TRANSINDONESIA.CO – Entah apa maksud Jusuf Kalla (JK) mendatangi pimpinan Nahdatul Ulama (NU) pada akhir April lalu meminta lembaga NU tersebut mengkaji aspek hukum Islam pada Tax Amnesty?
Pertanyaan ini menyangkut tiga hal: 1). Apakah ada unsur uang haram dalam sasaran Tax Amnesty tersebut, sehingga perlu melibatkan lembaga agama?, 2). Bukankah JK adalah Ketua Dewan Masjid Indonesia (DMI), kenapa lembaganya tidak melakukan kajian itu sendiri?, 3). Apakah masih perlu stempel sisi institusi agama, padahal pimpinan DPR, Ade Komaruddin, mantan Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), sudah menjanjikan pada Jokowi akan menyelesaikan UU Tax Amnesty tepat waktu (sebelum revisi anggaran negara via RAPBN 2016).
Perlu kita ketahui bahwa uang sasaran Tax Amnesty itu menyangkut dua hal yakni, pertama uang yang dengan alasan rasional menghindari pajak, dan kedua, uang haram hasil kejahatan korupsi, perampokan “BLBI Krismon 98”, uang sindikat kejahatan prostitusi, narkoba, perdagangan manusia, dana terorisme, dan lainnya.
Untuk hal pertama, hal itu lumrah terjadi diberbagai negara. Sebab, sudah sifat pembayar pajak mencari tempat yang disebut “Tax Haven”. Dimana tempat itu memberi kemudahan dan keringanan pajak bagi nasabah.
Namun, bagi uang yang dihasilkan dari kejahatan, tentu saja hal ini merupakan uang haram.
Nah, mungkin disinilah alasan JK meminta fatwa hukum Islam dari NU. Disini JK ingin melampaui bahasan-bahasan yang sekedar angka-angka cash in flow saja. JK menunjukkan sisi spiritualnya.
Kedatangan JK ini dapat dimaknai bahwa NU, sebagai representasi lembaga Islam terbesar, ikut bertanggung jawab jika dana-dana yang akan masuk dalam APBN. Meskipun sebagiannya, uangnya dari uang haram, harus dapat dimaklumi demi pembangunan.
Karena, bisa jadi pembangunan manusia dan pesantren NU dari alokasi bantuan negara, nantinya berasal dari uang haram tersebut.
Pernyataan Said Agil diberbagai media, bahwa NU melalui lembaga Bathsul Mashail akan mengkaji halal haramnya Tax Amnesty ini. Sudah dua bulan rencana fatwa NU atas Tax Amnesty ini, namun masih gelap alias tidak diketahui rakyat dan ummat Islam. Meski, selentingan kabar, minggu lalu sudah ada pertemuan ulama NU perihal ini.
Pelibatan NU, tanpa melibatkan DMI, sesungguhnya terasa ganjil. Juga tanpa meminta MUI atau Muhammadiyah. Apakah fatwa Halal Haram ini memang sengaja dibebankan JK kepada NU saja? Bagaimana kalau akhirnya setengah uang sasaran Tax Amnesty ini uang haram? Apakah DMI akan berlepas tangan dari dosa?
Tax Amnesty akan selesai dibahas minggu ini. Bahkan akan selesai rencananya besok hari. Seandainya ini adalah sebuah sejarah bahwa bangsa Indonesia melegalkan masuknya uang haram di bulan suci Ramadhan, maka ini adalah sebuah dosa sejarah.
Seharusnya JK tidak perlu melibatkan NU dalam peristiwa seperti ini. Sebab, apakah memang diperlukan fatwa Hukum Islam dalam urusan ini? Untuk apa berbagi dosa sejarah, jika ada. Atau bukankah sebaiknya JK tidak perlu berbagi dosa sejarah?
Oleh: Dr. Syahganda Nainggolan [Asian Institute for Information and Development Studies]