Kisah Shandra Woworuntu Korban Perbudakan Seks di Amerika [Selesai]

TRANSINDONESIA.CO – Saat Shandra Woworuntu menginjakkan kakinya di AS, ia berharap bisa memulai karir baru di industri perhotelan. Namun ia justru dijerumuskan ke dunia prostitusi dan perbudakan seksual, dipaksa mengkonsumsi obat-obatan dan mengalami kekerasan.

Setelah berhasil kabur, polisi mengabaikan laporannya, dan Konsulat RI juga menolak memberinya bantuan hingga ia jadi gelandangan. Kisah ini mungkin akan tak tertahankan bagi sebagian pembaca, seperti dilansir dari bbc.com, berikut penuturan Shandra;

Saya menuturkan pengalaman saya di gereja-gereja, sekolah-sekolah, universitas dan lembaga-lembaga pemerintah.

Shandra Woworuntu berbicara dalam sebuah gerakan untuk mengakhiri kekerasan terhadap perempuan, Maret 2016.
Shandra Woworuntu berbicara dalam sebuah gerakan untuk mengakhiri kekerasan terhadap perempuan, Maret 2016.

Pertama kali, usai menceritakan kisah saya, konsulat Indonesia mendekati saya, bukan untuk meminta maaf, melainkan untuk meminta saya menarik kembali pernyataan saya tentang penolakan mereka untuk membantu saya.

Maaf, itu sudah terlambat – itu sudah beredar di luar sana. Saya tidak bisa berpura-pura atas apa yang telah terjadi. Bahkan setelah media memberitakan kasus saya, pemerintah Indonesia tidak merasa perlu menghubungi saya, mengecek keadaan saya, apakah baik-baik saja atau membutuhkan bantuan.

Selain bekerja dengan kelompok-kelompok masyarakat, saya juga membahas masalah ini dengan pemerintah Meksiko dan tahun lalu saya bersaksi di depan Senat AS.

Saya meminta kepada para senator agar menetapkan undang-undang untuk memastikan bahwa para pekerja yang direkrut dari luar negeri mengetahui hak-hak mereka, tidak dikenakan biaya, dan diberitahu soal gaji dan kondisi hidup mereka yang bisa mereka harapkan di AS.

Saya senang bisa mengatakan bahwa sejak itu peraturan diubah dan agen-agen perekrutan di luar negeri harus mendaftar ke Departemen Tenaga Kerja sebelum mereka beroperasi.

Saya juga melobi Senat, atas nama National Survivor Network, untuk menempatkan para korban perdagangan manusia dalam peran yang bisa memberikan dampak langsung pada kebijakan.

Undang-undang The Survivors of Human Trafficking Empowerment telah melaksanakannya. Saya merasa terhormat untuk mengatakan bahwa di bulan Desember 2015, saya diminta untuk bergabung dengan sebuah dewan baru, dan kami bertemu untuk pertama kalinya pada bulan Januari, di Gedung Putih.

Kita sangat perlu mendidik rakyat Amerika tentang subyek ini. Menengok kembali pengalaman saya sendiri, saya pikir semua orang yang bekerja di kasino dan hotel pasti tahu apa yang sedang terjadi. Dan rumah bordil yang ada di Brooklyn merupakan wilayah pemukiman – apakah para tetangga di sekelilingnya tidak pernah berhenti untuk bertanya mengapa seolah tak ada habisnya orang datang ke rumah tersebut, siang dan malam?

Masalahnya adalah, orang-orang melihat perempuan-perempuan yang diperdagangkan ini sebagai pelacur, dan bukan sebagai korban, tapi sebagai penjahat. Dan di kota-kota besar, orang-orang menutup mata atas segala macam tindak kejahatan seperti ini.

Kita mungkin bisa memulai dengan memenjarakan para pria yang telah membayar untuk berhubungan seks. Setelah rumah bordil di Brooklyn digerebek dan banyak para pembeli seks ditanyai, tapi kemudian semuanya dibebaskan.

Sekarang, pria yang tertangkap basah, dikirim untuk menjalani pembinaan satu hari yang disebut John School. Ini bukanlah hukuman, tetapi mengajarkan mereka bagaimana untuk mengidentifikasi anak-anak di rumah bordil, dan mengenai perempuan yang dipaksa untuk menjadi pekerja seks.

Bagus – tapi belum cukup. Saya pikir nama orang-orang yang membayar untuk berhubungan seks dengan para wanita atau pria yang diperdagangkan harus dipublikasikan, seperti orang-orang yang melakukan pelecehan terhadap anak-anak dan predator seksual.

Saya masih berteman dekat dengan Nina, yang baru-baru ini menginjak usia ke 30. Dan selama bertahun-tahun, saya memiliki nomor telepon Eddy, orang yang melapor kepada FBI atas nama saya, ketika saya putus asa.

Pada tahun 2014, sekitar hari Natal, saya memutar nomor telepon. Saya akan bercerita tentang semua yang telah terjadi pada saya, tapi ia memotong omongan saya dan mengatakan, “Saya tahu semua. Saya mengikuti berita-beritanya. Saya sangat senang, Anda telah berhasil.”

Lalu ia berkata, “Tidak usah mengucapkan terima kasih pada saya – Anda sendiri yang telah melakukan semuanya itu.”

Tapi saya ingin mengucapkan terima kasih, Eddy, sudah mendengarkan kisah saya hari itu di taman, dan membantu saya memulai lagi hidup saya.[Nik]

 

Share
Leave a comment