai dan pendekar tua membentuk barisan pasukan non reguler Sabilillah dengan komandannya KH. Maskur. Para santri dan pemuda berjuang dalam barisan pasukan Hisbullah yang dipimpin oleh H. Zainul Arifin. Sementara para kyai sepuh berada di barisan Mujahidin yang dipimpin oleh KH. Wahab Hasbullah.

Pertanyaan yang sama disampaikan oleh Jenderal Soedirman kepada sang Kyai ketika menghadapi Agresi Militer Belanda ke 1 pada tahun 1947. Namun surat Jenderal Soedirman belum sempat dijawab, untuk menjadi Resolusi Jihad  ke 2, sang Kiyai lebih cepat meninggal dunia. (Dialog dalam Film “Sang Kyai”, 2013).

Kusuma Espe [Pemerhati Sejarah, Alumni SMA Negeri 1 Jakarta Angkatan 1985]

Share
Leave a comment