Pengusaha Sultra Diperiksa KPK Terkait Nur Alam
TRANSINDONESIA.CO – Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memeriksa Direktur PT Bososi Pratama, Andi Uci Abdul Hakim dalam penyidikan dugaan tindak pidana yang diduga dilakukan oleh Gubernur Sulawesi Tenggara (Sultra), Nur Alam.
“Andi Uci Abdul Hakim diperiksa sebagai saksi untuk tersangka NA (Nur Alam),” kata Kepala Bagian Pemberitaan dan Publikasi Priharsa Nugraha di Jakarta, Kamis, 8 September 2016.
Nur Alam ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan tindak pidana korupsi terkait persetujuan pencadangan wilayah pertambangan persetujuan izin usaha pertambangan (IUP) eksplorasi dan persetujuan peningkatan IUP eksplorasi menjadi IUP produksi ke PT Anugerah Harisma Barakah (AHB) Sulawesi Tenggara 2008-2014.
Berdasarkan direktori putusan Mahkamah Agung No 22/Pid.B/2015/PN.Unh di Pengadilan Negeri Unaaha, Konawe, Sulawesi Tenggara, Andi Uci dinyatakan bersalah melakukan Tindak Pidana khusus “Membantu Orang Lain Melakukan Pengangkutan Dan Penjualan Mineral Yang Tidak Disertai Izin Usaha Pertambangan”.
Andi Uci dijatuhi pidana penjara selama satu bulan dan 15 hari dan denda Rp10 juta subsider tiga bulan kurungan. Putusan tersebut diputuskan pada 7 Mei 2015.
Tersangka dalam kasus ini adalah Gubernur Sultra Nur Alam. KPK sudah mengirim surat permintaan cegah terhadap Nur Alam, Kepala Dinas ESDM Sultra Burhanuddin, Direktur PT Billy Indonesia Widdi Aswindi dan pemilik PT Billy Indonesia Emi Sukiati Lasimon.
Nur Alam diduga melakukan perbutan melawan hukum dan menyalahgunakan wewenang untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi dengan mengeluarkan Surat Keputusan Persetujuan Pencadangan Wilayah Pertambangan Eksplorasi, SK Persetujuan Izin Usaha Pertambangan Eksplorasi dan SK Persetujuan Peningkatan Izin Usaha Pertambangan Ekslorasi menjadi Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi kepada PT Anugerah Harisma Barakah selaku perusahaan yang melakukan penambangan nikel di kabupaten Buton dan Bombana Sultra.
Ia disangkakan pasal 2 ayat 1 atau pasal 3 UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Pasal tersebut mengatur tentang orang yang melanggar hukum, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya jabatan atau kedudukan sehingga dapat merugikan keuangan dan perekonomian negara dan memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi dengan ancaman pidana penjara maksimal 20 tahun denda paling banyak Rp1 miliar.
Dalam Laporan Hasil Pemeriksaan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) 2013, Nur Alam diduga menerima aliran dana sebesar 4,5 juta dolar AS atau setara dengan Rp 50 miliar dari Richcorp Internasional yang dikirim ke bank di Hong Kong dan sebagian di antaranya ditempatkan pada tiga polis AXA Mandiri.
Richcorp, melalui PT Realluck International Ltd (saham Richcop 50 persen), merupakan pembeli tambang dari PT Billy Indonesia.[Ant/Dod]