Kepanikan, “Ahok Tersangka, Ahok Lolos”
TRANSINDONESIA.CO – Setelah fase “serba terlambat” dilalui, pasca 4 November 2016, maka saat ini bangsa Indonesia berada pada fase dua minggu yang menentukan. Peristiwa yang terjadi pasca 411, dengan berbagai ragam peran yang dimainkan oleh pejabat publik, mulai dari Presiden sampai dengan segenap pembantunya untuk berkeinginan me”normal” kan keadaan, dan kembali kekadaan semula, agar roda pemerintahan dapat berjalan dengan baik.
Namun kalau kita simak, langkah kebijakan yang dilakukan berbagai pihak yaitu pejabat publik, dan kelompok masyarakat, sepertinya menuju satu arah tapi ada juga yang terkesan dimasyarakat berlawanan arah. Dan hal ini menyebabkan semakin suburnya medsos dengan berita-berita bom bastis, dan saling melempar isyu yang terkadang tidak lagi menggunakan akal sehat.
Ada kepanikan disatu pihak jika Ahok jadi tersangka, dan ada kepanikan di pihak lain jika Ahok “lolos” sebagai tersangka.
Padahal, bukti dan saksi sudah sangat meyakinkan, dan kekhawatiran tersebut beralasan, sebagai contoh kasus RS Sumber Waras yang menurut BPK ada kerugian Negara sebesar Rp750 miliar, tapi oleh KPK tidak cukup bukti karena tidak ada “niat jahat”, dan beberapa kasus lainnya yang “seolah-olah” Ahok mendapat perlindungan.
Kondisi psikologis masyarakat inilah yang berkembang dalam dua minggu menjelang penentuan status Ahok oleh Polisi.
Sejak 5 November 2016, Presiden Jokowi, rajin mendatangi pimpinan organisasi Islam. Secara berantai bersilaturrahmi dengan PB NU, dilanjutkan dengan PP Muhammadiyah, dengan harapan mendinginkan situasi dan tentunya untuk mendapatkan masukan.
Presiden menegaskan tidak melindungi Ahok karena sudah memasuki ranah hukum, dan memerintahkan Polisi untuk melaksanakan gelar perkara secara terbuka, dan tujuannya diharapkan dapat menenangkan hati Ummat Islam.
Setelah pertemuan, kedua organisasi Islam besar tersebut membuat pernyataan yang intinya tidak bergeming agar kasus Ahok dugaan penista agama agar di proses secara hukum. Klop dengan Presiden.
Demikian juga dengan para pimpinan Ormas Islam lainnya yang di undang ke Istana, substansi yang disampaikan sama, dan pernyataan Ormas Islam yang disampaikan H.Yusnar Yusuf dari PB Al Washliyah juga menegaskan Ahok harus diproses secara hukum, dan ditambahkan lagi jangan pakai “pura-pura” atau kalau istilah Medan “ecek-ecek”. Klop Polri diingatkan harus sungguh-sungguh.
Kebingungan dimasyarakat mulai timbul, pada saat Presiden mengunjungi markas Kopassus, Markas Brimob, Markas Marnir, yang tidak relevan dengan keadaan masyarakat yang terjadi.
Semua sepakat demo berjalan damai, bahkan ada yang pengantenan di Katedral di bantu para unjuk rasa, ada pasukan semut mengutipi sampah, dan Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantio pada acara di ILC menyatakan, “demo 411 adalah demo yang damai dan terindah”.
Kecuali ada insiden kecil ba’da Isya yang sebenarnya bisa dieliminir jika pihak kepolisian agak lebih sabar dalam menghadapi masa demo yang agak lebih “genit” memancing suasana.
Di Kopassus, Presiden menyatakan Kopassus dibutuhkan Negara ini jika dalam keadaan darurat, suatu early warning keadaan Negara yang mngkin akan terancam, siapa yang mengancam dan kenapa mengancam belum ada penjelasan lebih lanjut.
Mungkin saja Presiden mendapatkan info ada pihak-pihak tertentu yang mencari peluang untuk menggoyang Pemerintah, padahal sampai detik ini keinginan Ummat Islam hanya satu yaitu “Adili Ahok”, dan Ummat meminta hal tersebut kepada Presiden baik sebagai Kepala Pemerintahan maupun sebagai Kepala Negara.
Jawaban Presiden jelas “TIDAK IKUT CAMPUR PROSES HUKUMNYA”. Artinya Tidak ada hubungannya dengan langkah mobilisasi Tentara dan Polisi untuk berhadapan dengan rakyatnya.
Bukan tidak mungkin, langkah-langkah Presiden mengkonsolidasi Tentara dan Polisi untuk memastikan bahwa TNI/POLRI tetap berada dibawah kendali Presiden sebagai Pimpinan Tertinggi TNI/POLRI.
