Jalan Terjal dari 411 Menuju 212
TRANSINDONESIA.CO – Hari ini kita melihat diberbagai media elektronik dan media sosial, Kapolri mengadakan pertemuan dengan Tim GNPF MUI, Pengurus MUI, dikantor MUI untuk membahas persiapan Aksi Bela Islam III, 2 Desember 2016.
Dalam pertemuan tersebut sudah disepakati ada 6 point penting yang substansinya sudah menggambarkan adanya kompromi terkait aksi super damai tersebut.
Kesepakatannya yang terpenting Polri menyetujui ABI III, 2 Desember 2016, dalam bentuk “Aksi Super Damai” gelar sajadah dengan tuntutan tegakkan HUKUM yang berkeadilan.
Bentuknya gelar dzikir dan doa keselamatan negeri serta tausiah dilapangan Monas dan sekitarnya, sejak pukul 08:00 sampai Shalat Jumat dengan Khatib KH Ma’ruf Amin.
Hal lainnya, persoalan tekhnis untuk persiapan Shalat Jumat dan pengawalan kembali pulang. GNPF MUI tidak bertanggung jawab jika ada gerakan yang diluar tersebut diatas dan Polri dapat menindak susuai dengan ketentuan yang berlaku.
Nah, yang penting juga adalah point terkahir bahwa Polri dan Polda setempat TIDAK MELARANG keberangkatan termasuk menghalang-halangi perusahaan bus yang akan mengantarkan keberangkatan peserta aksi.
Memang belakangan ini, pihak Kepolisian begitu gencar menghimbau ummat Islam untuk tidak datang ke Bundaran HI dan Monas untuk ABI III, bahkan sempat ada kekhawatiran akan melakukan “makar” terhadap Pemerintahan Jokowi. Tapi dipihak lain, Menko Polhukam dan Menhan tidak yakin akan adanya “makar” tersebut.
Kondisi tersebut menyebabkan Kapolri mungkin “galau” atau sudah ada arahan Presiden untuk tidak melarang ABI III tersebut. Sebab berbagai larangan dan hambatan untuk melarang bus-bus mengangkut para peserta demo berangkat ke Jakarta di beberapa Kabupaten berimplikasi mungkin “diluar dugaan”.
Di Cimahi, massa umat bergerak dengan jalan kaki, dan di Solo dan daerah lainnya akan naik sepeda motor, naik truk atau apapun kendaraan yang ada karena ibarat menahan “AIR BAH” sekecil apapun ada lobang air akan mengalir bahkan dengan debit yang tinggi. Semakin dilarang semakin yakin bahwa mereka memang sedang berjuang dijalan Allah. LUAR BIASA.
Jangka waktu tiga minggu lebih dari ABI II ke ABI III, ternyata cukup efektif untuk mengajak dan terpanggilnya umat Islam untuk datang ke Jakarta “unjuk rasa” dengan Shalat Jumat di Jln.Thamrin – Sudirman, untuk menuntut keadilan secara hukum terhadap Ahok yang menista agama.
Yang membuat situasi semakin memanas adalah tuduhan Ahok bersamaan dijadikan tersangka dalam wawancara dengan ABC menuduh peserta ABI II dibayar Rp500.000.-.
Betul-betul mulut “ember” dan tidak ada terlihat usaha para pejabat pemerintah untuk mengingatkan agar Ahok menahan diri karena statusnya tersangka dan Gubernur DKI Non Aktif.
Jadi masih ada kekhawatiran umat Islam apakah Kepolisian dan Jaksa benar-benar akan membawa Ahok ke Pengadilan. Ditambah lagi Ahok tidak ditahan, sedangkan kasus-kasus penista agama sebelumnya setelah dijadikan tersangka langsung ditahan.
Analisa saya, situasi-situasi seperti tersebut diatas, dan ditambah lagi adanya komentar-komentar Ulama/tokoh agama tertentu yang menyatakan Shalat Jumat dijalan tidak syah.
