Di Mana Kepalanya Kepiting?
TRANSINDONESIA.CO – Mencari cari kepala kepiting tidak akan ditemukan. Pertanyaan itu sepertinya konyol namun menyadarkan bahwa kepala itu tidak harus selalu terpisah untuk menjadi penggerak.
Di dalam birokrasi stratifikasi pemimpin seringkali menunjukkan betapa feodalnya, tak jarang malah merefleksikan suatu autopilot. Kebijakan yang di buat tidak selalu lebih mengena dihati, juga kadang tidak mengobati, bahkan ada yang malah menyusahkan. Minta ini itu dan semua harus perfect dimuliakan didahulukan, dielu elukan dan semua tipu daya seremonial ingin ditampilkan.
Apa makna kepala bagi birokrasi? Sepertinya sederhana namun kompleks. Fungsinyapun bisa melihat fungsi kepala pada tubuh manusia. Kepala wadah dari otak yang menjadi penggerak, pemikir, penentu, pengendali untuk melakukan sesuatu agar mampu mencapai tujuan.
Tentu saja memegang teguh prinsip-prinsip kewarasan, peradaban. Kepala dalam birokrasi yang mampu melihat jauh kedepan dan memiliki mimpi mewujudkan sesuatu menjadi lebih baik bagi generasi mendatang, siap menghadapi tantangan, kebutuhan, tuntutan bahkan ancaman di masa kini inilah kepala yang memimpin.
Selain itu juga mampu melanjutkan apa yang sdh dirintis pendahulunya dan memperbaiki kesalahan-kesalahan masa lalu atau ketertinggalannya.
Kepala yang memimpin akan menjadi penjuru, guru, layak dan patut ditiru, memiliki kemauan dan kemampuan membuat sesuatu menjadi baru.
Harapan hidup lebih teratur yang menjadi refleksi anti korupsi terbangun, reformasi birokrasipun terwujudkan.
Inovasi dan kreasi akan terus bermunculan sebagai suatu kebanggaan. “Cogito ergo sum” kata filsuf Rene de Cretes menyadarkan kita semua.
Bahwa segala sesuatu akan ada bila dipikirkan. Kepala bukan di mana tempatnya, bukan pula pada kewenangan dan kekuasaanya melainkan ditunjukkan dari pemikiranya.[CDL-28052016]
Penulis: Chryshnanda Dwilaksana