Ahok dan Salman Rushdie
TRANSINDONESIA.CO – Ayatollah Rohullah Khomeny pada tahun 1989 mengeluarkan fatwa bahwa Salman Rushdie harus dibunuh dimanapun berada karena telah menghina Al Quran. Salman menghina Al Quran dalam bukunya “ayat ayat setan”. Pemerintah Iran akan memberi hadiah bagi yang berhasil membunuh Rusdhi.
Peristiwa ini menggemparkan dunia, karena buku “ayat ayat setan” diterbitkan di Inggris tahun1988 atas nama _freedom_.
Sementara Khomeny adalah pemimpin bangsa Iran. Namun, akhirnya sampai saat ini masalah agama menjadi persolan lintas negara. Banyak kekerasan kekerasan di dunia terjadi seperti bom, penembakan dan serangan serangan lain dilakukan atas nama agama, khususnya Islam.
Lalau mengapa Ahok mengekspresikan kebencian terhadap Al Quran di negara yang mayoritas penduduknya Islam? Hal ini tentu perlu dicermati lebih lanjut.
Pertama, apakah Ahok berada dalam kondisi panik dengan beberapa survey yang menunjukkan elaktibilitasnya terjun bebas?
Kedua, apakah Ahok memang mengembangkan perlawanan terhadap isu mayoritas vs minoritas dengan skenario penyerangan terhadap Islam dengan harapan seluruh minoritas “blocking vote” dibelakang dia? sebagai modal pasti suara dukungan? Atau Ketiga, apakah ini hanya kekhilafan biasa manusia?
Dalam hal pertama, memamg kita melihat bahwa ada korelasi terjun bebasnya dukungan terhadap Ahok terkait sentimen Agama dan Ras.
Namun, mencari alasan kepada kesalahan Islam dan orang-orang Islam adalah kesalahan besar. Bangsa ini belum sejauh Republik Islam Iran yang bisa mengeluarkan fatwa kepada Salman Rusdhi, keradikalannya. Di sini mayoritas Islam Jawa yang _tepo seliro_ or tenggang rasa.
Orang orang yang melawan Ahok pun selama setahun ini dalam proteksi wong cilik, diwakili secara utama oleh tokoh non muslim, seperti Rohaniawan Katolik Romo Sandyawan, tokoh masyarakat Tionghoa Jaya Suprana, Lien Siok Lan dan Lius Sungkarishma, pemuda Kristen Ferdinan Hutahaean, dan lainnya.
Bahkan tokoh pemuda Tiong Hoa, Zeng Wei Jan dan Wawat Kurniawan menuduh Ahok yang selalu memainkan “playing the victim”, dalam isu rasial ini.
Sesungguhnya Ahok harus sadar bahwa beberapa menteri Jokowi ataupun kabinet sebelumnya yang berasal dari etnis Tionghoa maupun agama non muslim tidak menjadi isu bagi mayoritas ummat Islam.
Jadi, seandainya Ahok panik dengan melorotnya elaktibilitasnya dalam berbagai survey, harus dicari cara cara yang positif dalam merespon hal tsb.
Kedua, jika Ahok melakukan strategi untuk memperkuat barisan kaum minoritas sebagai “blocking vote” untuknya, hal ini tentu akan lebih elegan jika Ahok mencontoh pikiran Max Weber, misalnya, yang mengetengahkan ajaran dia terhadap kemajuan sebuah bangsa. Bukan menjelekkan ayat suci sebuah agama.
Sebagai sebuah agama atau pun ras yang mewakili Ahok, jika dimunculkan keunggulan2 positifnya, nanti akan menyumbangkan banyaknya nilai2 positif bagi kita.
Ketiga, jika itu sebuah kekhilafan, tentu Ahok harus segera meminta maaf bagi ummat Islam. Jangan malah menjual kesombongannya sebagai penguasa yang penuh backing aparat.
Ummat Islam Indonesia tentu berbeda dengan Islam Iran yang bisa mengeluarkan Fatwa Bunuh, seperti kasus Salman Rusdie. Tapi bukan berarti ummat Islam Indonesia untuk menjaga kehormatannya tidak mengerti “harga sebuah peti mati”.[Dr.Syahganda Nainggolan, Ketua Dewan Syariah Serikat Pekerja PPMI98]