Vaksin Palsu [5]: Bukan Domein Praktik Kedokteran

TRANSINDONESIA.CO –  Kisruh vaksin palsu merembet kemana-mana, seperti bola liar. Semua lini dipertayakan dan dikritisi; pemerintah, parlemen, polisi, otoritas pengawasan, produsen, distibutor, fasilitas kesehatan, termasuk profesi farmasis, teaga kesehatan dan tenaga medis dokter. Bahkan juga mungkin instansi yang membiarkan situs jual beli obat  palsu via internet.

Padahal, ikhwal vaksin palsu bisa dilokalisir dan dipahami secara sistemik. Di lokasir maksudnya kejahatan vaksin palsu itu diidentifikasi perbuatan apa, bagaimana dan siapa.  Sistemik maksudnya domein dan profesi apa yang melakoni itu dalam lingkup wewenang dan fungsinya. Tentu fungsinya yang sebenar sahih atau otentik.

Agat tidak meruyak dan gagal konteks, mari mengambil fokus kepada unit analisis yakni vaksin palsu ataupun malah obat palsu (Opal). Jika berangkat dari fakta bahwa vaksin palsu adalah vaksin yang dipalsukan atau bukan sesuai aslinya, maka fokusnya ditujukan pada sindikasi produksi.

Penulis, Ketua Masyarakat Konstitusi Indonesia (MKI), Muhammad Joni.[Ist]
Penulis, Ketua Masyarakat Konstitusi Indonesia (MKI), Muhammad Joni.[Ist]
Vaksin palsu, pun demikian Opal, adalah adanya isi kandungan farmasi atau konten yang palsu.  Konteks pertama dan utama vaksin palsu dan Opal adalah produknya. Kua juridis, konteks pertama dan utama Opal adalah ikhwal produksi.

Tengoklah  Kepmenkes No. 1010/2008 bahwasanya “Obat palsu adalah obat yang diproduksi oleh yang tidak berhak berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku atau produksi obat dengan penandaan yang meniru identitas obat lain yang telah memiliki izin edar”.

Merujuk Organisasi Kesehatan Se Dunia, WHO, yang mengelompokkan Opal ke dalam 5 (lima) kategori: (1) Produk tanpa zat aktif (API), (2) Produk dengan kandungan zat aktif yang kurang, (3) Produk dengan zat aktif berbeda, (4) Produk yang diproduksi dengan menjiplak produk milik pihak lain, dan (5) Produk dengan kadar zat aktif yang sama tetapi menggunakan label dengan nama produsen atau negara asal berbeda. Kelimanya bertumpu pada produk atau konten alias isi kandungan.

Begitu pula otoritas pengawasan, apakah pada lini Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) maupun Kementerian Kesehatan dan Dinas Kesehatan,  obyek pengawasan adalah produk obat (farmasi) berikut distribusi dan peredarannya. Dengan analisis seperti itu akan mudah diidentifikasi pelaku pemalsuan.

Semisal minyak pelumas (oli) palsu, yang diproduksi dan didistribusikan serta dijual di toko eceran, siapakah pelaku yang bertanggungjawab? Pemalsu konten atau merek oli palsu, distributor alias penyalur, atau teknisi/montir yang menggunakan? Atau malah digiring pula pelanggan yang membeli? Apakah rasional pelanggan yang tidak tahu menahu dan beriktikat baik tergesa-gesa dikualifikasi sebagai kawanan pelaku? Apakah logika masih sehat jika montir dituduh pemalsu? Bukankah pelanggan adalah korban, idemditto montir yang mengerjakan tugasnya  mengganti oli mobil sang pelanggan.

Dalam konteks vaksin palsu maupun Opal, mesti dicecar hulu persoalan yakni produk palsu itu. Siapa produsen? Siapa distributor? Siapa penyedia?  Siapa pengelolaan fasilitas kesehatan (faskes), siapa mengurusi instalasi farmasi di  faskes? Tentu saja, dalam setiap perbuatan itu terkait fungsi, kompetensi dan profesi.

