Paduka Megawati, Ahok dan Soekarnoisme: Menatap Catur Politik Jakarta

TRANSINDONESIA.CO – Megawati Soekarnoputri, presiden pertama wanita memang sudah sepantasnya dipanggil “Paduka”.  Sebuah panggilan terhadap orang yang mulia atau terpaksa dianggap mulia.

Mengapa demikian? Lihatlah 4 fenomena berikut: Pertama, rakyat marhaen telah berbondong-bondong mengekspresikan diri menolak Ahok sebagai calon Gubernur DKI Jakarta. Karena Ahok dianggap gagal, arogan dan penindas. Mereka datang mengekspresikan itu kepada Megawati, melalui simbol mendatangi kantor PDIP, beberapa waktu lalu, meminta Mega untuk tidak mendukung Ahok pada pilkada nanti.

Dalam masyarakat yang demokratis dan egaliter, tentu seharusnya kaum Marhaen itu mengutuk Megawati, karena dialah penanggungjawab rezim DKI selama 5 tahun ini, setidaknya “sharing responsibility”. Namun karena dia Paduka, maka rakyat tetap saja berkeluh kesah.

Megawati Soekarno Putri di seminar konstitusi di MPR, Selasa (18/8/2015).(Ant)
Megawati Soekarno Putri.[DOK]
Bambang DH, ketua PDIP DKI yang dianggap terlalu banyak memfasilitasi gerakan kaum Marhaen ini, malah diberhentikan.

Kedua, orang orang berspekulasi bahwa Megawati telah melakukan politik “dagang sapi”. Melakukan barter politik terhadap Jokowi. Mega akan mendukung Ahok sebagai cagub, dengan bayaran Jokowi mendukung mantan adc nya, Budi Gunawan (BG) sebagai Kepala BIN.

Isu ini telah dibantah pimpinan PDIP. Berbagai pihak terlanjur percaya. Yorrys Raweyai, Ketua Golkar, pendukung Ahok, mendahului statement bahwa PDIP akan mengumumkan pencalonan Ahok tanggal 9 September. Faktanya, BG sudah dilantik, Megawati belum menyatakan dukungan terhadap Ahok. Statement Yorrys dimentahkan PDIP.

Yorrys dan pendukung Ahok lainnya tidak membuat statement kemarahan terhadap Megawati. Megawati adalah Paduka. Tetap harus ditunggu kabar selanjutnya.

Ketiga, Poltracking sebuah lembaga kajian politik dan survey, menurunkan hasil risetnya yang terbaru, kemarin, 59 halaman, soal cagub dan harapan atas Jakarta. Riset ini tidak provokatif seperti karya riset Prof Hamdi Muluk.

Secara metodologi, validitas dan reabilitas sudah saintifik. Intinya menyimpulkan bahwa jika Megawati memilih kader PDIP sendiri, Tri Rismaharani, dipasangkan dengan pendamping cawagub yang sudah beredar, Ahok akan dikalahkan.

Riset ini memberi penguatan atas sosok Risma dan justifikasi bahwa PDIP punya kekuatan menentukan kadernya sendiri sebagai cagub DKI, bukan mengusung kader partai lain atau sosok independen.

Hal ini sudah menjadi agenda sentral Megawati sebelumnya, yakni di Sumut, Jatim, Jateng, Jabar dan Jakarta pada pilkada lalu. Banyak pihak bertanya, mengapa Megawati sepertinya lamban? Namun, hasil survey ini juga menunggu Paduka Megawati.

Keempat, fenomena ini betul luar biasa, yakni pandangan Hasyim Muzadi yang diungkapkan ke publik kemarin, bahwa dia akan menjadi jurkam cagub PDIP di DKI, jika PDIP mencalonkan kadernya sendiri.

Luar biasa karena Hasyim Muzadi adalah sosok kharismatik dari ormas besar NU yang seharusnya netral. Sebagai penasehat Jokowi, Hasyim berseberangan dengan Jokowi soal dukungan terhadap Ahok.

Disamping itu, hasrat Hasyim ini dikaitkan dengan alasan bahwa dukungan PDIP terhadap calonnya sendiri adalah bentuk perlawanan terhadap kekuatan modal yang selalu mendikte pemilu.

Itu adalah ide inti daripada inti Soekarnoisme dan Marhaenisme, kata Muzadi.[Dr Syahganda Nainggolan – Ketua Dewan Direktur Sabang Merauke Circle]

Share
Leave a comment