“OMISIONIS”-KAH MEDIA?

TRANSINDONESIA.CO – Bacalah media mainstream hari ini, apa kabar tugas moralnya? Ketika korporasi media mainstrem tak lagi menjadi kantor pewarta yang mereproduksi berita, dan tak lagi melaporkan peristiwa.  Ketika stasiun televisi yang menggunakan frekuensi gelombang elektromagnetik yang dipinjam dari ranah publik tak menyiarkan berita peristiwa signifikan.

Akankah patut masih menyelendangkan status profesional kepada media itu  sebagai angkatan pengawal moral-etika bangsa?  Yang menjadi wacthdog kepada the ruling class alias penguasa.

Akankah mereka sedang bersalin rupa menjadi agen kepentingan ultra korporasi dan patut diduga menghamba menjadi sekerup politik? Atau, mereka sedang melangkah menemui tepi zaman, ditinggalkan pembaca dan pemirsa yang lebih leluasa dengan pewarta warga dan pegiat sosial media yang bernas tanpa menghamba kepada sesiapa.

Ilustrasi
Ilustrasi

Akankah mereka sedang  menapaki pinggir zaman yang tengah bersiap  menerima  ucapan selamat berpisah dari pembaca dan pemirsa? Kalau perbuatan tak melakukan sesuatu  dari orang  tertentu yang justru fardhu melakukan sesuatu  disebut dengan omisionis, apakah kualifikasi  omisionis  bisa dirumuskan kepada media yang dengan sadar sengaja  tak hendak mewartakan peristiwa? Bukan peristiwa dan fakta sembarang, tapi fakta dan peristiwa signifikan. Berita yang berkualifikasi penting dan menarik dari sisi ilmu pemberitaan, seperti pelajaran dari ruang kelas akademi komunikasi.

Sudah legal, sesuai pandangan umum, dan telah memiliki preseden hukum apabila  pelaku media melakukan berita bohong dan/atau mewartakan fakta/peristiwa yang tak patut  dapat diadukan sebagai mengusik fungsi-fungsi  etis media. Seperti pelajaran hukum pers dalam ruang kelas fakultas hukum.  Akankah media yang omisionis dapat diuji kadar kepatuhannya kepada takaran moral-etika sebagai profesional media?

Boleh juga ditanyakan pendapat itu kepada “tuan-tuan” Dewan Pers dan Komisioner Pengawal Siaran yang Independen dan eksistensinya diakui UU Pers dan UU Penyiaran. Demi membangun norma etika yang dewasa dan tertata lebih sempurna.

Misal kata, kalaulah media loyal dan tabah menjaga etika, akankah membiarkan iklan rokok yang zat adiktifnya dengan efek karsinogeniknya yang membahayakan hak hidup itu boleh diselenggarakan pada halaman koran? Pun demikian bolehkah ditayangkan pada  durasi siaran media penyiaran?  Seakan hendak menyimpan kebenaran  perihal bahaya adiktifnya dari khazanah pengetahuan.  Jikalau, quodnon  meniadakan fakta/peristiwa signifikan dengan cara sengaja tidak mewartakannya, akankah bangsa ini menyadari itu sebagai halnya  perbuatan omisionis?

Namun, kita masih patut bersyukur dan bergembira, karena berita signifikan yang asak Jakarta bisa ditengok lewat jasa baik pewarta warga (citizen jurnalist) dan pegiat sosial media, yang dengan cara nirlaba mengunggah berita, menaikkan gambar dan audio ikhwal suasana Jakarta. Tentu dengan sortir yang bertanggungjawab menjaga norma dan etika. Itu patut diberi apresiasi.  Sehingga, dari perkakas gadget dalam genggaman, patik bisa membaca, menengok, dan tentu saja mencerna fakta dengan cara cerdas, dewasa, dan tanpa syakwasangka. Pun demikian patik sangat terdidik untuk konsisten dan loyal menjaga bhinneka tunggal ika sebagai cara beradab menjadi Indonesia. Itu paham yang sudah final, tak perlu diutak atik malah  mesti dirawat dan dijaga agar sehat wal afiat.

Kembali pada soal absen berita. Akankah lebih bernilai berita sehambaran kecil pohon kembang taman merebah daripada suara rakyat meruah menjaga penghormatan kepada sila pertama Ketuhanan yang Maha Esa, menjaga titik taut yang disebut Bung Karno sebagai  anasir “yang mempersatukan batin bangsa semesra-mesranya”?  Bukankah itu bernilai berita?

Esai ini hanyalah ajakan untuk mengambil waktu sejenak saja untuk merenung, dan mengambil waktu banyak untuk terus menerus dewasa, terdidik dan kritis kepada sajian media. Termasuk pula absennya media. Sepertinya patik  dalam keadaan sadar tengah menimbang hendak berhenti melanggan koran harian utama itu. Bagaimana dengan anda?

[Muhammad Joni – Ketua Masyarakat Konstitusi Indonesia (MKI)]

Share