Telaah dari sudut fungsi, kompetensi dan profesi ini adalah timbangan yang adil untuk menelaah tanggungjawab pelaku. Kua juridis,  rumah sakit terikat dengan UU Rumah Sakit.  Begitu juga tenaga farmasi, tenaga kesehatan,  serta tenaga medis (dokter dan dokter gigi) terikat dengan aturan masing-masing. Tenaga medis (dokter dan dokter gigi) terikat dengan UU Praktik Kedokteran.

Rumah sakit dikelola oleh manajemen rumah sakit dengan segenap hak dan kewajibannya. Pun demikian manajemen rumah sakit tidak pula berarti menjadi profesi tenaga farmasi atau apoteker dalam menjalankan profesinya.

Jika logika ini dilanjutkan, maka tenaga medis (dokter dan dokter gigi) dalam menjalankan profesi, kompetensi dan fungsinya menjalankan praktik kedokteran (prakdok) tentu saja bukan sedang menjalankan fungsi manajemen rumah sakit.  Bukankah dibedakan tanggunjawab rumah sakit dengan UU Rumah Sakit dengan tanggungjawab profesi dokter dengan UU Praktik Kedokteran. Demikian pula tanggungjwab perawat dengan UU Keperawatan dan tanggungjawab tenaga kesehatan lain sesuai UU Tenaga Kesehatan.

Artinya sistem hukum nasional  tanggunjawab, hak dan kewajiban rumah sakit berbeda dengan fungsi, kompetensi dan profesi tenaga medis (dokter dan dokter gigi).  Ikhwal pembelian, pengadaan dan persediaan obat di  rumah sakit sama sekali bukan fungsi, kompetensi dan profesi dokter dalam praktik kedokteran.  Tidak ada kaitannya dengan kompetensi dokter, sebab dokter hanya membuat resep dan selanjutnya diteruskan kepada instalasi farmasi.

Tersebab itu, tidak ada perbuatan dan logika sistem serta kompetensi dokter dalam melakoni  praktik kedokteran  bersentuhan dengan Opal ataupun vaksin palsu.

Merujuk pendapat Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia  (PB IDI) Prof. I.Oetama Marsis pada diskusi satu stasiun televisi, bahwasanya dokter adalah pengguna (user) yang hanya membuatkan resep untuk sang pasien. Sekali lagi, dengan bertumpu pada fungsi, profesi dan kompetensi  dokter, tidak ada celah menuduhnya menjadi pelaku dalam produksi vaksin palsu ataupun Opal.

Dengan telaah yang bertumpu pada fungsi, kompetensi dan profesi dokter menjalankan praktik kedokteran itu maka kua sistemik dokter tidak terkait sama sekali dengan hal ikhwal vaksin palsu ataupun Opal. Jika pun ada yang menuduh keterkaitan dokter dalam kasus konkrit tertentu, sama sekali bukan dalam konteks fungsi, kompetensi dan profesi dokter menjalankan praktik kedokteran.

Bisa saja manajemen rumah sakit atau faskes dipimpin oleh seorang dokter (sebut saja Tuan dr.X), namun pekerjaannya menjalankan manajemen itu bukan dalam fungsi dan kompetensi menjalankan praktik kedokteran, namun Tuan X sebagai manajer atau eksekutif perusahaan rumah sakit yang berpendidikan kedokteran. Belum tentu  lulusan pendidikan kedokteran adalah dokter yang memiliki  lisensi Surat Tanda Registrasi (STR) dari Konsil Kedokteran Indonesia (KKI)  dan mengantongi Surat Ijin Praktik (SIP) dari dinas kesehatan.

Tepat jika PB IDI membela anggotanya yang dengan dedikasinya  menjalankan tugas sebagai dokter dalam fungsi, kompetensi dan profesi  melakoni praktik kedokteran. Pengadaan vaksin  bukan ikhwal  praktik kedokteran, namun lingkup pengadaan dibawah kendali manajemen rumah sakit.

Ikhwal kisruh vaksin palsu, jelas bahwa dokter tidak  melakoni praktik manajemen, tidak pula praktik farmasis. Itu bukan domein dan fungsi serta kompetensi dokter dalam praktik kedokteran. Vaksin palu mesti diurai dengan jenih, sistemik, sesuai fungsi dan kompetensi.

Muhammad Joni [Ketua Masyarakat Konstitusi Indoneia-MKI]

Share
Leave a comment