RTJ (2-2): Interupsi, Hak Pengelolaan Berdimensi Publik

TRANSINDONESIA.CO – Andai kata Reklamasi Teluk Jakarta (RTJ) selesai dan menciptakan 17 pulau-pulau buatan berbentuk mirip pola garuda, apakah status hukum tanah hasil reklamasi dengan cara menguruk genangan air menjadi daratan.

Pembaca tentu mafhum, urusan pemberian hak atas tanah masih bersifat sentralistis dan berada pada ranah wewenang BPN.Tidak sahih membahas reklamasi abaikan peran BPN dan regulasi pertanahan.

Perlu diulas   bahwa HPL   tidak eksplisit disebut dalam UUPA dan tidak termasuk jenis hak dalam  UUPA.  Riwayat HPL ditemukan dalam Pasal 2 ayat (4) UUPA yang   menentukan   HMN dikuasakan kepada Daerah-Daerah Swatantra dan masyarakat hukum adat. Untuk apa diberikan HPL?

Reklamasi Teluk Jakarta.[Ist]
Reklamasi Teluk Jakarta.[Ist]
Penjelasan Umum II (2) UUPA menyebutkan untuk pelaksanaan tugasnya. Dengan demikian, pemberian HPL untuk menjalankan fungsi dan wewenang berdimensi publik. Menurut Prof. Dr. Maria SW Soemardjono, guru besar ilmu hukum UGM, HPL merupakan bagian dari HMN yang sebagian wewenangnya diberikan kepada pemegang HPL. Tersebab  itu,  HPL merupakan   fungsi dan kewenangan publik. Di titik ini, HPL  sama seperti halnya HMN. Walaupun nantinya HPL atas tanah reklamasi diberikan kepada Pemprov DKI Jakarta,  namun peruntukannya mengemban fungsi berdimensi publik.

Fungsi publik yang mana? Menjawab itu, kembali merujuk Pasal 2 Keppres No. 52 Tahun 1995 yang eksplisit menyebutkan untuk keperluan pengembangan Kawasan Pantura. Yakni, sebagian wilayah Jakarta Utara yang meliputi areal daratan pantai utara Jakarta yang ada dan areal Reklamasi Pantai Utara Jakarta.

Artinya, 17 pulau reklamasi tetap terkoneksi dengan Kawasan Pantura, yang diperuntukkan menjawab kusut problematika, tumpang tindih dan   defisit ruang dan tanah Kawasan Pantura. Pun mesti dipastikan pulau reklamasi dapat  diakses publik, termasuk pantai barunya.

Nah, frasa  “pengembangan Kawasan Pantura” dalam Keppres No. 52 Tahun 1995 bermakna menjawab kusut   tata ruang dan defisit tanah kawasan itu, termasuk memenuhi kepentingan publik atas perumahan rakyat,   pengentasan kawasan kumuh dan rumah tidak layak huni. Pun demikian kebutuhan bank tanah perumahan rakyat mengatasi   mengatasi backlog   dan ruang terbuka hijau Jakarta.[Bersambung ke 2-3]

Oleh: Muhammad Joni [Ketua Masyarakat Konstitusi Indonesia, Sekretaris Umum Housing and Urban Development Institute]

Share