Sakit Mana, Diludahi atau Dipukuli?

TRANSINDONESIA.CO – “Kowe cah endi le?” Kapten Joko Mardiko bertanya kepada saya. “Siap magelang”. “Buka helm mu …”. “Siap pelatih …” Tiba-tiba terdengar suara hoeeexx juuuhhhh… secepat kilat tanpa sadar saya sudah merasa diludahi muka saya.

Air liur yang bercampur dahak itu mengalir kebawah melalui pipi kanan saya. Rasanya sakit bukan kepalang diludai. Memang tidak melukai seperti dipululi.

Walaupun pada saat itu saya berpangkat paling rendah di dunia (calon prajurit taruna) tetapi merasakan lebih sakit daripada ditempelengi.

Ilustrasi
Ilustrasi

Diludahi rasanya dilecehkan dihina, dan tidak lagi dimanusiakan. Tapi tidak bisa melawan dan hanya di pendam. Di cuci berulang kalipun rute aliran air liur tadi masih terasa.

Begitulah dalam birokrasi para aparaturnya sering meludahi dan diludahi dengan berbagai ketidak profesionalan, dari penyalahgunaan wewenang.

Apa yang dilakukanya memang tidak sendirian dan beramai ramai bahkan dianggap sebagai kebenaran (yang salah namun dipaksakan untuk diakui benar). Diludahi memang tidak melukai fisik namun melukai hati, jiwa dan harga diri.

Apa yang dilakukan aparaturnya sepertinya menolong tapi sebenarnya memeras dan membela yang membayar (terima suap), ini sangat melukai bagi publik yang dilayani.

Belum lagi penyalahgunaan berbagai hal yang semua bersumber dari rakyat, ini pun juga meludahi institusi dan rakyat.  Maka tak heran bahwa tatkala tidak dipercaya itu sama saja diludahi dan dianggap sampah.

Ludah hanyalah air liur biasa, semua punya namun tatkala keluar dan bukan pada tempatnya, apalagi di wajah, maka teriakan akan berkata, “sakitnya tuh disini” seperti yang dilantunkan penyanyi Cita Citata sambil memegang dadanya walau yang diludahi jidatnya.[CDL-07052016]

Penulis: Chryshnanda Dwilaksana

Share