Komunis, Welcome On Board Kamerad

TRANSINDONESIA.CO – Beberapa waktu lalu di bulan April,  banyak dari kita dikagetkan dengan simposium yang dihadiri anak cucu dan keluarga Partai Komunis Indonesia, di Jakarta, yang dilakukan dalam simposium 2 hari tentang “tragedi 65”, yang diketuai Gubernur Lemhanas, Letjen (Purn) Agus wijoyo.

Dalam pertemuan kaum komunis lainnya, banyak kita dikagetkan juga dengan gerakan wanitanya (Gerwani), melayangkan pemikiran untuk menghancurkan monumen Lubang Buaya, sebuah Simbol yang selama ini dianggap monumen kekejaman Komunis, yang tapi menurut mereka adalah pemalsuan sejarah.

Museum Lubang Buaya.[Ist]
Museum Lubang Buaya.[Ist]
Mengapa kita kaget?

Pertama, sejak isu rekonsiliasi paska Soeharto, baru saat ini pemerintah serius melakukan agenda aksi bagi kepentingan rekonsiliasi thd PKI.  Padahal, rekonsiliasi terhadap pemberontak separatis Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan separatis Papua, sudah dilakukan.

Kedua, setelah 50 tahun Partai Komunis Indonesia (PKI) dan ajaran komunis hilang dari Nusantara, tiba-tiba muncul menjadi wacana sentral di masyarakat.

Ketiga, sebagai sesama anak bangsa, kita bingung mengakhiri situasi permusuhan, baik alami maupun yang direkayasa, terhadap kaum komunis dan keturunannya.

Meski penuh kekagetan, sebenarnya kepentingan rekonsiliasi ini penting untuk kita lakukan:

Pertama, puluhan juta kaum komunis Indonesia telah menderita selama 50 tahun, sejak berdirinya Orde Fasis Soeharto. Setengah abad merupakan waktu yang terlalu lama.

Kedua, tidak ada dosa sejarah dalam Islam, agama mayoritas di sini. Seandainya klaim sepihak orde baru bahwa PKI lah yang mendahului politik kekerasan dalam sejarah 65, maka dosa PKI masa itu tidak otomatis dibebankan kepada masa anak cucunya.

Ketiga, rekonsiliasi merupakan kehendak bangsa Indonesia sebagai simbol keluar dari rezim otoritarian Orde baru.

Keempat, puluhan juta rakyat komunis merupakan potensial “block vote” dalam pemilu dan pilpres, yang selalu ditunggangi bagi ambisi2 elit yang berkuasa.

Kelima, kaum komunis ini merupakan manusia yang punya hak hidup sebagai manusia dan punya hak sejarah, karena mereka bagian dari sejarah kemerdekaan bangsa Indonesia.

Komunis, Non Komunis dan Pengkhianatan Bangsa

Komunis alias PKI sebagai pengkhianat bangsa sudah 50 tahun mengiang ditelinga kita. Komunis dianggap menyelewengkan ideologi Pancasila dan ingin menggantinya dengan ideologi komunis jika berkuasa.

Dua pemberontakan untuk merebut kekuasaan dilakukan komunis tahun 48 dan tahun 65. Sejak 65, rezim militer Suharto menyatakan PKI dan ajaran komunis sebagai ajaran terlarang. Bersamaan dengan itu, klaim pihak komunis, 800 ribu komunis dan simpatisannya dibunuh, dipenjara, diperkosa, didiskriminasikan, dan lain sebagainya.

Sayangnya, di masa orde baru, sejarah yang ada sifatnya satu versi, yakni versi penguasa saja.padahal sejarah hanya akan dimengerti jika asa versi lain yang memberi komparasi yang cukup untuk masuk pada kesimpulan yang benar.

Ketidak mungkinan mendapatkan versi lain dalam masa Orde Baru karena, pertama, siapapun yang berbeda versi dan menyiarkannya, maka mereka akan diberikan stempel komunis yang akan berakibat penjara. Kedua, struktur informasi dan perolehan informasi sangat piramidal. Belum ada dunia internet seperti saat ini.

Alhasil, sejauh ini, hanya satu versi kejadian 65 yang ada. Apakah PKI dan Komunis sebagai pengkhianat bangsa, atau Orde Baru yang berkhianat, membutuhkan suatu pemunculan sejarah 65 versi lain, yang terbuka untuk dikaji oleh tokoh-tokoh bangsa kita.

Namun, penting kita mencatat bahwa PKI dan kaum komunis tidak melakukan pengkhianatan sejak tahun 65. Selama 50 tahun, sejak Orde Baru dan rezim Reformasi, justru Bangsa ini telah dikhianati rezim penguasanya untuk 3 hal berikut:

  1. UUD45 telah dirubah menjadi “UUD 2002”, tanpa referendum. Khususnya, pasal 6 UUD45, yang menyatakan Presiden dan Wakil presiden harus orang Indonesia Asli, dirubah demi ambisi2 elit orde reformasi.
  2. Sila ke 4 Pancasila yang berasaskan Musyawarah untuk Mufakat, telah digantikan dengan sistem demokrasi super liberal.
  3. Ekonomi Indonesia dikuasai 10% para kapitalis dan sistem perekonomian berasaskan kekeluargaan dihancurkan

Dari segi pengkhianatan terhadap bangsa ini, justru kita perlu mempertimbangkan kelompok masyarakat mana yang lebih kejam?

Museum Lubang Buaya.[Ist]
Museum Lubang Buaya.[Ist]
Menatap Masa Depan

Wisdom bangsa kita sebagai bangsa beragama, memaafkan adalah lebih mulia. Tuntutan kaum komunis terhadap negara adalah sah. Baik tuntutan langsung terhadap mereka yang merasa dilanggar haknya, maupun klaim mereka bahwa yang mereka maksud adalah korban yang tidak bersalah.

Sejauh apa tuntutan itu dapat dipenuhi? Tentu sangat tergantung versi sejarah yang akan disetujui nantinya. Selain itu, juga mempertimbangkan dialektika politik kekuasaan yang ada.

Apa dialektika politik yang dimaksud?

Pertama, apakah bangsa kita akan mempunyai rencana besar ideologis menyatukan seluruh elemen bangsa sebagai kekuatan bersama untuk bangkit?

Pertanyaan ini dijiwai di Afrika Selatan di masa Nelson Mandela. Jika ya, maka, pemerintah harus sungguh2 menghentikan politik permusuhan terhadap kekuatan kekuatan ideologis, baik terhadap kalangan kiri, maupun kalangan Islam. Perangkulan kaum komunis harus dilakukan bersamaan dengan pembubaran densus 88, dan sejenisnya

Kedua, apakah cita cita internasional kaum komunis untuk melakukan _land_ _reform_ (membagi tanah2 yang dikuasai kapitalis secara tidak benar) atau reformasi kapital, untuk rakyat jelata, yang sejatinya sesuai dengan sosialisme Pancasila, menjadi agenda utama rezim kekuasaan Jokowi? Jika iya, maka makna kehadiran kembali kaum komunis sangat berharga. Welcome On Board Kamerad!

Oleh: Dr.Syahganda Nainggolan [Asian Institute for Information and Development Studies]

Share
Leave a comment