Tak Perlu Tunggu Pengaduan, MKI Desak KPK Bentuk KE Saut Situmorang

TRANSINDONESIA.CO – Komisioner  KPK  Saut Sitomrang lewat pernyataannya yang menuding alumni HMI menjadi koruptor dan jahat saat menjabat dinilai tendensius  dan  menebar kebencian  kepada  HMI  dan  Korps Alumni  HMI (KAHMI) masuk pelanggaran Kode Etik (KE) piminan KPK.

“Pernyataan itu diduga keras melanggar kode etik Pimpinan KPK, sudah meresahkan masyarakat, dan terbukti memicu aksi luas di penjuru negeri. Tersebab itu, KPK proaktif membentuk komite etik, tidak perlu menunggu pengaduan masyarakat,” ungkap Ketua Masyarakat Konstitusi Indonesia (MKI), Muhammad Joni, kepada pers di Jakaarta, Minggu (8/5/2016).

Tak cuma terikat hukum dan perundangan, pejabat publik dan penegak hukum pimpinan KPK berkewajiban menjaga kode etik. “Kode etik  melekat dengan dirinya dalam  perbuatan maupun  dalam diam, dalam bicara ataupun penampilan fisik selama 24 jam per hari, di sudut wilayah     manapun berada termasuk di media penyiaran jangan menebar opini kebencian, apalagi kepada   HMI dan alumni HMI yang justru aset bangsa dan negara Indonesia,” kata Joni.

Ketua Masyarakat Konstitusi Indonesia, Muhammad Joni.[Ist]
Ketua Masyarakat Konstitusi Indonesia, Muhammad Joni.[Ist]
Sementara, Wakil Sekretaris MKI, Fakhrurrozi, menuturkan kode etik pimpinan KPK, Komisioner KPK berkewajiban menghilangkan sifat arogansi individu versi Pasal 6 ayat (1) huruf m Kode Etik Pimpinan KPK yang ditautkan dalam website kpk.go.id. Merujuk kode etik itu pula, pimpinan KPK berkewajiban membatasi pertemuan di ruang publik seperti  hotel, lobi hotel, restoran dan ruang publik lainnya, apalagi pada media yang disiarkan luas mengeluarkan pernyataan yang  arogan dan tendensius.

“Watak dasar penegak hukum, termasuk pimpinan KPK tidak boleh prejudice. Tidak etis mengeluarkan pendapat seakan pengamat lepas, apalagi menjadi hatters. Sebab penegak hukum   bertugas membuat terang duduk perkara, kasuistis dan mengabdi hanya kepada hukum, bukan  membentuk opini,” kata Fakhrurrozi.

Sebelumnya Joni menyatakan, sebagai lembaga penegakan hukum yang superbody  mestinya  Pimpinan KPK menahan diri obral pernyataan di media karena berdampak luas dan sensitif.

“Pernyataan Pimpinan KPK itu sensitif, persis seperti sensitifnya  pernyataan otoritas  bank sentral mempengaruhi luas geliat moneter dan keuangan,” terannya.

Kode etik itu lanjut Joni, harus ditegakkan tanpa toleransi (zero tollerance) karena menentukan derap penegakan hukum. Mengapa? Sebab etika itu seperti halnya fungsi samudera bagi berlayarnya “kapal” hukum.

“Mengambil tamsil kapal,  hukum tidak akan berlayar tanpa samudera etika yang menghantar ke tujuan. In civilized life, law floats in a sea of ethics, maksudnya  dalam kehidupan beradab,  hukum mengapung   di   atas   samudera   etika,” kata Joni mengutip pernyataan Earl Warren, Ketua Mahkamah Agung Amerika Serikat (1953-1969), sembari meminta kode etik Pimpinan KPK  yang hanya 9 pasal itu disempurnakan.[Saf]

Share
Leave a comment