Resolusi Jihad 1945 dalam Perspektif Sejarah Tematik [2]

TRANSINDONESIA.CO – Resolusi Jihad yang dilakukan oleh KH Hasyim Asy’ary pada 22 Oktober 1945 sesungguhnya memberikan semangat pertempuran bangsa Indonesia untuk mempertahankan kemerdekaannya. Namun Resolusi Jihad itu tidak dianggap sebagai bagian dari latar belakang yang menyebabkan lahirnya peristiwa 10 November 1945.

Tulisan ini berusaha menjelaskan mengapa hal itu terjadi. Melalui Perspektif sejarah tematik, peristiwa itu dapat diungkap tanpa harus merevisi sejarah.

Tentang Resolusi Jihad

Tentang Resolusi Jihad itu, beberapa waktu lalu di sebuah media,  (Republika, 10 November 1995) seorang penulis mengeluhkan terabaikannya peranan dunia pesantren dalam peristiwa 10 November 1945. Keluhan itu didasarkan pada “Resolusi Jihad” yang dikeluarkan oleh Pimpinan Nahdlatul Ulama (NU) di Surabaya pada  22 Oktober 1945 tidak disinggung dalam penulisan sejarah yang membahas peristiwa tersebut. Padahal Resolusi Jihad itu yang kemudian diperkuat dengan Muktamar Umat Islam di Yogyakarta pada 7 November 1945, justru yang mengilhami kejadian tersebut, karena di dalam Reso¬lusi Jihad diserukan oleh pimpinan NU untuk mempertahankan tanah air, bangsa, negara dan ag¬ama dari serbuan pihak Belanda yang mencoba kembali ke Indo¬nesia yang telah merdeka dengan membonceng pihak sekutu.

Kusuma Espe
Kusuma Espe

Sementara itu pada Muktamar Umat Islam secara fisik menghasilkan pembentukan barisan Sabilillah dan Hizbullah, yang digunakan untuk mempertahankan negara Proklamasi 1945, sedangkan pada saat itu pemerintah Republik Indonesia masih ragu-ragu menentukan sikapnya terhadap kedatangan kembali tentara Be¬landa.

Tulisan itu dibuat sebagai tanggapan atas buku William H Frederik, Vision and Heat: The Making of Indonesia Revolution,   (William H Frederik,  Pandangan dan Gejolak: masyarakat kota dan lahirnya revolusi Indonesia (Surabaya 1926-1946), (Jakarta: Gramedia, 1989)) yang tidak menceritakan adanya Resolusi Jihad satu bulan sebelum peristiwa itu terjadi meskipun yang digarap Frederik adalah sejarah sosial yang menyangkut sejarah kota Surabaya dalam kurun waktu 1926-1946.

Keluhan itu ditanggapi oleh Hermawan Sulistyo penerjemah buku itu dengan membenarkan keluhan tersebut. la katakan bahwa memang sejarah tertulis selalu merupakan hak dan kadangkala monopoli golongan atau kelompok yang menang dalam pertarungan politik. Semakin terdistribusi kekuasaan politik kel¬ompok pemenang, semakin beragam nuansa sejarah yang dimiliki suatu masyarakat.

Alasan Hermawan tersebut di¬dasarkan pada peta politik nasional sepuluh tahun pasca kemerdekaan yang didominasi oleh peran Partai Sosialis Indonesia (PSI) yang menyebabkan tulisan sejarah masa itu mengikuti alur yang berkuasa. Dengan demikian kajian sejarah tersebut tidak terlepas dari bias sumber yang digunakan. Karena berita atau dokumen yang ada saat itu mengikuti alur orang yang berkuasa demikian pula dengan interview yang dilakukan.

Komunitas Islam (NU), pencetus Resolusi Jihad, setelah revo¬lusi usai,  mereka merasa selesai pula tugasnya dan banyak diantara mereka yang kembali ke pekerjaan semula. Tidak terlintas untuk melanjutkan menjadi militer ataupun birokrat di pemerintahan. Kalaupun ada jumlah mereka sedikit dan bukan pada posisi yang strategis; Suatu pola pikir sederhana yang mendasarkan diri pada semangat pembelaan agama yang merupakan tugas suci komunitas. Akibatnya bargaining positionnya dikalahkan oleh orang yang terlibat secara penuh di pemerintahan maupun militer. Maka ketika ada penelitian tentang suatu peristi¬wa sejarah yang menjadi narasumbernya adalah orang yang sedang berkuasa dengan nuansa sejarah yang dimilikinya.