Karena, kali ini Presiden lebih hati-hati lagi dalam menghadapi adanya demo damai jilid III pada 25 November 2016, yang akan semakin kencang mengarah ke Istana Presden, jika Ahok lolos dari tuduhan penistaan agama oleh Polisi pada 18 November 2016, dan gelar perkaranya dimulai Selasa 15 November 2016.
Jika demikian situasinya, Presidden harus hati-hati menggunakan kekuatan Tentara, karena Tentara itu lahir dari rakyat dan tugas utamanya melindungi rakyatnya, dan yang dituntut rakyat itu adalah “Rasa Keadilan” bukan memberontak.
Dalam situasi seperti ini hati nurani sebagai Negarawan harus dikedepankan, mulai dari Presiden dan penyelenggara Negara dibawahnya.
Hal lain, yang kita cermati lagi, adalah semakin bertambah pemain baru yang mengatas namakan Relawan -Relawan yang mengawal Kebhinekaan, mengawal NKRI, dan bahkan adanya pertemuan Ulama Rakyat (apa beda dengan Ulama lainnya?) yang diprakarsai oleh Parti Politik tertentu dan dihadiri Presiden, yang tentunya dengan niat yang baik dan tulus.
Tapi apakah itu solusi?, Kapling Partai itu di DPR, bicaralah walaupun saat ini masa reses, panggil itu anggota DPR, bersidanglah, khususnya Komisi Komisi III, Komisi II dan Komisi VIII. Jangan tiarap, bukan tempatnya lagi menyesakkan masa partai di masyarakat.
“Ini persoalan hati ummat yang terusik rasa keagamaannya” kata Din Syamsudin, walaupun tingkat ketaatannya pas-pasan tapi kalau Al Qur’an yang dihina semua menjadi militan kecuali yang “kaum munafikun” yang akan terlihat dari komentar-komentarnya di medsos.
Artinya, situasi dua minggu terakhir ini, arahnya sudah semakin tidak jelas, dan kontribusi pemerintah juga yang menyebabkan hal tersebut, dan kalau sebelum 411 pemerintah under-estimate, pasca 411 pemerintah menjadi over-estimate, hal tersebut dikhawatirkan akan menjurus kearah represif.
Jika ini terjadi tidak ada satu pihakpun yang diuntungkan, kecuali kelompok yang ingin memporakporandakan NKRI.
Solusi
Pertanyaan mendasar, apa solusinya, menghadapi situasi sekarang ini?. Jawabannya apa sebetulnya masalahnya?.
Kita pahami masalah itu adalah adanya ‘gap’ antara harapan masyarakat dalam hal ini Ummat Islam yang direpresentasikan pernyataan keagamaan MUI sebagai lembaga yang akui oleh Undang-Undang, yaitu proses hukum dan adili Ahok, karena telah (diduga) menistakan agama Islam.
Dengan kenyataan, sikap dan langkah pihak Kepolisian yang “melambatkan” bahkan terkesan mereduksi tuntutan tersebut, karena tidak adanya niat jahat dan telah adanya pernyataan maaf dari yang bersangkutan.
Kalau ‘gap’ tersebut dihilangkan, proses hukum segera dituntaskan, perkara dibuat P21 dan diserahkan keproses pengadilan, maka persoalan selesai. Biarlah pengadilan yang memutuskan perkara Ahok, dan diberbagai kesempatan Ahok menyatakan siap masuk penjara.
‘Gap’ akan terbuka lebar, dan semakin dalam, jika langkah pihak Kepolisian tidak sesuai dengan rasa keadilan Ummat dan Keputusan Fatwa MUI, apalagi dinyatakan tidak cukup bukti Ahok menistakan agama. Implikasi ‘gap’ yang dalam ini, sangat susah diprediksi, dan nampaknya rencana demo tanggal 25 November 2016 merupakan salah satu bentuk dari adanya ‘gap’ tersebut.
Hanya ada 2 orang Bangsa Indonesia (selain kekuasaan Allah SWT) yang dapat mencegah dan menghilangkan ‘gap’ dimaksud, yaitu Presiden Jokowi dan Kapolri Jenderal Tito Karnavian.
Presiden sudah menyatakan tidak mencampuri proses hukum, artinya Presiden tidak akan menekan Jenderal Tito, dan Jenderal Tito mengedepankan rasa keadilan Ummat Islam dan Rakyat Indonesia, dengan mengajukan Ahok ke proses pengadilan. Dengan catatan tidak mengkaitkannya dengan kepentingan politik, bisnis, kekuasan, dan kepentingan elite tertentu.
Jika hal tersebut yang dilakukan Presiden Jokowi dan Jenderal Tito, maka Insya Allah Ummat Islam akan mendoakan kedua mereka untuk masuk syurga. Aamiin YRA.[15 November 2016]
[Chazali H. Situmorang]