Dari Redaksi: Hukum Harapan Masyarakat atau “Wani Piro”
TRANSINDONESIA.CO – Reformasi yang diagungkan oleh bangsa ini mulai menyimpang bahkan semakin tak jelas kemana arah reformasi, sehingga tidak sedikit generasi bangsa ini mencari jati dirinya dengan hal-hal negtaif seperti terpuruk pada narkotika dan kejahatan seksual yang menghancurkan masa depan bangsa ditambah dengan “lunturnya” kehormatan dan martabat para penegak hukum.
Dalam tulisan ini, lebih dimaktumkan pada penegakan hukum seperti menjaga kehormatan, keluhuran, martabat dan prilaku hakim. Memang sangat berat, namun setiap ada pengumuman pengisian hakim karena masa jabatan berakhir atau pansiun atau hal-hal lain sehingga berhenti atau diberhentikan selalu banyak yang berminat.
Tapi tak sedikit pula hakim yang berkuasa di ujung palunya untuk memutuskan seseorang bersalah atau tidak justru terjerumus pada tindak pidana korupsi, suap dan lainnya.
Belum lagi ditambah dengan politik “gonjang ganjing”, pada umumnya hakim yang terpilih melalui seleksi Komisi Yudisial (KY) memiliki integritas dan kompetensi yang relatif berkualitas, meskipun sebagian besar bersih secara individual (shaleh pribadi), tapi apakah dalam perjalanan tugasnya bisa menjamin?.
Kasus Penyuapan yang dilaporkan KY mayoritas perkara perdata umum dan khusus adapun perkara pidana dan tata usaha negara didominasi oleh permainan administrasi. “Kamar perkara” yang jadi sasaran godaan adalah kamar perdata umum dan perdata khusus.
Terlepas dari hiruk-pikuk dan sorotan terhadap kredibilitas hakim saat ini, ada beberapa modus tercela (oknum) terhadap proses hukum.
Dimana dugaan berbagai modus perkara hukum (oknum) yakni, jual – beli perkara, bisa perkara yang “dikawal” mulai dari PN, PT saampai MA (kasasi dan PK), mengatur atau meminta kepada pimpinan atau ketua kamar agar menunjuk hakim tertentu untuk menangani perkara bersangkutan, bekerjasama dengan KPN mengatur agar sesuatu perkara PK yang diajukan diterima dan diteruskan ke pimpinan yang lebih atas, memperlambat atau mempercepat mengunggah putusan ke direktori; termasuk mempercepat atau memperlambat penyampaian salinan putusan ke terpidana, jaksa, penggugat atau tergugat.
Adalagi modus menahan permohonan banding, kasasi jaksa agar proses berlarut-larut sehingga terpidana mempunyai waktu untuk melakukan sesuatu, membocorkan putusan kepada terpidana yang tidak di tahan atau kepada penasehat hukum sebelum secara resmi putusan disampaikan sehingga terpidana yang berniat menghindari eksekusi punya kesempatan melarikan diri.
Selain itu modus menahan atau melambatkan penyerahan ekstra vonis kepada jaksa, sehingga terpidana kabur, menahan putusan kasasi yang menguatkan atau meningkatkan vonis supaya tidak terburu-buru disampaikan ke pengadilan dan jaksa penuntut umum agar eksekusi tertunda, dan dalam penundaan eksekusi itu terpidana bisa melakukan sesuatu.
Untuk itu, dalam proses rekrutmenya pengadilan yang tersemat sebagai julukan “Wakil Tuhan” harus dilakukan secara transparan dan akuntable dengan sistem rekrutmen tersendiri sesuai status hakim sebagai pejabat negara dalam menjaga kemurnian proses dan hasil, serta menjaga kehormatan dan kelurhuran martabat hakim.
Kemudian pendidikan hakim harus disiapkan secara khusus, pengaturan tentang penyiapan hakim, rekrutmen hakim, dan pendidikan hakim seyogyanya dimuat dalam RUU jabatan hakim yang sekarang sedang dibahas di DPR RI.
Selain hal diatas, alternatif lain adalah penguatan terhadap KY sesuai dengan UU 1945 pasal 28 B ayat (1) menegaskan bahwa KY berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran, martabat dan prilaku hakim.
Namun pelaksanaan kurang maksimal dan tumpang tindih dengan adanya UU Kekuasaan kehakiman, UU Peradilan Umum, UU Peradilan Agama, TUN. Dan untuk penguatan KY perlu ada perubahan UU yang terkait dengan pasal “Pengawasan Perilaku Hakim “ bahwa “Wewenang melakukan pengawasan perilaku sepenuhnya wewenang dan tugas KY”.
Dengan berdiri tegaknya hukum sesuai peraturan dan perundang-undangan tanpa mengenal intervensi pihak manapun maka hukum menjadi harapan masyarakata pencari keadilan, bukan sebaliknya hukum berbayar ‘wani piro”.[Syafruddin]