Kisah Shandra Woworuntu Korban Perbudakan Seks di Amerika [8]

TRANSINDONESIA.CO – Saat Shandra Woworuntu menginjakkan kakinya di AS, ia berharap bisa memulai karir baru di industri perhotelan. Namun ia justru dijerumuskan ke dunia prostitusi dan perbudakan seksual, dipaksa mengkonsumsi obat-obatan dan mengalami kekerasan.

Setelah berhasil kabur, polisi mengabaikan laporannya, dan Konsulat RI juga menolak memberinya bantuan hingga ia jadi gelandangan. Kisah ini mungkin akan tak tertahankan bagi sebagian pembaca, seperti dilansir dari bbc.com, berikut penuturan Shandra;

Tidak lama setelah itu, di kamar mandi dan melihat sebuah jendela kecil. Sekrupnya tertutup, tapi Nina dan saya berupaya membukanya, dan tangan saya gemetar, saya menggunakan sendok untuk membuka selot secepat mungkin. Kemudian kami memanjat lewat jendela dan melompat turun di sisi lain.

Shandra berbicara dalam sebuah konferensi pers bersama anggota Kongres Ted Poe dan Carolyn Maloney
Shandra berbicara dalam sebuah konferensi pers bersama anggota Kongres Ted Poe dan Carolyn Maloney

Kami menelepon nomor yang diberikan perempuan itu dan seorang pria Indonesia terdengar menjawab telepon kami. Sama seperti yang dikatakan perempuan tadi, ia berjanji untuk membantu kami. Kami sangat bersemangat. Dia bertemu kami dan membayar biaya menginap di sebuah hotel, lalu ia berkata agar kami menunggu di sana sampai dia bisa menemukan pekerjaan untuk kami.

Ia mengurus kami, membelikan kami makanan, pakaian dan lain-lain. Tapi setelah beberapa minggu, dia menyuruh kami tidur dengan sejumlah pria di hotel. Lalu ketika kami menolak, ia pun menelepon Johnny untuk datang dan menjemput kami. Ternyata ia juga merupakan anggota sindikat lainnya, pria itu, pelacur kelas atas, dan yang lainnya rupanya bekerja sama.

Akhirnya saya menemukan sebuah keberuntungan.

Di dekat hotel, sebelum Johnny tiba, saya berhasil kabur dari mucikari baru saya dan melarikan diri ke jalan, hanya memakai sandal dan tidak membawa apa-apa kecuali dompet. Saya berbalik, dan berteriak pada Nina yang mengikuti saya, tapi mucikari memegangnya erat.

Saya bisa mencapai sebuah kantor polisi dan menceritakan semuanya kepada salah seorang petugas polisi. Ia tidak mempercayai saya dan menolak saya. Jauh lebih aman untuk saya, kata dia, untuk kembali di jalanan tanpa uang atau dokumen. Dalam keadaan putus asa untuk mencari bantuan, saya mendekati dua petugas polisi lainnya di jalan dan mendapat respon yang sama.

Lalu saya pergi ke konsulat Indonesia, untuk mencari bantuan mendapatkan dokumen-dokumen seperti paspor, dan bantuan lain. Saya tahu mereka memiliki ruangan bagi orang untuk bisa tidur dalam keadaan darurat. Tetapi mereka juga tidak membantu saya.

Saya marah dan jengkel. Saya tidak tahu lagi apa yang harus dilakukan. Saya datang ke Amerika Serikat saat musim panas, dan saat itu tengah menuju musim dingin dan saya kedinginan. Saya terpaksa tidur di stasiun kereta api bawah tanah di New York, Staten Island Ferry, dan di Times Square.

Saya mengemis makanan dari orang-orang yang berlalu lalang, dan setiap ada kesempatan saya menceritakan kisah saya pada mereka, dan saya katakan bahwa ada sebuah rumah di sekitar wilayah itu yang menyekap sejumlah perempuan , dan mereka membutuhkan bantuan.

Hingga pada suatu hari, ketika saya berada di Grand Ferry Park di Williamsburg, seorang pria bernama Eddy membelikan saya makanan. Ia berasal dari Ohio, dan seorang pelaut yang tengah berlibur. “Kembalilah besok di siang hari,” katanya, setelah saya menceritakan kisah saya.

Saya sangat senang, saya tidak berhenti untuk menanyakan apa yang ia maksud dengan kata siang.’ Yang saya tahu saat sekolah ‘siang’ bisa jadi menjelang sore, saya menebak kata ‘siang’ di sini adalah kata lain untuk ‘pagi. Jadi esok harinya saya datang lebih pagi ke tempat yang sama di taman itu, dan menunggu datangnya Eddy selama beberapa jam.

Akhirnya ia datang, dan mengatakan sudah menelepon dan berbicara dengan FBI, lalu FBI telah menelepon kantor polisi. Kami langsung pergi ke pos polisi, di sana sudah ada para petugas yang mencoba membantu saya.

Jadi Eddy mengantarkan saya dengan mobilnya ke sana, dan dua detektif menanyai saya panjang lebar. Saya menunjukkan buku harian saya kepada mereka dengan rincian lokasi pelacuran, dan buku-buku pemainan dari kasino di mana saya telah dipaksa untuk bekerja. Mereka menelepon maskapai penerbangan dan imigrasi, dan mereka sudah mengecek laporan saya.

“OK,” kata mereka akhirnya. “Apakah Anda siap untuk pergi?”

“Pergi ke mana?” tanya saya.

“Menjemput teman-teman Anda,” kata mereka.

Lalu saya masuk mobil polisi dan kami melaju ke rumah bordil di Brooklyn itu. Saya lega saya bisa menemukannya lagi.

Rasanya seperti seperti sebuah adegan dalam sebuah film. Mobil diparkir dan saya melihat ke luar jendela. Di luar rumah bordil, ada polisi yang menyamar berpura-pura menjadi tuna wisma -saya ingat salah satu dari mereka mendorong troli belanja. Kemudian ada banyak detektif, polisi bersenjata dan tim SWAT dan para penembak jitu bersembunyi di dekatnya.

Kendati saya menikmatinya sekarang, tapi saat itu saya merasa sangat tegang pada saat itu, dan khawatir jika saat polisi memasuki bangunan itu dan tidak menemukan apapun di sana malam itu. Akankah mereka berpikir saya telah berbohong? Akankah saya yang akan masuk penjara, dan bukan orang yang menganiaya saya?

Seorang petugas polisi berpakaian preman dan menyamar sebagai pelanggan menekan bel rumah bordil. Saya melihat Johnny muncul di ambang pintu, dan, setelah berbicara singkat, membuka jeruji logam. Dia langsung dipaksa kembali ke dalam ruang yang gelap. Dalam hitungan detik, seluruh tim polisi sudah berada di anak tangga dan masuk ke dalam rumah itu. Tidak ada satupun tembakan yang dilepaskan.

Satu jam telah berlalu. Mereka mengatakan saya bisa keluar dari mobil dan mendekati rumah bordil. Mereka sudah menutupi salah satu jendela dengan kertas lalu melubanginya supaya saya bisa melihat ke dalam. Dengan cara seperti ini, saya bisa mengenali Johnny dan para perempuan yang bekerja di rumah bordil itu tanpa bisa terlihat. Ada tiga perempuan di sana, Nina berada di antara mereka.[Nik]

Share
Leave a comment