Akhirnya komunitas NU yang meliputi Hizbullah-Sabilillah yang telah kehilangan posisi politiknya karena mundur dari arena politik  praktis berkurang kesempatannya sebagai tentara, sumber berita maupun sebagai pelaku sejarah yang sebetulnya perlu di interview. Dari kondisi tersebut, akhirnya Resolusi Jihad yang menurut penulis itu memberikan inspirasi untuk memanggul senjata pada peristiwa 10 November 1945 oleh penulis sejarah lainnya jasanya tidak_disinggung.

Historiografi

Jika kita membaca buku Will¬iam Frederick tersebut, sebetulnya telah memberikan informasi dan peluang untuk meneliti akur¬asi Resolusi Jihad yang mengilhami peristiwa 10 Nopember 1945. Dukungan KH. Wahid Hasyim  sebelum 10 November 1945 seperti yang tertulis pada buku itu, jika ditelusuri lebih lanjut bisa membuka penelitian berikutnya tentang adanya Resolusi Jihad sebelum peristiwa 10 November 1945, meskipun secara eksplisit tidak disebutkan dalam buku itu. Demikian pula dengan pidato Ruslan Abdul Gani yang banyak di wawancarai di buku Freder¬ick itu, ketika memperingati Hari Pahlawan di tahun enampuluhan, tidak mengingkari peran alim ulama terhadap peristiwa terse¬but.

Dalam historiografi (sejarah penulisan sejarah) dikenal jenis penulisan sejarah Nerelando centrisme dan Indonesia centrisme. Kedua jenis penulisan tersebut merupakan bentuk penulisan sejarah yang dilihat dari sudut pandang si penulis. Pada bagian ini latar belakang budaya penulis sangat mempengaruhi  corak dari jenis penulisan tersebut. Subjektifitas penulis akan mewarnai hasil karva tulisan dalam suatu peristiwa. Dengan demikian tentunya terdapat perbedaan pandangan dalam melihat suatu peristiwa yang terjadi. Pada penulisan sejarah dari sudut pandang Nerelando centirsme misalnya yang ditulis adalah pandangan penulis Belanda yang melihat manusia di seberang sana sebagai obyek tulisannya.

Sementara dalam Indonesia centrisme adalah kebalikannya. Namun, yang diinginkan dalam sebuah tulisan adalah  bagaimana meletakkan tekanan pada peranan sejarah Indonesia dalam pandangan orang dalam. Metode sejarah akan membuka dengan menekankan dinamika yang baik dan tersedianya kesempatan kepada para penulis orang Indonesia sendiri, sehingga Indonesia bukan semata ajang dari permainan kekuatan luar yang semaunya menuliskan sejarahnya.

Dengan penekanan  seperti itu maka dapat terhindar dari upaya melukiskan pemujaan suatu komunitas terhadap komunitas lain dalam penulisan sejarah, yaitu pahlawan menjadi penjahat dan pengkhianat menjadi hero dalam ukuran suatu masyarakat.

Dari sudut pandang seperti itu maka studi sejarah modern menjadi menarik karena tidak terpaku hanya pada sejarah politik yang menampilkan hanya kalangan elit dan tokoh semata, melainkan lebih luas lagi. Ruang lingkup tulisannya mencakup hampir segala aspek kehidupan yang memiliki dimensi sosial. Oleh karena itu sejarah yang demikian disebut sebagai sejarah sosial yang bisa berupa sejarah pergerakan kemerdekaan, sejarah revolusi, sejarah kota, sejarah gerakan buruh dan sebagainya yang menjadi concern penulisnya.

Kusuma Espe [Pemerhati Sejarah, Alumni SMA Negeri 1 Jakarta Angkatan 1985]

Share