Padahal semua orang tahu yang paling dangkal agamanya pun memahami betul bahwa seluruh permukaan bumi Allah ini syah untuk tempat beribadah /shalat sepanjang tidak ada najis.
Jadi, yang bergerak sekarang ini adalah jaringan umat Islam ”arus bawah”, yang memahami Islam secara murni dan sederhana tanpa ada kepentingan politik apapun, dan mereka menyadari sebahagian elite Islam mencoba bermain mata dengan pemerintah memanfat situasi ini untuk carmuk (istilah Medan maksudnya cari muka).
Yang bergerak dilapisan bawah dan menengah ini, dan sebahagian lapisan elite Islam adalah lintas mazhab, lintas aliran, lintas ormas Islam, santri maupun abangan (kecuali yang Islam Phobia dan kaum munafiqun), sebagai in-put berconvergensi menjadi out-put yang luar biasa untuk menjaga Aqidah Islamiyah.
Saya belum dapat meramalkan setakad ini berapa besar peserta demo yang akan bergerak ke Jakarta. Bisa lebih besar dari 411, dan bisa lebih kecil atau sama besarnya.
Bisa lebih besar karena tuduhan dibayar Rp500.000.- oleh si mulut “ember” dan berbagai upaya pelarangan yang dilakukan sebelumnya, ditambah themanya dzikir kepada Allah. Bahkan sebahagian menjadikannya wisata “Ibadah” sebab yang dari daerah mungkin masih ada yang belum pernah ke Monas.
Apalagi Shalat Jum’at di Monas adalah sesuatu yang jarang terjadi. Boleh jadi jumlahnya lebih kecil dari 411, karena tuntutan Ahok diadili sudah terpenuhi.
Ibarat teori bencana alam gempa bumi tektonik. Gempa pertama kali terjadi misal sebesar 8 SR, maka biasanya gempa susulan lebih kecil tetapi berulang-ulang. Dan yang berulang ini yang menuntaskan kehancuran yang terjadi pada gempa pertama.
Intinya kalaupun ABI III ini lebih sedikit massanya dari ABI II, tetapi berulang-ulang terjadi karena inti persoalannya tidak terselesaikan maka akan dapat mempengaruhi situasi sosial ekonomi bangsa ini.
Bagi kepolisian, kebijakan yang diambil untuk membolehkan ABI III, tentu sudah berdasarkan analisis intelijen yang tidak ”error”, dan sudah memperhitungkan untung ruginya bagi Negara ini.
Demokrasi di Indonesia tidak akan bisa surut kebelakang. Sekali layar terkembang, surut kita berpantang.
Kepolisian menyadari betul bahwa dunia sedang memandang kita, bahka bersiap-siap untuk dijadikannya mangsa santapannya. Demokrasi Indonesia adalah kekuatan bangsa yang menjadikan Indonesia tetap kokoh sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Memang tidak mudah mengendalikan kekuasaan, apalagi jika Iman kita lemah seolah-olah kita ini akan hidup selamanya dan akan berkuasa selama-lamanya.
Lihat Fidel Castro, lima puluh tahun berkuasa, akhirnya tidak kuasa menolak panggilan Tuhan Yang Maha Kuasa.
Sebagaimana tulisan saya sebelumnya “KEARIFAN POLISI” di blog saya, www.jurnalsocialsecurity.com dan di WhatsApp, kita ternyata masih mempunyai secercah harapan lagi kepada Jenderal Tito Karnavian agar menjadi pengayom masyarakat secara adil dan penuh empati, tetap menjaga integritas, etos kerja dan kemandirian sebagai pilar utama REVOLUSI MENTAL.
Selasa, 29 Nov 2016
[Chazali H. Situmorang – Dosen FISIP UNAS – FKIP UNIDA/Ketua IKA USU Jakarta]